5. Kebetulan yang Merepotkan

1509 Words
Deretan wartawan sudah antri di depan gerbang sebuah rumah. Mereka sepertinya sedang menunggu Liora karena begitu mobil wanita itu belok di tikungan. Mobil itu memperlambat lajunya karena gerombolan wartawan tengah memburu mobil sedan tersebut. Jepretan kameran tak henti mengabadikan foto, padahal Liora belum menampakan batang hidungnya. "Buka saja kacanya," perintah Liora kepada Jea. "Kau yakin? Kita bisa masuk gerbang tanpa perlu setor muka," sahut Jea tak suka. Bukannya bersikap sombong, tapi berita terkait Liora selalu negatif dan Jea benci hal itu. "Tidak apa apa, Je, buka saja," ujar Liora sekali lagi. "Lagipula mereka tidak akan puas jika tidak melihat wajahku," imbuhnya bercanda. "Baiklah." Jea pada akhirnya membuka kaca di sebelah kirinya. Liora memakai kacamata hitamnya saat puluhan kamera menangkap potret dirinya. Meskipun moodnya sedang tidak baik baik saja, ia tetap tersenyum di depan kamera. "Tutup," perintah Liora setelah puas berfoto ria. “Kau tidak ingin menyapa mereka?” tanya manajer Liora melirik para wartawan yang masih keukeh ingin memotret artisnya. “Moodku sedang tidak baik. Aku tidak ingin mereka membuat drama yang tidak-tidak,” sahut Liora menyandarkan tubuhnya ke kursi setelah kaca benar benar tertutup. Manajer Liora hanya mengangkat bahunya tak acuh. Mobil dengan perlahan melewati gerbang rumah tempat Liora syuting setelah 2 satpam menahan para wartawan. Liora mendesah lega saat melihat ke belakang, mobilnya sudah sepenuhnya masuh rumah dan para wartawan berkerumun di luar gerbang. Liora melepaskan kacamatanya, menata rambutnya sebentar sebelum keluar dari mobil bersama majanernya. Wanita itu melihat ke sekeliling, mencari keberadaan rekan kerjanya. “Siang, Mbak Liora,” sapa Mang Ucok. PU sinetron yang dikerjakan Liora. Liora tersenyum pada pria usia akhir 30-an itu. Lalu ia memberikan beberapa lembar uang untuk Pak Ucok. Seperti biasa, ia akan menyuruh pria itu untuk membeli beberapa camilan yang nantinya akan dibagikan kepada semua staf. Liora memang selalu royal kepada semua anggota tim produksi setiap kali ia melakukan project bersama. “Siap, Mbak.” Pak Ucok tersenyum, sudah hafal apa pekerjaan yang akan diberikan oleh Liora. “Terimakasih, Pak. Seperti biasa, sisanya buat Pak Ucok.” Liora juga tak lupa selalu memberi uang lebih untuk Pak Ucok. "Okey!" seru Pak Ucok sebelum berlalu pergi. “Liora, Sayang!” teriak seorang pria yang baru saja datang dari dalam rumah. Pria itu langsung memeluk Liora dengan erat. “Wa, singkirkan tanganmu sebelum aku membuatmu tidak bisa syuting lagi,” desis Liora memaksa pria itu untuk melepaskan pelukannya. “Kenapa? Aku ‘kan suamimu.” Pria itu tersenyum lebar. Semakin senang menggoda Liora. “Wah, suami istri depan belakang layar nih.” Seorang juru kamera tersenyum mengejek ke arah mereka berdua. "Kalian serasi sekali!" seru yang lainnya. "Jangan jangan kalian itu sebenarnya pacaran ya?" "Shhtt, jangan bilang bilang. Pura pura saja tidak tahu," bisik pria itu lagi lagi menggoda Liora. "Ciee!" "Ciuwuw!" "Traktirannya kapan?" Semua orang berseru kepada mereka berdua. Jea hanya geleng geleng kepala melihat kejadian tersebut. Ia sudah tak heran lagi dengan sikap pria itu yang selalu mengganggu Liora. Liora semakin risih dibuatnya. Wanita itu sekali lagi memaksa pria yang mengungkungnya agar melepas pelukan. “Dewangga Prasaja,” desisnya sekali lagi. Pria bernama Dewa itu akhirnya melepas pelukannya, terpaksa, karena ia tahu jika Liora sudah sangat kesal hingga memanggilnya dengan nama lengkap. “Hehehehe, ma’af. Terlalu terbawa suasana.” Dewangga tersenyum cengengesan di hadapan Liora. “Ck, kau fikir aku ini wanita bodoh. Mau seratus kali kau adu akting dengan 100 wanita yang berbeda, kau tidak akan pernah serius dengan salah satunya,” cibir Liora sebelum melengos pergi meninggalkan Dewa. “Kau memang berbeda, Liora. Aku semakin menyukaimu,” gumam Dewa menatap punggung Liora sebelum punggung itu menghilang di balik pintu. "Bermimpi saja kau!" Jea menepuk pundak Dewa dengan tas sebelum berlalu pergi. "Je! Restui aku untuk mendekati Liora!" teriak Dewa sebelum menyusul kepergian dua wanita yang lelah dengan sikapnya. "Tidak akan!" Jea balas berteriak. Semua orang kontan tertawa mendengar teriakan Jea barusan. Sinetron yang diambil Liora kali ini berjumlah 24 episode. Ini adalah syuting untuk episode ke-4 dimana scenenya, mereka—Dewa dan Liora— pindah ke rumah baru setelah episode kemarin mereka menikah. Sinetron berjudul ‘Hatiku yang Memilihmu’ ini bercerita tentang kehidupan rumah tangga yang tentram namun akan mendapat badai permasalahan dari pihak keluarga Dewa yang memang sejak awal tidak merestui hubungan mereka. Terlebih lagi karena Liora tidak bisa memiliki keturunan. “Menyedihkan sekali hidup Sita,” gumam Liora saat membaca naskah miliknya. “Hehm, menurutmu juga begitu, ‘kan?” Dewangga yang sedang di rias oleh MUA ikut menimpali ucapan Liora. “Bayangkan kalau sosok Sita ini benar-benar ada di dunia nyata. Sungguh kasihan sekali wanita itu," imbuhnya kemudian tersenyum miris. “Tidak punya anak. Ditinggal suami.” Liora tertawa kecil. “Aku mengenal satu wanita seperti itu,” celotehnya kemudian. “Siapa? Aku mengenalnya juga,” tanya Dewa penasaran. “Kau tidak perlu tau! Bukan urusanmu, Bung!” cibir Liora tak suka dengan sikap sok akrab Dewa. Liora berlalu pergi sebelum emosinya kembali meledak karena pria itu. “Ra!” Dewa hendak mengejar Liora namun sang penata rias menahan pundaknya. Pria gemulai itu menyuruh Dewa untuk diam saja karena sedang di rias. "Hehehe, Maaf cantik." Dewangga mengerling centil pada prias gemulai itu. Ck, memang dasar playboy cap tikus! Semua di goda tanpa pandang bulu. "Ck, dasar!" Pria gemulai bernama Rubi itu hanya mendengkus mendengar gombalan receh Dewa. Ia sudah terlalu sering mendengarnya dari mulut pria itu. “Bi, menurutmu siapa wanita yang dimaksud oleh Liora tadi?” tanya Dewangga menatap Rubi lewat pantulan kaca. “Ih, mana eike tahu! You fikir eike ini admin lambe turah!” celoteh Rubi ketus. Mulutnya yang lemes dibalut gincu warna pink. Dewa hanya mendecih kesal. Diabaikan oleh Liora. Diabaikan juga oleh Rubi. Ck, banci saja tidak berfikir untuk mendekati Dewa. Malang sekali nasibnya. ***** Syuting baru selesai pukul 1 malam. Liora menggerak-geraknya otot di bahunya yang menegang, wanita itu meraih botol minum yang diberikan asisten padanya. Perempuan itu menegak minuman sampai habis tak tersisa karena kehausan. Syuting hari ini cukup banyak yang menguras tenaga karena Liora hanya menangis dan menangis. “Aku sudah mengemasi barang-barangmu. Kalau kau sudah selesai istirahat, kita bisa langsung pulang,” ujar Jea—manajer Liora—. “Aku akan pulang sendiri,” ujar Liora pelan. “Jangan gila! Para wartawan mungkin masih menunggumu di depan!” seru Jea tak menyukai ide Liora. “Aku bisa pulang kewat pintu belakang,” sahut Liora dengan santainya. “Ini sudah malam. Berbahaya kalau kau send…” “Je, please!” Liora terlihat mengiba. “Aku ingin sendirian,” imbuhnya kemudian. Ia menatap Jea dengan tatapan memohon. Entah kenapa ia ingin berjalan santai sendirian, sembari memikirkan banyak hal yang memang harus difikirkan. Jea masih terus menatap Liora sampai akhirnya wanita seumuran Liora itu menghela nafasnya pasrah. “Hubungi aku kapan pun kau membutuhkan aku,” ujarnya kemudian. "Jangan terlibat masalah," imbuhnya menyelidik. “Hehm.” Liora mengangguk. "Siap bos!" Liora selesai berbenah, ia hanya mengambil slingbag kecil warna hitam yang berisi kartu kredit dan ponsel. Wanita itu pamit pada semua orang sebelum kemudian pergi lewat pintu belakang. Liora berjalan melewati gang kecil seorang diri. Wanita itu memang tidak mengena rasa takut. Hari sudah lewat tengah malam tapi dia malah ingin pulang sendiri. Alasan sebenarnya karena ia tidak ingin pulang ke apartemen yang kosong karena ia yakin Rengga tidak akan datang. Sekalipun ia tak mengecek ponselnya sejak tadi siang. Alasan kedua, karena ia tidak bisa tidur. Dokter pribadinya mengatakan bahwa Liora mengalami insomnia akut. Ini terjadi sudah lebih dari satu tahun. Dia selalu terbangun tiap malam dan akhirnya tidak bisa tidur sampai pagi, kecuali ia terlalu lelah. Makanya ia sering membuat dirinya sendiri kelelahan sehingga ia tak perlu meminum obat tidurnya. Kalau ada Rengga yang tidur di sampingnya, ia akan menggunakan waktunya untuk memandangi wajah pria itu sampai pagi. Liora tersenyum kecil saat membayangkan wajah tampan Rengga. Wanita itu sudah sampai di ujung gang. Ia menengok jalanan besar yang masih ramai dengan kendaraan roda dua dan empat. Liora membenarkan letak topinya kemudian memilih berbelok ke kiri. Ia ingat ada sebuah minimarket di ujung jalan. Liora menatap sejenak papan nama pada minimarket yang sudah tua, berkedip-kedip seakan hampir mati. Minimarket ini punya sepasang kakek dan nenek yang sudah lanjut usia. Biasanya kalau Liora lewat daerah sini, ia akan mampir ke minimarket entah untuk membeli apapun. Sebenarnya ia hanya ingin menyapa kakek dan nenek itu. Namun, saat ini ia tak yakin kalau kakek dan nenek itu yang menjaga toko. Mungkin mereka mempekerjakan pegawai magang karena minimarket ini buka 24 jam. Belum pernah ia datang ke sini saat lewat tengah malam seperti ini, jadi ini untuk kali pertama. Wanita itu melangkah untuk masuk ke dalam. Berniat untuk membeli mie dan juga beberapa camilan. Ia akan menikmati malam ini dengan makan apapun yang ia inginkan di depan minimarket. “Selamat datang! Selamat berberlan…” Ucapan pelayan toko tersebut terhenti saat mengetahui siapa orang yang datang. Liora menoleh ke arah kasir dia juga tersentak saat sosok yang berdiri di balik meja kasir sangat tidak asing diingatannya. “Well, selamat berbelanja, Nona Liora.” Pria itu tersenyum menyeringai. “Sial,” maki Liora pelan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD