"Permisi, Tuan. Ini ada kiriman dari kantor," kata Evan menemui Sanders di ruangan kerjanya.
Pria beralis tebal itu mendongak, lalu meminta Evan meletakan dokumen itu di meja. Ketika pria itu hendak berlalu, Sanders menahannya. Tadi, ia sempat melihat kekecewaan di wajah Diana ketika meninggalkan ruangannya. Jadi, Sanders ingin bertanya apa yang istrinya lakukan beberapa waktu terakhir ini.
"2 hari ini, Nona Diana tidak keluar rumah, Tuan," kata Evan.
Sanders mengernyit. Tak biasanya sang istri bersikap demikian. Sebelum ini, ia pergi keluar kota dan Diana pamit untuk pergi ke pantai. Sanders tahu kebiasaan itu. Istrinya sangat menyukai laut. Jadi, tidak jarang Diana pergi ke sana. Namun, ada apa 2 hari ini?
"Apa yang terjadi di pantai hari itu?" tanya Sanders kemudian.
Evan mendadak tegang. Hari itu? Bukankah hari itu ia dan Diana tidak jadi ke pantai dan ... aah, ini tidak mungkin ia ceritakan. Ini adalah rahasia. Jadi, Evan tak mungkin mengatakan yang sebenarnya.
"Ada apa hari itu?" tanya Sanders lagi karena Evan tampak kebingungan.
"Emh ... Nona Diana hanya tampak sedang sedih, Tuan. Tapi saya tidak tau apa sebabnya," jawab Evan.
Sanders membuang napasnya dengan kasar. Ia tahu penyebab utama wanita itu bersikap demikian. Oke, selama beberapa waktu terakhir ini ia memang sangat sibuk mengurus bisnis. Terlebih, bisnis bawah tangannya yang sangat menguntungkan. Tentu saja, itu akan menyita waktu. Ia bahkan kadang lupa beristirahat. Namun, ia memang tidak boleh lengah. Sedikit saja ia melunak, semuanya tidak akan berjalan lancar.
"Baiklah. Kamu harus antar dan jaga dia ke mana pun dia pergi. Laporkan jika ada sesuatu yang berbahaya dan membuat Diana tidak senang. Biar nanti aku yang urus. Paham kamu?" kata Sanders menekankan.
"Baik, Tuan," timpal Evan.
Pria itu mendongak, lalu pamit dari ruangan sang bos. Langkahnya gontai untuk kembali ke kamar. Sejujurnya ia tahu, sang nona bukan hanya membutuhkan materi, tapi juga kasih sayang. Terlalu sayang wanita secantik itu hanya dijadikan pajangan di rumah mewah ini. Andai Evan tidak sedang dalam tugas, tentu saja ia mau bersama dengan nonanya yang begitu indah.
Pria itu menyunggingkan senyum tanpa henti sampai akhirnya suara seseorang menegurnya dari lorong dapur.
"Baru dapat bonus kamu, Van. Sejak tadi senyum-senyum terus?"
Evan menoleh. Adalah Talita, salah satu ART yang ada di kediaman Sanders. Gadis itu sudah tidak lagi muda. Namun, memiliki pesona yang lumayan menggoda. Beberapa pegawai pria di sini sering memperhatikan langkah gemulai gadis itu. Namun, Evan tidak termasuk salah satunya.
"Enggak. Aku ke kamar dulu, ya," kata Evan demi menghindari gadis itu.
Namun, Talita tak mau melepaskan pria itu begitu saja. Dari semua pegawai yang bekerja di rumah ini, Evan adalah yang paling muda. Dan Talita suka dengan tubuh atletisnya.
"Tunggu, Van! Apa aku bisa minta tolong ke kamu?" tanya Talita sedikit menggoda.
"Minta tolong apa?"
Evan bertanya tanpa curiga. Walau sering kali ia menangkap basah Talita dengan terang-terangan memperlihatkan sebagian tubuhnya demi menarik perhatiannya.
"Tolong pasangin paku untuk jam dinding di kamar. Aku sering terlambat bangun karena jam dinding di kamar tidak dipasang," ucap wanita itu.
Evan mengangguk. Ia kemudian mengekor pada Talita masuk ke paviliun belakang. Di mana kamar pegawai yang bekerja di kediaman Sanders tinggal.
Talita membuka salah satu kamar, lalu mempersilakan Evan masuk. Di atas nakas, sudah ada paku dan palu. Evan tak mau membuang waktu. Jadi, ia segera mengambil bangku dan memasang benda itu di dinding.
"Di sini, ya?" tanya Evan.
"Iya-iya, di sana," ucap Talita.
Evan dengan cekatan melakukan itu. Saat ia selesai, pria itu menunduk demi mengambil jam dinding yang akan dipasang. Talita megangsurkannya. Namun, kali ini dengan tatapan penuh pesona seraya menurunkan sedikit belahan dadanya. Namun, Evan benar-benar tidak tertarik. Pria itu membuang napas kasar dan melakukan tugasnya dengan cepat.
Setelah turun dari bangku, Talita segera mendekati pria itu. Seraya mengucapkan terima kasih, wanita itu bergelayut di lengan Evan.
"Untung ada kamu. Terima kasih, ya," katanya.
"Iya. Aku permisi."
"Tunggu, Van. Emh ... aku dengar kamu masih sendiri, ya? Kenapa enggak nikah?" tanya Talita basa-basi.
"Belum pengen nikah," sahut Evan.
"Emh ... gitu. Tapi ... pasti udah pernah ...."
Talita menjeda ucapannya. Ia dengan sengaja menyentuh tubuh bagian bawahnya demi memberikan kode pada pria itu. Namun, Evan malah menggeleng lemah. Tidak. Ia sama sekali tidak tertarik.
"Aku balik," kata Evan mengabaikan Talita.
Wanita itu mencebik kesal. Ia sudah mencoba berkali-kali untuk menggoda pria itu. Namun, tidak pernah sekalipun Evan meladeninya. Saat ini, ia sedang gusar. Jadi, bagaimana jika ia menahan pria itu dan mencoba berterus terang.
"Van, apa kamu tidak mau ... sebentar saja bermain-main di sini?" tanya Talita.
"Maaf. Aku harus beristirahat," ucap Evan kemudian.
"Tidak ada palayan yang lebih cantik daripada aku di sini. Jadi, kenapa kamu selalu menolakku?" tanya Talita lagi.
Evan tersenyum kecil. Ia tidak sedang benar-benar bekerja di sini. Ia adalah Intel yang sedang menyamar demi sebuah misi membongkar kartel narkoba terbesar. Jadi, untuk apa meladeni seorang pelayan. Walaupun Talita memang cantik dan seksi, tapi Evan tak mau mengambil risiko apa pun.
"Aku tidak tertarik. Maaf."
Evan berlalu tanpa bisa dicegah. Pria itu kembali ke kamarnya dengan langkah pasti ketika menyadari ada sepasang mata indah mengamatinya dari kegelapan balkon. Iya, Diana juga melihat Evan keluar dari ruangan sang suami tadi. Ia melihat Evan ditarik masuk ke kamar Talita. Dan beberapa menit kemudian pria itu keluar. Pikiran Diana tidak bisa lepas dari prasangka buruk. Jadi, apakah Evan memang seorang player? Jadi, ia berniat memastikannya malam itu juga. Diana mengambil telepon, lantas melakukan panggilan.
"Iya, Nona."
"Naik ke kamar saya," katanya pada seseorang di seberang telepon.
***
Pagi itu, Diana telah bersiap. Ia turun ke meja makan di mana Sanders sedang sibuk membaca koran harian pagi ini. Wanita itu masih tampak gusar. Ia mengempaskan tubuh di kursi meja makan, tepat di sebelah sang suami.
Kedatangan Diana menarik atensi Sanders dengan segera. Pria itu menutup koran, lalu mengulurkan tangannya menyentuh pipi sang istri lembut.
"Maaf, ya, semalam aku ketiduran di ruang kerja," katanya.
"Hmmm."
Sanders tersenyum kecil melihat wanitanya masih kesal. Jadi, ia mengambil dompet, lantas mengambil kartu kreditnya untuk kemudian diletakkan di samping piring Diana.
"Beli apa pun yang kamu mau. Aku akan pulang telat hari ini. Minta Evan mengantarmu ke mana saja. Oke, Sayang."
Sanders mendaratkan ciuman di bibir Diana. Sangat singkat dan pria itu segera bangkit dari meja makan. Ia harus segera sampai di kantor. Sementara Diana hanya bisa membuang napasnya dengan kasar. Entah apakah ia butuh belanja hari ini? Namun, sudah ada kartu kredit. Jadi, manfaatkan saja.
Diana lantas keluar. Saat menuju ke mobil, Evan sudah siap dengan kemeja rapi demi mengantar Diana ke mana sana. Pria itu dengan cekatan membukakan pintu, lalu menunggu sang nona masuk. Sayangnya, Diana malah berhenti dan melempar tatapan kesal pada sang sopir yang pagi ini tampak begitu tampan.
"Ada apa, Nona?" tanya Evan kemudian.
"Enggak. Aku cuma enggak nyangka aja kalau ternyata kamu itu murahan," kata Diana sebelum kemudian masuk ke mobil.
Evan tidak mengerti apa yang dikatakan oleh sang nona. Jadi, ia bergegas masuk ke kursi kemudi untuk menyetir.
"Kita mau ke mana, Nona?" tanyanya.
"Kamu ini enggak peka atau memang bod*h? Aku sedang kesal. Apa kamu tahu kenapa?"
Evan diam saja. Namun, kemudian pria itu tersenyum kecil.
"Saya tahu kenapa Nona Diana bilang kalau saya murahan. Nona pasti melihat saya keluar dari kamar Talita semalam, kan? Jangan salah paham, Nona. Saya hanya membantu memasang jam dinding saja," jelas Evan.
Diana melirik sang sopir dengan gusar. Lantas menyilangkan kakinya demi membuatnya jadi terlihat anggun.
"Siapa yang peduli apa yang kamu lakukan di kamar Talita," sahut Diana.
Evan masih tersenyum. Semalam, ia sempat melihat sang nona berdiri di balkon yang gelap dengan baju tidur yang sama. Entah kenapa ia merasa spesial ketika Diana mengamatinya diam-diam.
Pria itu kemudian turun dari tempat kemudi dan membuka kabin penumpang di mana Diana berada. Dengan lancang, ia lantas memasang seat belt hingga wajahnya dan sang nona begitu dekat.
"Anda tidak peduli, tapi mengapa sampai memastikannya dengan bertanya pada Talita?" bisik Evan disertai senyum kecil untuk Diana.
Wajah Diana memerah seketika.