Brak!
"Siapa yang sudah main-main denganku?"
Sanders mengumpat kasar ketika mengetahui bahwa transaksi yang terjadi di hotel Victoria telah terendus oleh pihak berwajib. Pria itu kembali ke kantor dengan amarah yang memuncak dan menggebrak meja demi meluapkan segala yang ada dalam hatinya. Pria itu tidak tahu siapa yang telah berkhianat di antara semua orang yang ada di dekatnya. Sampai-sampai, transaksi yang bernilai puluhan juta itu melayang sia-sia karena digerebek oleh polisi. Padahal Ia telah mengamankan situasi dengan memperketat keamanan. Nyatanya, para anggota polisi itu berhasil mengantongi bukti dan pelaku.
"Mereka semua adalah para Intel, Tuan. Saya yakin, ada seseorang yang telah membocorkan mengenai transaksi kita," kata Yuda.
Salah seorang bawahan Sanders itu berasumsi. Tentu saja, selama ini tidak ada yang berani membuka mulut ketika Sanders berurusan dengan barang haram itu. Namun, dalam sebulan ini sudah ada dua transaksi yang gagal karena kebocoran informasi. Entah siapa yang melakukannya?
"Aku enggak mau tau. Cari siapa pelakunya dan habisi. Satu lagi. Jangan sampai para kurir itu membuka mulutnya. Beri mereka jaminan dan apa pun agar tetap bungkam," titah Sanders.
Pria paruh baya itu masih mengeratkan rahangnya. Ia masih mengira-ngira siapa pelaku yang telah membocorkan informasi itu kepada pihak berwajib. Selama ini, tidak ada satu pegawai pun yang berani membuka mulut mengenai barang haram yang menjadi bisnisnya. Mereka semua telah diancam untuk tetap diam jika tetap mau bekerja dan selamat.
"Kamu urus semuanya," kata Sanders sebelum meninggalkan ruangannya.
"Baik, Tuan."
Pria itu berjalan cepat menuju ke lobby kantornya. Namun, sang sekretaris tiba-tiba memanggil. Sanders menghentikan langkahnya kemudian dihampiri oleh sang sekretaris.
"Ada apa?" tanyanya.
"Maaf, Tuan. Nona Selena meninggalkan ini. Untuk Tuan Sanders katanya," jelas sang sekretaris.
Sanders menatap cardlock yang diangsurkan sang sekretaris kepadanya dengan nanar. Selena adalah pebisnis yang ingin bergabung dengannya. Wanita itu datang dari Singapura dan tertarik untuk investasi dalam bisnis properti yang Sanders geluti. Tadi, Sanders memilih menunda makan siang mereka karena insiden di hotel Victoria. Jadi, apa maksudnya Selena memberikan cardlock-nya kepada Sanders.
"Dan ini juga dari Nona Selena, Tuan."
Sekretaris itu juga mengangsurkan paper bag kecil. Di dalamnya, ada kotak berisi arloji dan selembar surat. Gegas Sanders membacanya demi mengetahui apa maksud Selena.
[Kamar nomer 213. Saya tunggu kedatangannya]
Sanders membuang napasnya dengan gusar. Pria itu berpikir sejenak, lantas melirik arloji yang ia pakai. Masih ada waktu jika ingin melanjutkan bicara dengan Selena. Namun, di dalam kamar wanita itu? Apakah ini tidak berlebihan? Namun, mengingat ucapan sang asisten jika Selena bukankah pebisnis biasa, Sanders akhirnya memutuskan untuk mendatangi wanita itu. Ia berjanji pada diri sendiri untuk tidak melakukan hal yang berlebihan dengan calon investornya itu.
Dengan mengendarai mobilnya sendiri karena Yuda harus mengurus yang lain, Sanders datang ke hotel di mana Selena berada. Setelah naik dan mencari di mana kamar 213 berada, Sanders memberanikan diri untuk menggunakan cardlock yang tadi diberikan sang sekretaris dari Selena.
Dengan perlahan pria itu menekan kenop dan mendorong pintu hotel hingga terbuka separuh. Kepalanya masuk lebih dulu demi melihat apakah si empunya kamar ada di dalam atau tidak? Namun, Selena telah lebih dulu tahu kedatangan pria itu. Dengan senyum semringahnya, wanita itu menyambut Sanders yang terkesiap dengan penampilan Selena yang berbeda.
"Selamat datang, Tuan Sanders. Masuklah!" kata Selena kemudian.
Sanders masih mematung setelah menutup pintu dari dalam. Selena tidak lebih cantik daripada Diana. Namun, pesonanya jauh berbeda ketika tadi mereka bertemu untuk pertama kalinya.
"Hai, jangan diam saja di sana. Maaf, ya, Tuan. Saya terpaksa memberikan cardlock itu. Saya tidak yakin akan lama di Indonesia. Jadi, saya mengundang Anda ke sini," jelas Selena.
Wanita itu memakai dress selutut berwarna maroon dengan belahan d**a rendah. Rambutnya diikat sembarangan dengan riasan mata yang sempurna.
"Tidak masalah. Saya yang minta maaf karena tadi tidak menyambut dengan baik. Ada masalah sedikit tadi," kata Sanders.
"Tidak masalah, Tuan."
Selena mendekati pria itu usai mengambil gelas juga wine yang ada di kulkas kamarnya. Sepertinya minuman itu cocok untuk menemani mereka yang hanya berdua saja.
"Apa tidak masalah jika kita sedikit tidak formal. Aku tidak nyaman rasanya. Bolehkah aku memanggil Sanders saja? Hanya di sini, aku janji jika kita bertemu di luar akan kembali memanggilmu Tuan," bisik Selena di akhir kalimat.
Darah Sanders berdesir. Kendatipun Diana juga sering melakukannya, tapi ketika wanita di depannya ini yang bergerak, ada sesuatu yang berbeda.
"Iya, tidak masalah, Selena."
"Yeah, I like it. Ngomong-ngomong Sanders, apa kau menyukai arloji yang kuberikan? Aah ... mengapa kau tak memakainya?"
Selena mencebik. Intel BIN itu bersikap sedikit manja demi bisa merayu Sanders yang terlihat begitu berdebar. Pria paruh baya itu tampak deg-degan. Ketika kemudian, Selena dengan lancang mendekat dan melepas jas pria itu. Tangan wanita itu lincah mengambil pergelangan tangan Sanders dan melepas jam tangan pria itu.
"Biar aku yang memakaikannya," kata Selena kemudian.
Sanders tak bisa berbuat banyak. Ia hanya manut ketika wanita itu mendekatkan tubuhnya kepada Sanders. Lantas, memakaikan arloji yang ia beli.
Saat itu, Sanders menatapnya dengan lekat. Selena merasa lega ketika jam tangan yang disertai pelacak dan alat perekam suara itu terpasang. Ini akan memudahkan timnya untuk membongkar kejahatan Sanders. Sayangnya, wanita itu tak sadar jika ia juga telah membangunkan singa di depannya.
Sanders menarik pinggang wanita itu untuk mendekat, lalu menghidu lehernya perlahan.
"Apa ... kau mencoba menggodaku, Selena?" bisik Sanders.
Dengan pengalamannya yang banyak di bidang percintaan, Sanders tahu bagaimana perangai wanita yang sengaja membuat ga*rahnya naik. Dan Selena melakukannya dengan baik. Oke. Jika ini bukan karena n*fsu semata, ia akan melakukan ini untuk investasi Selena yang berharga.
"Memangnya kau tergoda?" sahut Selena dengan kedipan matanya.
Sanders tak menjawab. Pria itu tersenyum kecil, lalu mulai dengan belahan d*da Selena. Alih-alih hanya meladeni Sanders demi memastikan alat di jam tangan itu terpasang baik, wanita itu malah dengan gilanya tergoda permainan pria paruh baya itu. Pada sofa kamar itu, Selena pasrah di bawah Kungkungan Sanders yang gusar.
Malam itu, Sanders pulang ke kediamannya seorang diri. Pria itu membuang napasnya kasar ketika mengingat kegilaannya barusan bersama Selena. Entah kenapa ia bisa sampai kebablasan seperti itu. Padahal, tidak pernah ada dalam benaknya untuk mengkhianati Diana dengan siapa pun.
Pria itu kemudian masuk ke kamar. Di ranjangnya, Diana telah terlelap. Jadi, ia memilih pergi untuk menemui Evan di kamarnya.
Saat sampai di paviliun, Sanders mengetuk pintu kamar Evan yang tertutup. Tak lama, pria itu keluar dan terkejut ketika melihat sang bos berdiri di depan pintunya.
"Tuan Sanders," sapa Evan.
"Van, saya ke sini mau berterima kasih soal tadi. Saya akan transfer bonus kamu bulan ini. Apa ... Diana tidak bicara macam-macam?" tanya Sanders kemudian.
Evan terdiam. Satu hal yang paling Evan ingat dari perjalanannya tadi bersama Diana hanya ucapan wanita itu.
"Bawa aku ke mana saja, Van."
Evan menggeleng lemah demi menimpali pertanyaan sang bos.
"Tidak, Tuan. Saya tadi hanya mengatakan bahwa Tuan Sanders sedang bersama rekan bisnis. Jadi, tidak seharusnya diganggu," ucap Evan.
"Apa Diana percaya?"
"Iya, Tuan."
"Bagus! Ya, sudah. Kembali beristirahat," titah Sanders.
Evan mengiakan. Ia melepas sang bos pergi ke kamar dan memperhatikan punggung pria itu hingga masuk ke kamarnya. Aah ... rasanya Evan ingin sekali menyusul dan membawa pergi Diana. Mengingat Selena pasti tidak melepaskan kehangatan pria seperti Sanders. Iya, Evan paham bagaimana perangai rekan kerjanya itu. Jadi, sudah pasti malam ini Sanders telah jatuh ke pelukannya.
Pria itu kemudian membuang napasnya dengan kasar. Lantas, berbisik, "Kasian sekali kamu, Nona. Andai ada kesempatan membuatmu bahagia."