"Kita lanjutkan perjalanan, Nona?" tanya Evan.
"Emmh ... iya."
Diana pura-pura membuang wajahnya ke arah samping, sedangkan Evan kembali menghadap ke depan. Senyum pria itu tak lesap walau memakan perjalan yang cukup panjang. Sampai akhirnya, mereka sampai di kediaman orang tua Sanders yang megah. Pria itu lantas membukakan pintu untuk Diana yang kemudian disambut oleh sang ibu mertua.
"Sayang, kamu datang."
Keduanya berpelukan. Saat itu, Evan hanya melihatnya dari kejauhan. Wanita itu terlihat makin mempesona ketika berbicara dengan sang mertua. Sangat anggun dan memperlihatkan kecakapannya. Siapa yang menyangka jika Diana akan merasa kesepian. Bahkan nekat melakukan tindakan yang demikian di dalam mobil.
Evan lantas menyulut tembakau yang ia ambil dari saku kemejanya. Ia mengingat-ingat bagaimana ekspresi Diana ketika tadi ia menyentuh kulitnya yang lembut. Wanita itu terkejut dan Evan sangat menyukai hal itu. Apakah akan datang kesempatan lagi untuk menyentuh wanita itu?
Evan membuang asap ke udara. Rasanya begitu nyaman melihat istri orang itu bisa tersenyum. Walau di rumah, Sanders sama sekali tak bisa memberikan senyuman seperti itu.
Diana menoleh setelah beberapa saat menyapa mertua dan kerabatnya. Wanita itu mengulas senyum pada sang sopir dan melambaikan tangannya.
"Iya, Nona."
Evan membuang rokok ke tanah, lantas menginjaknya. Gegas ia mendekati Diana yang saat ini sudah ada di beranda kediaman keluarga Sanders yang megah.
"Iya, Nona."
"Masuk. Ambil makanan juga seperti yang lain," kata Diana.
"Nanti saja, Nona. Saya belum lapar."
"Oke. Aku masuk dulu. Sepertinya, aku harus menyapa semua orang," ucap Diana.
Evan mengangguk lemah. Ia masih memperhatikan sang nona yang berjalan anggun dan menebar senyum kepada semua tamu yang datang. Saat itu, 2 orang pria yang juga menjadi tamu undangan berkelakar.
"Memang cantik sekali Diana. Sanders memanfaatkan kekayaannya untuk menjerat gadis itu. Aku yakin, Diana sebenarnya tidak mencintainya," ucap salah satu pria.
Evan masih mendengarkan keduanya berghibah. Siapa tahu, ia mendapatkan informasi mengenai Sanders.
"Dan dia dimanfaatkan oleh orang tuanya untuk mengeruk harta Sanders. Tapi, dia tidak akan miskin. Kasian sekali Diana," sahut yang lainnya.
"Tapi lihatlah. Tubuh Diana begitu seksi. Kenapa Sanders begitu tega mengirim dia datang sendiri jauh-jauh ke sini? Aku mau membayar sedikit mahal jika bisa menikmatinya semalam saja. Pasti sangat memuaskan."
Evan mengepalkan tinju mendengar ucapan m*sum kedua pria itu. Yang benar saja. Mereka hanya pegawai dan bisa membicarakan istri bos mereka yang cantik. Jika tidak ingat bahwa ia tengah menyamar menjadi sopir, pria itu pasti sudah menghajar keduanya hingga babak belur.
Evan lantas berlalu. Ia menunggu sang nona yang sedang beramah tamah dengan para kerabat dan pegawai sang mertua. Sampai akhirnya, wanita itu merasa kelelahan. Diana mengambil duduk di sebuah kursi yang kemudian dihampiri oleh beberapa kerabat perempuan Sanders yang juga datang.
"Diana, apa kabarmu?" tanyanya.
"Oh, aku baik. Kalian bagaimana?"
Wanita itu mencoba beramah tamah dengan kedua sepupu Sanders yang nyinyir. Tentu saja, itu sangat menyebalkan. Ketika kemudian mereka bertanya mengenai momongan.
"Apa kamu sengaja menundanya?" tanya salah satunya.
"Tidak. Memang belum saatnya kami mendapatkan anak," sahut Diana.
"Oh, aku pikir kamu masih mau punya tubuh yang bagus. Jadi, menunda memiliki momongan. Padahal Sanders sudah sangat berumur. Aku yakin dia juga ingin sekali menggendong seorang putra," kata yang lain.
Diana hanya tersenyum. Ia lelah menimpali pertanyaan yang demikian. Tentu saja, ia ingin sekali memiliki momongan. Namun, bagaimana jika Sanders saja selalu sibuk. Pria itu lebih memilih bergelung dengan pekerjaan daripada berbagi kehangatan bersama Diana.
"Jika suamimu kurang perkasa, bilang saja. Aku punya obat yang bisa membuat pria berg*irah seketika," bisik salah seorang yang duduk dekat dengan Diana.
Wanita itu mengernyit. Apakah ada yang seperti itu? Jujur saja, Sanders bukan tidak perkasa. Pria itu hanya tidak ingin melakukannya. Jadi, apakah Diana membutuhkan obat per*ngsang?
"Terima kasih. Tapi Sanders masih ... masih memuaskan," bisik Diana.
Semua wanita yang mendengar itu tertawa bersamaan. Mereka masih melanjutkan percakapan mereka sampai akhirnya acara usai.
Diana tampak begitu lelah. Saat itu, semua orang sudah beranjak pulang. Hanya tinggal beberapa kerabat saja. Wanita itu mengambil duduk di sebuah sofa hingga sang mertua menghampirinya.
"Mau menginap saja, Di?" tanyanya.
"Tidak, Bu. Sepertinya Diana akan pulang saja," jawab wanita itu.
"Baiklah. Aku akan meminta mereka membungkus makanan kesukaan Sanders. Siapa tahu, dia mau makan nanti," ucap sang mertua.
Diana hanya mengangguk lemah. Ia lantas menunggu sang mertua kembali, kemudian berpamitan. Saat itu, Diana menghampiri Evan yang sejak tadi hanya menunggu di luar. Wanita itu tahu, sang sopir tidak makan tadi.
"Kita pulang sekarang, Nona?" tanya Evan.
"Iya."
Evan lantas membukakan pintu untuk sang nona. Pria itu dengan ramah membantu Diana masuk ke kursi penumpang dan menutup pintunya. Ketika Evan sudah masuk ke kursi kemudi, Diana mengangsurkan kotak nasi tadi kepada pria itu.
"Kamu belum makan sejak tadi," kata Diana.
"Saya tidak lapar, Nona."
"Jadi, kamu haus?" tanya Diana sekenanya.
"Bukan juga. Saya-"
Evan menjeda ucapannya ketika melihat senyum wanita itu yang hambar. Sepertinya, ini adalah hari yang melelahkan. Evan menyadari hal itu dari wajah kuyu Diana saat ini.
"Kita jalan. Ikuti arah yang kukatakan," kata Diana.
"Baik, Nona."
Evan kemudian melajukan kendaraannya sesuai arahan sang nona. Namun, ia mengernyit ketika Diana memintanya berhenti di depan sebuah kelab. Apakah wanita itu akan masuk ke sana?
"Untuk apa kita ke sini, Nona?" tanya Evan.
"Aku akan masuk dan membeli minuman. Kamu-"
"Jangan, Nona! Biar saya saja. Apa yang Nona butuhkan?" sahut Evan cepat.
Diana tersenyum. Ia merasa senang ketika Evan dengan cekatan akan menjaganya tanpa diminta. Baiklah, biarkan pria itu yang masuk. Dan ia akan menunggu di sini saja.
Evan akhirnya masuk. Tak lama, pria itu kembali dengan minuman yang Diana pesan. Wanita itu tersenyum senang dan langsung menenggaknya tanpa menggunakan gelas.
Evan hanya bisa melihat apa yang sang nona lakukan. Mau melarang, tapi ia tak punya hak. Sampai akhirnya, Diana mulai mabuk.
"Kenapa Nona melakukan ini?" tanya Evan yang penasaran.
"Aku lelah, Van. Sudahlah. Kamu sepertinya juga tahu. Apa kamu mau mencobanya?" tanya Diana.
Evan menggeleng lemah. Tentu saja tidak. Ia harus menyetir mobil. Dan akan mengancam keselamatan jika ia juga mabuk.
"Kita pulang sekarang, Nona?" tanya Evan.
"Ha-ha-ha. Kamu takut mabuk? Aku akan beri tahu caranya biar kamu enggak mabuk," kata Diana.
"Bagaimana caranya, Nona?"
Diana melambaikan tangannya pada pria itu. Evan lantas mendekat. Namun, tanpa disangka, Diana mengalungkan lengannya ke leher pria itu dan berbisik lirih.
"Aku yang akan minum dari botol, dan kamu minum dari bibirku."
Dada Evan bergemuruh. Hasr*t kelelakiannya bangkit saat napas hangat Diana menerpa telinganya. Belum lagi ucapan wanita itu. Aah ... Evan bisa gila dibuatnya.
"Nona, kita seharusnya-"
Diana menarik lebih dekat wajah Evan. Mata sayu wanita itu membuat Evan tak kuasa menolak. Ia juga ingin sekali merasakan lembutnya bibir istri bosnya yang cantik ini. Jadi, ia berpindah ke belakang.
Diana tersenyum. Lantas, berbisik di depan wajah Evan yang memerah.
"Maaf, Van. Tapi aku juga tidak bisa melupakan waktu itu. Apa ... aku boleh memintanya lagi?" tanya Diana.
Apa? Lagi? Sial! Evan menelan ludahnya perlahan. Kalau begini, siapa yang bisa tahan?