BAB 54

1123 Words
“Kai, bisakah Kamu pikirkan sekali lagi? Kita bisa menunggu kedatangan sepupumu, Keanos. Aku sudah mngirimkan surat untuk Athura dan meminta Keanos pulang. Aku juga sudah mendapatkan jawaban dari Athura, bahwa keadaan di sana telah membaik. Jadi bisakah Kamu menunggu sampai Keanos dan Athura datang?" bujuk raja Phillips pada putranya. “Tidak, Ayahanda. Keputusan Kai sudah bulat. Kai harus pergi secepat mungkin sebelum keadaan di perbatasan semakin memburuk,” ucap Kai teguh pendirian. “Tapi pernikahanmu sudah ada di depan mata, Nak. Ayah yakin Athura tidak akan setuju jika kamu pergi ke medan perang. Tunggu sebentar, empat hari saja,” bujuk raja Phillips tanpa kenal lelah. “Ayahanda, Kai tidak bisa berdiam diri sementara para penduduk Nirvama sedang mengalami kesulitan. Sehari, satu jam, satu menit bahkan satu detik pun begitu berharga bagi kita. Waktu adalah emas, Ayahanda. Kita harus memanfaatkan waktu dengan sebaik mungkin," ucap Kai dengan keras kepala. “Lalu bagaimana dengan Aurora? Apakah Kamu tega meninggalkan dia?" Raja Phillips menggunakan nama gadis tersebut karena ia tahu betul, hanya orang itu yang bisa mengubah keputusan putranya. Kai tersenyum lebar. “Justru dia akan kecewa jika aku tak pergi. Dia pun akan berpikiran sama denganku. Tidak akan sanggup membiarkan rakyat jelata menderita sementara aku tinggal di tempat yang semewah dan senyaman ini.” Pada akhirnya, raja Phillips kehilangan akal untuk membujuk pria itu. Tak ada lagi yang bisa ia lakukan selain membiarkan penerusnya itu turun ke medan perang. *** Malam begitu tenang. Tampak ribuan bintang bersinar menghiasi hamparan langit luas di angkasa. Sang bulan sabit pun bersinar cukup tenang meski tak sedang purnama. Angin berembus semilir, membuat suasana semakin syahdu. Di tempat itu, di atas atap, gadis itu menemui kekasihnya secara diam-diam. Ia pergi setelah mendapatkan sebuah surat dari merpati. Mungkin ini adalah pertemuan pertama mereka sejak hari pertunangan. Aurora sempat menolak dengan mengatakan ingin mengikuti tradisi, tetapi tanda penting yang Kai sisipkan membuat ia tidak bisa melewatkan pertemuan mereka. “Rora, aku akan langsung saja mengatakannya.” Pria itu membelai rambut kekasihnya dengan lembut. “Aku harus pergi ke daerah perbatasan untuk mengatasi para penyerang dari negara lain. Apakah Kamu mengizinkan aku pergi?” Aurora tersenyum lembut, ia begitu bangga dengan calon suaminya yang lebih mementingkan Nirvana di atas segalanya. Pria baik hati, bertanggung jawab dan penuh kasih sayang kepada sesama, seperti idamannya. Aurora memberanikan diri mengulurkan tangan, mengusap lembut pipi kekasihnya. Lalu gadis itu berucap dengan wajah yang memerah, “Tentu tidak calon suamiku. Aku akan mengizinkanmu pergi berjuang demi negeri ini, demi rakyat kita. Karena kelak kita berdua yang harus bertanggung jawab penuh atas negeri ini.” “Terima kasih, Rora. Terima kasih!” Pria itu memegangi tangan Aurora dan mengecupnya. Di bawah sinar sang rembulan, keduanya saling bertatapan mata. Dalam hati pria itu berjanji akan segera kembali. Sementara gadis itu berjanji akan menunggu calon suaminya datang membawa kemenangan. Tanpa mereka ketahui, itu adalah malam terakhir yang menjadi pertemuan mereka. Malam terakhir yang akan membuat mereka terpisah selamanya. Bahkan ikatan yang terjalin pun akan terputus dan tak dapat disatukan kembali. Karena takdir yang telah memutuskannya .... *** “Tuan, ada surat dari yang Mulia raja.” Seorang pengawal menghadap kepada Athura dan menyerahkan lembar serat kayu yang berisikan tulisan dari raja. Athura segera membacanya, ia yakin ada hal yang sangat penting yang membuat yang mulia sampai mengirimkan surat kepadanya. Biasanya, apa pun yang terjadi raja tidak akan pernah mengirimkan pesan saat ia sedang bertugas. Setelah selesai membaca, Athura mengembuskan napas kasar. Pria itu tampak berpikir keras lalu dengan berat hati memberikan perintah. “Berikan kabar kepada yang mulia bahwa keadaan di tempat ini telah membaik.” “Tapi, Tuan. Kenyataannya tempat ini masih sekacau ini ...,” protes pengawal itu. "Lakukan saja perintahku," perintah Athura tak ingin dibantah. Diam-diam, Athura tak ingin membuat yang mulia raja khawatir dan berakibat buruk pada kesehatannya. Pria itu berjanji akan segera memulihkan keadaan di tempat itu. Ia harus segera menangkap pengkhianat dan pemberontak dan mengatasi segala masalah lalu kembali ke kerajaan secepat mungkin. “Ah ya, panggil Keanos. Suruh menghadap kepadaku," perintah pria itu lagi. “Baik, Tuan.” Pria itu segera undur diri untuk memanggil Keanos. “Iya, Paman.” Tak butuh waktu lama, pria itu telah menghadap dengan hormat. “Kamu segera kembalilah ke kerajaan,” peritah Athura tanpa basa-basi. “Tapi, Paman ... keadaan di tempat ini masih sangat genting. Bagaimana saya bisa meninggalkan Paman berada di tempat ini sendirian?" Tugas ini merupakan impian Keanos. Sudah sejak lama, ia ingin ikut bertempur bersama kakak dari ibunya itu. Keanos ingin menimba ilmu sebanyak-banyaknya dari pria tersebut. “Perbatasan selatan dalam keadaan genting. Daerah itu telah dikepung dan diserang, pergilah. Bantu putra mahkota untuk mengatasinya. Jaga dia, pastikan dia akan baik-baik saja. Lakukan semua yang terbaik demi Aurora.” “Baik, Paman.” Pria itu segera undur diri dan menyiapkan kuda untuk keepulangannya. Keanos adalah putra semata wayang dari putri Azura, adik dari Athura. Keanos adalah seorang pangeran, tepatnya saudara tiri putra mahkota Kairos. Karena Keanos adalah salah satu pangeran yang terlahir dari selir yang mulia raja. Sejak kecil hubungn Keanos dan Aurora sangat dekat. Bahkan diam-diam pemuda itu mencintai Aurora. Bukan sebagai saudara, melainkan perasaan layaknya seorang laki-laki kepada perempuan. Tak ada yang mengetahui hal tersebut, Aurora pun tidak. Sementara gadis itu menganggap Keanos hanya sebagai kakaknya saja. Namun sungguh ajaib, Athura entah bagaimana caranya bisa mengerti perasaan pemuda itu dengan begitu jelas. Athura telah mengetahui jika keponakannya menaruh hati kepada putri bungsunya sejak lama. Sehingga hal itu sering Athura manfaatkan untuk membangun mental Keanos. Meski Keanos tidak akan menjadi seorang raja, Athura ingin keponakannya itu menjadi pria tangguh yang berguna untuk negara. Beruntung Azura juga bukan selir yang serakah. Wanita itu tidak pernah menginginkan kekuasaan untuk putranya. Hal yang sama seperti yang Athura harapkan, ia harapkan pula pada pangeran Keanos. *** “Kenapa Kakak melakukan hal ini lagi pada Rora? Sebenarnya apa salah Rora pada kalian? Rora sudah menghindari kalian, agar kalian tidak menyakiti Rora lagi. Tapi kalian dengan segala cara selalu membuat Rora menderita." Ketiga gadis itu tertawa terbahak mendengar nada putus asa dari suara Aurora. “Kami akan melepaskanmu, tapi dengan satu syarat. Jika kamu mau melakukannya, maka seumur hidup kami tidak akan pernah menyentuh apalagi menyakitimu,” ucap Amayra. “Apa itu? Aku akan melakukan apa pun asal kalian tidak membenciku lagi." Aurora tampak senang, mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki hubungan mereka. "Benarkah?" "Iya, sungguh. Aku tidak berbohong." Amayra menjawab dengan serius. "Baiklah, katakan. Aurora akan melakukan apa pun asal Kakak tidak membedakan Aurora lagi," ucap gadis itu. "Okay, setuju!" Amayra mengulurkan tangannya dengan senyuman licik. Ia senang karena adiknya berhasil masuk ke dalam perangkapnya lagi. "Baik." Aurora menerima tangan sang kakak. Meski Aurora tidak bisa untuk tidak curiga, tetapi ia berusaha untuk percaya pada kakaknya kali ini saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD