BAB 4

1026 Words
"Hei! Kenapa Kamu datang lagi? Apa yang sebenarnya Kamu inginkan?" tanya Aurora pada pria asing itu. Aurora sangat bingung. Pria itu datang setiap kali ia mencuci dan akan pergi begitu saudara-saudaranya turun ke sungai dan akan mandi. Anehnya lagi, para saudaranya tidak pernah melihat kehadiran pria itu. Seolah ada benteng tak kasat mata yang membuat ia hanya terlihat di mata Aurora dan tak terlihat di mata orang lain. "Kenapa? Aku ingin saja. Apakah bertemu denganku begitu membosankan bagimu?" tanya pria itu. "Tidak juga. Aku tidak terpengaruh dengan dirimu. Ada dirimu atau tidak sama saja," ucap Aurora. Dari atas, semua saudara Aurora menatap gadis itu dengan keheranan. Di mata mereka, Aurora seperti orang gila yang berbicara sendirian. "Hei! Kamu mulai berbicara sendiri lagi?" tanya Amayra sinis. "Awas saja kalau bajuku tidak bersih!" "Bajuku juga! Awas saja!" sahut saudara perempuan Aurora yang lainnya. "Aku rasa dia benar-benar sudah gila, Kak," ucap Althea. "Benar, Kak. Dia sudah tidak waras karena tidak bisa bermain bersama kita." Alodia ikut-ikut mengejek. Kemudian, ke enam gadis cantik itu tertawa bersama-sama. Mereka menertawakan adik mereka yang selalu mereka aniaya. Kakak yang harusnya menjadi pelindung adik, justru malah menyakitinya. Aurora hanya tersenyum. Tidak tersinggung meski semua saudaranya sangat keterlaluan. Gadis itu melanjutkan pekerjaannya, tanpa memikirkan apa yang para saudaranya katakan. "Ck! Bagaimana bisa Kamu mempunyai saudara-saudara yang seperti itu? Kalau aku jadi Kamu, aku akan lebih memilih agar tidak punya saudara saja," ucap pria itu. "Hush! Mana boleh berbicara seperti itu. Itu tidak baik. Saudara, keluarga adalah berkah dari sang penguasa semesta. Jadi kita harus menghargai pemberian-Nya," ucap Aurora. "Iya iya. Aku mengerti. Eum, Kamu mau tidak jalan-jalan denganku sebentar saja," ajak pria itu dengan ragu-ragu. "Ke mana? Ck! Percuma juga aku bertanya. Aku tidak akan pernah bisa pergi denganmu. Lihatlah seberapa banyak pakaian yang harus aku cuci," ucap gadis itu kesal. "Tenang saja. Aku akan mengurus semuanya. Kamu hanya tinggal bilang iya atau tidak," ucap pria itu meyakinkan Aurora. "Bagaimana?" "Bagaimana aku bisa percaya denganmu? Aku takut kalau Kamu akan menculik aku, kemudian menjadikan aku sebagai makanan monster." Ucapan Aurora terdengar lucu di telinga pria tersebut. Mengundang gelak tawanya pecah seketika. "Astaga! Mana mungkin seperti itu? Aku akan membawamu ke tempat yang sangat indah. Sungguh! Percayalah padaku," bujuk pria itu tak mau menyerah. Aurora menatap pria itu, menelisik setiap wajah tampan tersebut. Seolah-olah gadis itu tengah mencari sebuah kebenaran. Apakah ada kebohongan yang pria itu sembunyikan atau tidak. "Baiklah, aku mau. Tapi, aku harus menyelesaikan semua pekerjaanku dulu. Atau mereka akan marah padaku dan tidak mengizinkan aku tidur di kamar." Gadis itu tampak murung dan sedih. "Apa? Mereka melakukan itu padamu?" Pria asing itu tampak terkejut mendengarnya. Aurora mengangguk. "Iya, selain itu, aku juga tidak akan mendapatkan makan malamku," tambah Aurora. Wajah pria itu tampak menggelap begitu mendengar cerita Aurora. Ia tak menyangka, kekejaman saudara Aurora sudah di ambang batas. "Tidak masalah. Kamu tinggal ikut aku dan tidak akan terjadi apa pun. Sekarang, Kamu tutup mata. Jangan pernah membukanya sampai aku perintahkan," ucap pria itu setengah memaksa. "Tapi ...," protes gadis itu. "Ayolah! Menurutlah sekali ini saja," pinta pria itu. "Baik, aku akan ikut. Tapi aku mau Kamu mengatakan namamu. Jika Kamu tidak mau mengatakannya, maka aku akan menolak ikut," tantang gadis itu. "Kai," ucap pria itu lirih. "Apa?" Aurora tidak dapat mendengar dengan jelas apa yang pria itu ucapkan. "Kai, itu adalah namaku. Cepat tutup matamu!" perintah pria itu. "Baiklah, Kai. Aku akan menutup mataku." Aurora yang begitu polos menutup mata tanpa ragu. Kai menyeringai. Lalu, pria itu bergumam lirih. "Berani sekali dia memanggil namaku! Untung itu Kamu, kalau orang lain, mungkin orang itu tidak akan bisa lagi merasakan keindahan dunia Nirvana ini." "Apa kita sudah sampai?" tanya Aurora masih dengan mata yang terpejam. "Mulai saja belum, bagaimana bisa kita sampai?" ucap pria itu seraya menahan tawanya. Sungguh, bersama gadis itu hanya akan membuatnya tersenyum. "Stt! Jangan bicara, tenanglah barang sebentar saja!" "Oh, aku kira sudah. Habisnya Kamu lama sekali! Baiklah, aku akan menutup mulutku." Pria itu mulai membaca mantranya dan memejamkan mata. Ia mengosongkan pikirannya sejenak dan memfokuskan diri pada tujuannya. Ia terus membaca mantra hingga terdengar suara angin berembus kencang dan tempat itu menjadi berkabut tebal. Beberapa detik kemudian, kabut menghilang dan muncullah gadis yang sangat mirip dengan Aurora. "Kamu tetaplah di sini! Lakukan pekerjaan yang harus ia lakukan. Bersikaplah serupa dengan dirinya. Lakukan semua yang diperintahkan saudara-saudaranya." Kai berbicara lewat telepati kepada gadis yang serupa Aurora tersebut. Gadis itu mengangguk mengiyakan. Kai memejamkan mata dan mulai membaca mantra lagi, hingga muncul gulungan kabut tebal yang membawanya dan Aurora terbang, pergi menjauh dari tempat itu. Aurora terus memejamkan matanya sesuai perintah Kai. Tangan gadis itu mengeluarkan keringat dingin, saat ia merasakan pergerakan mereka. Ia merasa seluruh tubuhnya dan pria itu dilingkupi oleh sesuatu yang kuat dan hangat. Ia merasa nyaman sekaligus ketakutan dalam waktu yang bersamaan. *** Pria itu tersenyum geli saat gadis yang masih berada di dalam pelukannya itu terus memejamkan mata meski beberapa waktu yang lalu mereka telah mendarat dengan sempurna. Kai suka melihat sikap gugup Aurora yang terlihat ketakutan karena ulahnya. Sangat asyik bagi pria tampan itu untuk terus mengerjai gadis baik hati dan polos tersebut. Bukannya memberitahu gadis itu, Kai malah sibuk memerhatikan setiap detail wajah cantik Aurora yang alami tanpa make-up. Pria itu begitu terpesona. Gadis itu tidak hanya berparas cantik, tetapi hatinya juga sangat baik seperti bidadari. Aurora benar-benar gadis yang sempurna, cantik luar dan dalam. Membuat Kai semakin tergila-gila padanya. "Sudah sampai." Setelah beberapa lama Kai memanfaatkan keadaan, akhirnya pria itu mengatakannya. "Kamu bisa membuka matamu." "Wah ...." Decak kagum langsung terdengar begitu gadis itu membuka mata. Aurora sangat takjub melihat keindahan tempat itu. Tempat yang penuh dengan warna warni bermacam bunga, juga kupu-kupu. Tempat itu memang sangat cantik, lebih cantik sepuluh kali lipat dari taman di dekat sungai. "Kamu menyukainya?" tanya Kai. "Tentu saja! Mana ada wanita yang tidak bahagia di tempat yang seindah ini. Di manakah tempat ini? Kenapa aku merasa baru pertama kali ini melihatnya? Benar, tempat ini begitu asing dan sepertinya, ini adalah pertama kalinya aku ke sini," jawab gadis itu seraya memanjakan matanya dengan melihat ke sekeliling. Gadis itu memutar tubuh, berjalan ke sana kemari untuk memuaskan rasa takjubnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD