Suasana di kota utama dekat istana begitu meriah. Di setiap sudutnya dihias dengan begitu cantik sedemikian rupa. Jalan-jalan juga terlihat lebih bersih dan teratur. Di sisi kanan kirinya dihias dengan bunga-bunga hasil tanaman warga. Sungguh pemandangan yang menyejukkan mata. Yang hanya tersaji saat ada acara besar maupun penting lainnya.
Maklum saja, hari itu adalah hari dimulainya kompetisi pemilihan putri mahkota. Hari pertama yang begitu mendebarkan bagi semua gadis di Nirvana. Mereka yang telah banyak mengerahkan tenaga dan pikiran untuk belajar, hari itu harus menunjukkan kemampuan yang dimiliki. Kemampuan yang akan membuat mereka tetap bertahan dan menuju babak selanjutnya atau tergeser oleh peserta yang lebih unggul atau bahkan mungkin terbuang pada babak pertama.
Di luar gerbang, telah berkumpul ratusan gadis yang berasal dari berbagai penjuru Nirvana. Mereka terlihat tak sabar menantikan gerbang terbuka dan kompetisi dimulai. Sayangnya, mereka harus bersabar sampai gong besar di istana utama dibunyikan. Pertanda acara kompetisi telah dimulai.
"Panas sekali sih! Harusnya tadi aku membawa payung milikku," ucap Agni dengan kesal. Pasalnya, riasan yang ia pakai sedikit luntur oleh keringat. Berkat sang surya, yang bersinar cukup terik membuat gadis manja itu kini merasa kepanasan dan mulai berpeluh.
"Harusnya kita datang lebih awal, jadi kita bisa menunggu di bawah pohon yang rindang itu. Sayang, kita keduluan oleh Anggrek, si putri Adipati yang terkenal angkuh itu," ucap Althea seraya menatap ke arah gadis yang duduk bersantai di bawah pohon.
"Kak Thea benar, ini semua gara-gara Kak Agni yang berdandan lama sekali," ucap Apsara dengan ketus.
"Jadi Kamu mau menyalahkan aku?" Agni naik pitam saat Apsara menyalahkannya.
"Tapi benar kan? Kalau saja Kakak tidak terlalu lama berdandan ...."
"Sudah, sudah. Kalian jangan bertengkar di tengah keramaian begini. Bikin tambah pusing dan sungguh memalukan," ucap Althea.
Kedua gadis itu langsung diam saat nada suara Althea terdengar marah.
"Ngomong-ngomong Kak Amayra mana ya? Bukannya ia yang paling bersemangat dan percaya diri akan menjadi putri mahkota?" ucap Althea sinis.
"Entahlah! Mungkin Kak Amayra kehilangan kepercayaan dirinya," ucap Apsara seraya tertawa.
"Benar, nyatanya Kak Amayra hanya berani menggertak kita. Ia tidak berani menghadapi peserta kompetisi yang lainnya," ucap Agni merendahkan sang kakak.
"Siapa bilang aku kehilangan kepercayaan diri? Siapa yang hanya berani menggertak dan tidak berani berkompetisi? Lihatlah! Aku tetap akan datang, kok. Aku tidak akan mundur sebelum berjuang." Suara Amayra yang tiba-tiba menyapa telinga membuat kelima gadis itu terkejut. Bertambah terkejut mereka saat Amayra ternyata datang dengan si bungsu.
"Kakak datang dengan si bodoh ini?" tanya Alodia keceplosan.
"Iya, memangnya kenapa? Dia adalah adik kesayanganku yang tetap setia kepadaku. Tidak seperti kalian, tega mengkhianati aku," ucap Amayra pedas. Tanpa ragu, Amayra merangkul gadis yang selama ini selalu ia buli itu. Sengaja menunjukkan kepada saudaranya yang lain bahwa ia memiliki sekutu.
"Hahaha, Kakak turun berapa level? Setelah selama ini selalu bersama kami yang elegan, kini Kakak mau dekat-dekat dengan si bodoh ini? Cih!" ejek Alodia.
"Terserah kalian mau bicara apa. Yang terpenting dia selalu setia dan penurut, bukan seperti kalian yang baik di depan dan menusuk dari belakang," sindir Amayra.
"Kasihan sekali Kamu, Aurora. Kak Amayra baik padamu hanya karena ia tidak punya pilihan lain. Ia baik padamu hanya karena menginginkan sesuatu. Kamu tahu artinya? Kak Amayra hanya memanfaatkanmu," ucap Althea sinis.
"Jaga mulutmu, Thea. Tidak kusangka, Kamu selama ini hanya berpura-pura baik padaku," ucap Amayra. Lalu gadis itu meraih tangan Aurora dan mengajaknya pergi dari sana. "Rora! Mari kita pergi saja. Kita cari tempat yang cukup teduh dan nyaman."
Amayra menarik tangan Aurora dan membawa gadis itu pergi dari sana. Ia terus membawa gadis itu menjauh meski sepertinya Aurora tak rela. Amayra tidak mau lagi berdebat dengan adik-adiknya yang lain.
"Kita di sini saja!" ucap Amayra setelah berhenti di sebuah tempat yang sedikit teduh. Aurora diam saja, tidak merespons meski tadi seperti enggan pergi.
Amayra sangat kesal saat menatap Adik bungsunya. Pasalnya, Aurora ternyata diam saja karena masih terus mengamati Althea dan saudaranya yang lainnya. Seolah gadis itu ingin berkumpul dengan mereka.
"Kamu kenapa? Kamu mau tetap bersama mereka dan meninggalkan aku?" tanya Amayra.
"Eh, eh. Bukan begitu Kak. Maksud Rora ... bukankah kita semua saudara? Apa tidak sebaiknya kita berkumpul bersama-sama. Akan sangat menyenangkan kalau kita bertujuh menunggu bersama," ucap gadis itu.
"Tidak! Aku sudah bilang kalau aku tidak mau bersama mereka. Aku hanya mau bersama Kamu. Sudah, diam saja di sini. Lagipula lihat saja! Di sana panas, biar tahu rasa mereka," ucap Amayra dengan senyuman puas.
"Ba-iklah." Akhirnya hanya kata itu yang dapat Aurora ucapkan.
"Rora, Kamu bisa kan bawakan semua barang-barang Kakak? Kakak lelah berdiri terlalu lama di sini," rayu Amayra dengan suara yang penuh kelembutan.
"Tentu saja, kemarikan! Biar Rora yang bawa," ucap gadis itu seraya mengulurkan tangan tanda ingin memberi bantuan.
Dengan senang hati, Amayra menyerahkan tas rajut miliknya yang berisi barang-barang miliknya. Alhasil, Aurora harus membawa dua tas yang cukup berat. Miliknya sendiri dan milik sang kakak, Amayra.
Tak lama kemudian terdengar suara gong besar istana yang dipukul dengan cukup kuat. Itu artinya mereka bisa masuk dan tak perlu menunggu lagi.
"Wah, gong sudah dipukul itu artinya kita bisa masuk ke istana dan mengikuti kompetisi." Amayra terlihat sangat bahagia saat penanda pembukaan kompetisi dibunyikan. Semua gadis yang ada di tempat itu mulai masuk secara perlahan untuk berjuang di dalam sana.
***
Empat jam yang lalu.
"Hei! Kamu jangan pernah berani berpikir untuk ikut kompetisi apalagi menginjakkan kaki di istana," ucap Apsara memeringati.
"Kamu sebaiknya sadar diri. Kamu tidak pernah belajar. Hanya tahu beres-beres, mencuci dan memasak di dapur. Jadi tidak perlu membuang tenaga dengan jauh-jauh pergi ke istana. Akan sangat sia-sia saat Kamu terhempas di babak pertama nanti. Karena kompetisi itu bukan main-main dan Kamu bahkan tidak memiliki ilmu barang secuil pun," hina Althea dengan kejam. Gadis itu berusaha meruntuhkan mental sang adik bungsu.
Selama ini, mereka berenam selalu melarang Aurora mengikuti kelas yang disediakan oleh orang tuanya. Tanpa sepengetahuan Gaia dan Athura mereka selalu menyuruh Aurora pergi saat kelas dimulai. Alhasil, gadis itu benar-benar tidak pernah belajar apa pun. Bahkan menulis dan membaca saja tidak bisa.
"Tapi Ayahanda menyuruh Rora pergi, Kak. Meski Rora gagal, Rora harus tetap pergi," ucap gadis itu.
"Kamu tidak dengar ucapan kami? Akan sangat memalukan jika sampai berembus kabar kalau putri bungsu Athura bodoh dan dungu. Jadi lebih baik tidak usah pergi," ucap Apsara.
"Kalau aku tidak pergi, bagaimana cara aku menjelaskan pada ayahanda dan ibunda? Mereka akan bertanya kalau melihat aku di rumah saja sementara kalian telah pergi ke istana," ucap Aurora.
"Dasar bodoh!" Agni mendorong kening Aurora dengan jari telunjuknya."Kamu bisa pergi ke mana kek, ke suatu tempat sampai kami kembali nanti."
"Tapi ...." Aurora galau. Jika ia tidak pergi maka akan ada dua orang yang kecewa kepadanya. Ada Athura dan Kai yang mengharapkan keikutsertaannya. Bahkan, Kai mengharapkan kemenangannya atas kompetisi tersebut. Membuat Aurora tidak ingin menyerah sebelum berjuang.
"Jangan membuatku marah dengan terus melawan. Cukup lakukan semua sesuai perintah kami," ucap Althea mengancam dengan penuh penekanan.
"Ba-iklah ...." Aurora akhirnya hanya bisa pasrah dan tak melawan lagi. Mungkin ia bisa menjelaskan kepada Kai tentang apa yang ia alami. Ia yakin pria itu akan mengerti.
"Bagus! Sekarang lebih baik Kamu ambilkan tas Kami yang ada di dalam kamar. Cepat!" perintah Alodia.
"Baik, Kak." Gadis itu bergegas pergi ke kamar sang kakak untuk mengambilkan barang-barang milik gadis-gadis itu.
Mereka tertawa puas melihat Aurora yang penurut. Mereka berhasil membuat gadis itu menuruti ucapan mereka lagi.
***
"Aku harus bagaimana? Aku ingin sekali pergi. Aku ingin membuat ayah dan Kai bangga. Meski tidak menang sekali pun," gumam gadis itu seraya memeluk lututnya. Bulir bening sesekali menetes membasahi wajah cantiknya. Ia sangat sedih, tetapi tak dapat berbuat apa-apa.
Sudah lima belas menit berlalu sejak kepergian kakak-kakaknya. Selama itu pula, Aurora merenung, menangisi nasibnya. Sungguh, sebenarnya ia ingin seperti kakak-kakaknya yang lain. Ia ingin berada di tempat yang sama dengan mereka. Dianggap dan diperlakukan selayaknya saudara. Namun, semua itu hanya impian semunya. Sepanjang ia hidup mereka selalu memperlakukannya dengan begitu buruk. Jadi, sangat mustahil baginya menerima kasih sayang dari kakak-kakaknya.
Ceklek!
Aurora terkejut karena pintu kamarnya tiba-tiba saja terbuka. Buru-buru ia menghapus air mata. Ia bersiap memberikan jawaban sekiranya yang datang adalah ayah dan ibunya.
"Rora!" Rupanya yang datang adalah Amayra, sang kakak sulung. Membuat hati Aurora lega seketika. Entah mengapa gadis itu masih ada di rumah dan belum pergi ke istana.
"Kakak! Kenapa Kakak masih ada di rumah? Bukankah kereta sudah berangkat?" tanya Aurora.
"Aku akan pergi sendiri. Aku tidak mau berdesakan dengan yang lainnya di dalam kereta yang sempit itu. Ah ya, maukah Kamu pergi ke istana bersamaku?"
Ucapan Amayra sangat mengejutkan Aurora. Membuat gadis itu kesulitan untuk mencernanya. Kakak yang biasanya sangat membenci dan ingin menyingkirkannya kini mengajaknya pergi ke kompetisi istana. Apakah ia tidak salah dengar?
"Kak, maksud Kakak ... Kak Amayra mengajak Rora ke istana untuk mengikuti kompetisi, begitu?" tanya Aurora karena takut salah paham.
"Iya, tentu saja. Kita pergi bersama ke istana. Kereta akan sangat longgar karena kita hanya akan berdua," ucap Amayra dengan wajah bahagia.
"Tapi Kak ...." Aurora mengingat saudaranya yang lain yang melarang ia pergi.
"Kenapa?" tanya Amayra bingung. Harusnya, Aurora senang saat ia bersikap baik padanya. Namun, gadis itu justru terlihat sedih.
"Kak Althea dan yang lainnya tidak suka kalau aku datang. Mereka juga memintaku agar tidak hadir ke kompetisi itu. Bisa-bisa mereka marah padaku kalau aku datang," ucap Aurora.
'Dasar gadis bodoh! Mau Kamu datang atau tidak, mereka akan tetap bersikap buruk padamu. Jadi untuk apa Kamu memikirkan mereka marah atau tidak? batin Amayra.
"Masalah itu tidak perlu Kamu pikirkan. Kan ada aku. Aku yang akan mengurus semuanya. Kamu hanya perlu pergi denganku," ucap Amayra meyakinkan Aurora.
"Cepat ganti pakaianmu dengan pakaian terbaik. Mari kita cepat pergi sebelum kita terlambat," bujuk Amayra.
"Baiklah." Aurora turun dari ranjangnya dan bergegas mengganti pakaiannya.
Lumayan kalau ada Kamu. Aku jadi tidak terlalu terlihat menyedihkan. Aku akan memanfaatkan kebaikan hatimu, Rora. Aku bersikap baik padamu sedikit saja, dan Kamu akan menyerahkan jiwa ragamu untukku, batin Amayra tertawa puas.