Keesokan harinya, semua peserta telah berkumpul kembali di aula besar. Kini, situasi lebih nyaman dan tenang karena tinggal dua ribu lebih peserta yang tersisa. Mereka tidak perlu berdesakan dan mengantre terlalu panjang.
Hari itu, babak kedua akan segera dimulai. Kali ini mungkin akan dilakukan dengan lebih ketat lagi. Pasalnya, hanya akan ada seratus putri yang tersisa menuju babak berikutnya.
Ketat dan sengitnya kompetisi kali ini membuat para peserta berdebar-debar. Rasanya begitu gugup karena mereka harus berusaha sekuat tenaga mempertahankan diri masing-masing. Seperti hidup di alam liar, siapa yang kuatlah yang tetap bertahan dan yang lemah akan tergeser atau tersingkir.
Aurora pun tak kalah berdebar. Entah kompetisi apalagi yang harus ia lalui hari ini. Gadis itu hanya bisa berharap agar ia bisa melakukannya dengan baik. Karena sungguh, ia ingin berjuang sampai akhir seperti yang Kai pinta padanya. Ia ingin menunjukkan pada pria itu bahwa ia bisa.
"Apa kabar kalian?" tanya wanita yang memimpin jalannya kompetisi membuka percakapan.
"Baik, Nyonya," jawab para gadis secara serentak.
"Apakah kalian sudah siap untuk mendapatkan tugas yang selanjutnya?" tanya wanita itu lagi.
"Sudah, Nyonya." Riuh suara menjawab kembali terdengar.
"Bagus! Lakukan dengan baik, karena kali ini hanya akan ada seratus peserta terbaik yang tersisa," perintah wanita itu. Semua gadis berbisik-bisik, ada yang mengeluh karena persaingan sengit ini.
Wanita kerajaan segera membagikan kertas berserta tinta dan kuas yang akan mereka gunakan untuk menulis nanti pada tiap-tiap peserta. Setelah alat tulis terbagi secara rata, barulah Hera memberikan tugas untuk babak kali ini.
"Baiklah, semua sudah mendapatkan alat tulis masing-masing, ya. Kalau begitu, kita mulai saja. Saya ingin kalian menuliskan isi kitab utama Kehidupan Nirvana pada bagian bab Sang Pencipta. Tuliskan secara baik dan benar. Waktu dimulai dari sekarang."
Seketika tempat itu menjadi sangat gaduh. Tak banyak orang yang tahu tentang kitab itu. Jika pun tahu, isi kitab itu begitu panjang dan memusingkan. Tentu saja, sangat sulit untuk mengingatnya. Entah bagaimana caranya pihak kerajaan memberikan pertanyaan yang sangat sulit tersebut.
"Kenapa kalian tidak segera menulisnya? Waktu akan terus berjalan. Lihatlah jam pasir terus mengalir tanpa bisa kalian hentikan. Segera pikirkan dan berikan jawaban yang benar. Atau waktu akan berakhir sia-sia dan Kalian harus pulang." Semua gadis lantas menulis dengan cepat. Menulis jawaban yang hinggap di otak mereka. Menulis jawaban yang mereka tak tahu akan benar atau tidak.
Wajah Amayra pucat seketika. Ia menyesal karena telah meremehkan apa yang ibunya ajarkan. Ternyata, ayat yang terdapat dalam kitab tebal yang menurutnya menyebalkan itu justru menjadi kunci utama menuju babak yang selanjutnya. Ayat yang ibunya ajarkan itu benar-benar keluar dalam ujian kali ini.
Amayra segera menulis seperti apa yang ia ingat. Namun, hanya sedikit bagian saja yang dapat ia hafalkan. Sementara sebagian yang lainnya sama sekali tidak mau muncul di kepalanya. Amayra benar-benar tidak dapat mengingatnya.
Sial! batin gadis itu kesal.
Ia menjambak rambutnya hingga berantakan. Berusaha mengingatnya sekuat tenaga. Namun, sia-sia saja. Karena hanya rasa pusing yang ia dapatkan saat berusaha mengingat-ingat.
Berbeda dari Amayra, Aurora tampak tenang dan serius menulis. Gadis itu berusaha untuk konsentrasi, sembari mengingat isi kitab yang selalu ia baca selama seminggu ini. Senyuman terbit di bibir Aurora saat ia berhasil mengerjakannya sebelum waktu habis. Mudah baginya, karena ia terbiasa membaca kitab itu atas perintah Kai.
Terima kasih, Kai. Ternyata semua yang Kamu ajarkan benar-benar muncul di ujian, batin Aurora tersenyum bahagia.
Sementara itu juga, Althea terlihat begitu tenang menulis. Wanita itu diam-diam tersenyum. Sudah pasti karena Althea tahu jawabannya. Gadis itu senang karena tak sia-sia membuat Apsara menjadi mata-matanya. Berkat adiknya itu, Althea dapat mengetahui pelajaran yang diberikan sang ibu kepada Amayra dan beruntung, ayat yang ia hafalkan selama ini akhirnya muncul dalam ujian.
Terima kasih, Apsara. Aku akan selalu mengenang jasamu. Jika aku menjadi putri mahkota nanti, maka Kamu yang akan jadi saudara yang paling aku sayang, batin Althea berjanji.
Apsara pun tak kalah senang. Karena ia menjadi mata-mata Althea, ia berhasil mengerjakan ujian kali ini tanpa kesulitan yang berarti. Sedangkan saudara mereka yang lain tampak lesu karena sama sekali tak dapat menuliskan apa pun. Mereka tak pernah mempelajari kitab itu, bahkan membaca juga tidak pernah dan kini para putri Athura menyesali kemalasan mereka.
"Rora!" panggil Amayra dengan suara lirih.
"Iya, Kak," jawab Aurora yang duduk di samping Amayra dengan suara tak kalah lirih.
"Bantu aku! Apa jawabannya?" bisik Amayra.
Aurora sangat bingung. Ingin sekali ia membantu sang kakak. Namun, ia takut ketahuan oleh pihak kerajaan. Jika sampai ketahuan maka mereka berdua akan didiskualifikasi.
"Aku takut, Kak. Kalau ketahuan bagaimana?"
"Jadi, Kamu tidak mau membantuku?" Amayra tampak marah. Wajahnya memerah dan memelototkan mata.
"Baiklah, biarkan aku selesaikan dulu. Kakak bisa menyalinnya nanti." Aurora tidak dapat menolak permintaan sang kakak. Segera saja gadis itu menuliskan jawaban di kertas miliknya hingga selesai.
"Mana, Rora? Lihat sebentar lagi waktu akan habis," desak Amayra.
"Ini, Kak." Aurora mengangkat kertas jawabannya. Sang kakak segera membacanya. Mata Amayra terbelalak karena adiknya menulis dengan sempurna. Serupa dengan apa yang ibu mereka ajarkan. Amayra sungguh heran, darimana sang adik yang bodoh dan tak tahu apa-apa, tiba-tiba jadi pintar, ah bukan cerdas seperti itu. Belajar saja tidak pernah, bahkan setahunya Aurora tidak bisa menulis.
"Kemarikan kertas jawabanmu!" perintah Amayra dengan wajah garang tanpa senyuman sedikit pun. Amayra berpikir untuk merebut kertas jawaban itu daripada ia harus bersusah payah menulisnya.
"Tapi, Kak ...." Aurora bingung, kertas itu adalah nyawanya. Masa depannya untuk terus mengikuti kompetisi ada di sana. Bagaimana bisa ia menyerahkan kertas itu pada sang kakak. Itu artinya dia yang akan gagal.
"Ayo, kemarikan!" Amayra tidak mau dibantah. "Kamu bisa menulisnya lagi, kan?"
Akhirnya Aurora terpaksa menyerahkan kertas jawabannya. Diam-diam kedua gadis itu bertukar lembar jawaban setelah memastikan situasi sekitar aman dan tak ada yang melihat apa yang mereka lakukan.
Aurora menatap lemas kertas jawaban sang kakak. Ternyata Amayra baru menuliskan jawaban sedikit saja. Hanya beberapa kata dan masih banyak yang harus ia tuliskan. Itu artinya, dia harus menulis dari awal lagi. Sementara waktu terus saja berjalan dan kemungkinan besar ia akan gagal.
Amayra tersenyum senang mendapatkan lembar jawaban dari Aurora. Ia merasa tidak sia-sia memanfaatkan Aurora, sebelum ia menendang gadis itu agar keluar dari kompetisi. Amayra juga senang saat melihat ekspresi sedih Aurora. Ia yakin gadis itu tidak akan bisa menyelesaikan tulisannya. Karena waktu yang tersisa hanya tinggal sedikit saja. Ia yakin, Aurora akan gagal, dan akan tersingkir. Itu artinya, ia yang akan maju ke babak selanjutnya.
Rasakan itu, Rora! Akhirnya aku bisa menyingkirkanmu, batin Amayra tertawa terbahak.
"Ayo, segera selesaikan. Waktu yang tersisa tidak banyak," ucap orang yang mengatur kompetisi memeringatkan.
Suara ribut mulai terdengar di sana- sini. Karena banyak yang belum menyelesaikan tugas itu. Para gadis mulai panik dan mengerahkan seluruh kemampuan mereka.
Aduh, bagaimana ini? Aurora menggigit bibirnya karena gugup.
Rora! Jika Kamu berada di situasi yang mendesak atau Kamu merasa kesulitan. Ingat kata-kataku ini. Fokuslah! Fokus dan fokus. Anggap Kamu berada di tempat yang asing dan hanya sendirian. Anggap saja waktu sedang berhenti. Lakukan dan yakin bahwa Kamu bisa.
Tiba-tiba saja ucapan Kai terngiang di kepala Aurora. Gadis itu lalu memejamkan mata. Dalam hati berdoa sebentar sebelum ia akhirnya membuka matanya. Dengan tersenyum, gadis itu menuliskan jawaban dengan secepat kilat. Ia harus berusaha dan tidak boleh menyerah sebelum mencoba. Seolah waktu tengah terhenti, ia tak menghiraukan apa pun kecuali tulisannya. Aurora terus saja menulis hingga tak ia sadari tulisannya itu telah selesai.
"Beri nama dan kumpulkan ke depan." Suara pertanda berakhirnya waktu ujian telah terdengar. Semua gadis segera beranjak dari duduknya dan mengumpulkan pekerjaan masing-masing.
Amayra pun segera maju ke depan tanpa menghiraukan sang adik. Ia tersenyum puas karena ia yakin Aurora kali ini akan gagal.
Si gadis bungsu mengembuskan napas lega. Karena pekerjaannya telah selesai tepat waktu. Dengan keyakinan, keteguhan hati, juga kegigihan akhirnya ia bisa menyelesaikan ujian itu untuk yang kedua kalinya.
Terima kasih, Kai. Aurora segera mengikuti yang lainnya untuk mengumpulkan kertas jawaban.
"Silakan kembali ke tempat duduk kalian. Kami akan memeriksa sebentar lalu mengumumkannya. Hari ini juga, peserta yang gagal bisa mengambil barang-barangnya di istana putri dan segera meninggalkan istana."
Semua gadis segera duduk kembali ke tempat masing-masing. Menunggu hasil dari ujian kali ini dengan d**a berdebar kencang. Sebagian dari mereka sudah tahu hasilnya, karena tidak bisa menuliskan jawaban apa pun.
Setelah cukup lama menunggu, akhirnya Hera datang dengan membawa hasil dari ujian babak kedua.
"Kami sudah memeriksa jawaban kalian semua. Di luar dugaan, ternyata tidak ada seratus orang yang tersisa. Hanya ada lima puluh orang yang akan melaju ke babak selanjutnya dan yang lainnya gagal." Keadaan menjadi semakin tegang mendengar pengumuman yang dibawa oleh Hera.
"Baiklah, kalau begitu akan saya bacakan saja nama yang lolos dan menuju babak selanjutnya. Untuk nama yang tidak saya sebutkan bisa kemasi barang dan langsung pulang." Wanita itu lantas segera membacakan lima puluh nama yang bertahan di kompetisi itu.
Para gadis yang lolos bersorak kegirangan. Sementara yang gagal, segera meninggalkan aula dengan wajah muram dan lelah. Mereka kecewa karena perjuangan mereka harus pupus di tengah jalan.
Aurora sangat bahagia karena kerja kerasnya akhirnya berbuah manis. Ia dinyatakan lolos ke babak selanjutnya meski ia berhasil menyelesaikan di waktu yang mepet seperti itu. Sementara itu, Amayra marah. Ia kesal saat tahu adik bungsunya tidak tersingkir dan malah lolos.
Bagaimana bisa? Bukankah dia tadi harus menulis banyak sekali? Harusnya Rora gagal. Kenapa malah lolos? Dalam hati, Amayra marah-marah.
"Aurora! Amayra!" Tiba-tiba saja Hera memanggil nama mereka berdua. "Ikut saya!"
Senyum di wajah Aurora menghilang. Ia memiliki firasat buruk mengapa Hera memanggil mereka. Sementara itu, Amayra tampak gugup. Gadis itu bisa menerka apa yang sedang terjadi.
Kedua gadis itu dengan cepat mengikuti langkah kaki Hera yang membawa mereka berdua ke suatu ruangan. Wanita itu segera duduk di sebuah kursi dengan wajah dingin tanpa ekspresi. Hera menatap tajam Aurora dan Amayra berdiri dengan menundukkan kepala.
"Kalian tahu, kenapa Kalian saya panggil kemari?" tanya Hera. Kedua gadis itu menggelengkan kepala.
Hera mengeluarkan dua lembar kertas dari laci dan meletakkannya di atas meja. Wanita itu tampak marah.
"Apa ini? Katakan pada saya!" bentak Hera.
Baik Aurora maupun Amayra sangat bingung. Mereka tidak tahu harus berkata apa.
"Ayo! Jelaskan kenapa tulisan kalian bisa sama persis. Ah, tidak! Tulisan yang ini, bagian awal ada bedanya tetapi ke belakang sama semua. Adakah salah satu dari kalian yang mencontek?" tanya Hera masih dengan tatapan dinginnya.
Tubuh kedua gadis itu gemetaran. Mereka tidak menyangka akan ketahuan secepat ini. Sungguh, seperti kata orang, Hera memiliki mata seperti elang. Tidak mudah ditipu apalagi diperdaya.
"Mungkin dia yang mencontek pekerjaan saya, Nyonya. Karena saya tidak mungkin melakukannya." Amayra berkata dengan setenang mungkin. Padahal dadanya berdebar tidak karuan.
Sungguh gadis yang sangat jahat. Memfitnah Aurora yang justru telah membuatnya lolos dalam kompetisi.
"Benar begitu?" selidik Hera seraya menatap tajam ke arah Aurora.
Tubuh Aurora bergetar hebat. Hatinya sakit saat sang kakak yang telah ia tolong justru tega memfitnahnya. Gadis itu sangat bingung harus memberikan jawaban apa. Jika ia jujur, kakaknya akan gugur. Jika ia mengiyakan tuduhan Amayra, perjuangannya akan sia-sia.
"Kalau Kamu tidak mau mengaku. Jalan satu-satunya, kalian harus menuliskan dari awal apa yang tertulis di kertas ini. Dari segi isi, segi tulisan kita dapat mengetahui faktanya. Dengan begitu, akan terbukti siapa yang berbohong dan siapa yang benar," ucap Hera lagi.
Mendengar ucapan Hera, wajah Amayra memucat. Tamatlah sudah riwayatnya kali ini. Tubuh Amayra gemetar ketakutan. Karena di Nirvana tidak boleh ada kebohongan. Siapa yang berbohong akan mendapatkan hukuman yang berat.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu. Hera segera mempersilakan masuk pengawal yang datang. Pengawal itu menghampiri Hera dan berbisik di telinga wanita itu. Hera menganggukkan kepala tanpa mengatakan apa pun. Wajahnya tampak sedikit kecewa. Setelah selesai bicara pengawal itu pergi dan Hera kembali buka suara.
"Oh, ternyata kalian bersaudara, ya? Ternyata kalian putri Athura yang perkasa. Pantas saja, kalian mendapatkan dukungan dari putra mahkota. Baiklah, kali ini aku akan mengampuni kalian karena ini permintaan langsung pria yang akan menikahi salah satu dari kalian," ucap Hera dengan nada sinis.
"Kali ini aku akan melepaskan kalian. Tetapi tidak lain kali. Jangan kalian pikir karena kalian anak dari Athura, aku akan melepaskan kalian dengan mudah," ucap Hera penuh ancaman. Aurora dan Amayra hanya bisa menundukkan kepala.
"Kembali ke istana putri. Bersiaplah untuk kompetisi berikutnya. Aku akan pastikan kalian tidak akan bisa lagi menggunakan status kalian besok. Belajarlah! Kompetisi besok akan menyita tenaga dan pikiran. Tidak akan ada yang namanya kecurangan." Kedua gadis itu segera pamit dan pergi dari sana.
Bagaimana bisa? Kenapa mereka melepas kami begitu saja? Hatiku terasa tidak enak karena mungkin saja Hera akan menganggap ini tidak adil. Hera mungkin menyangka kalau kami memanfaatkan kekuasaan ayahanda, batin Aurora.
Sambil berjalan, Aurora sangat kebingungan. Ia terus saja berpikir tentang masalah tadi Bagaimana bisa pihak kerajaan melepasnya dan Amayra dengan begitu mudah. Harusnya mereka menghukum dia dan Amayra dengan hukuman yang cukup berat. Sedangkan, Amayra tidak mau peduli. Ia masa bodoh dengan apa yang baru saja terjadi. Baginya yang terpenting ia tidak tersingkir atau pun didiskualifikasi dari kompetisi tersebut. Sungguh, gadis yang sangat egois!