BAB 25

1665 Words
Gadis itu tengah membantu pelayan membersihkan dapur saat dua orang gadis angkuh itu datang. Ia pura-pura tak tahu saat kedua gadis itu menghampirinya. Ia yakin, Alora dan Alodia datang hanya untuk menciptakan masalah untuknya. "Hei! Setelah ini Kamu pergi ke kamarku! Bersihkan kamarku dan kamar Alora!" perintah Alodia. Aurora masih sibuk mengelap meja makan tanpa mengindahkan ucapan kakaknya. Seolah gadis itu tidak dapat mendengar. Melihat Aurora mengabaikan mereka, membuat Alora dan Alodia sangat kesal. Aurora yang selama ini tidak berani melawan mereka kini menjadi gadis yang pembangkang dan berani pura-pura tak dengar. "Kamu tidak dengar, heh?!" hardik Alora dengan suara keras dan meninggi. "Iya, aku akan melakukannya. Biarkan aku membersihkan tempat ini sebentar. Setelah itu aku akan membersihkan kamar kalian berdua," jawab Aurora dengan santai. "Kak, dia berani memanggil kita kalian. Harusnya dia panggil kakak, kan?" bisik Alora kesal. "Biarkan saja! Yang penting dia mau kita suruh-suruh," jawab Alodia tak kalah berbisik. Setelah menjawab ucapan sang adik, Alodia kembali fokus pada Aurora. "Bagus! Yang bersih! Aku akan memeriksanya setelah ini!" Alodia menggebrak meja yang sedang Aurora bersihkan. Mereka berdua segera pergi dari dapur setelah berhasil menyuruh Aurora. Keduanya tertawa sambil mengatakan kalau Aurora adalah gadis yang bodoh. Aurora mendengar dengan jelas, tetapi ia mengabaikannya. Gadis itu segera menyelesaikan pekerjaannya dan harus segera melakukan apa yang Alora dan Alodia suruh. Setelah dapur bersih dan mengkilap, ia segera menuju ke dekat perapian. Gadis itu mengambil sesuatu lalu tersenyum. Lalu, ia bangkit dan segera pergi ke kamar Alora dan Alodia. *** "Aurora!" teriakan yang cukup kuat terdengar di dua kamar yang bersebelahan. Membuat Gaia segera datang untuk melihat. "Dia! Ada apa? Kenapa berteriak seperti itu?" tanya Gaia menghampiri putrinya dengan panik. "Bunda! Lihatlah apa yang Rora lakukan pada kamarku!" ucap gadis itu penuh emosi. Gaia melihat kamar putrinya begitu kotor. Pakaian gadis itu berserakan di sana-sini. Lantai kamar gadis itu sangat kotor. Penuh minyak dan tepung yang berhamburan di mana-mana. Bahkan, Gaia sampai bersin beberapa kali karenanya. "Siapa yang melakukan ini padaku!" Suara Alora dari kamar sebelah yang terdengar begitu marah mengalihkan perhatian Gaia. "Tunggu!" Gaia menutup hidungnya agar tak bersin lagi lalu menghampiri kamar Alora. Wanita itu melihat kamar Alora serupa dengan kamar Alodia. Kamar Alora juga sangat berantakan. Tepung dan minyak juga merajai tempat itu. Bahkan di atas ranjang gadis itu juga sangat kotor. Bibir Gaia menganga lebar, tidak dapat mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi. "Sebenarnya siapa yang melakukan hal ini pada kalian?" tanya Gaia menginterogasi kedua putrinya. "Kami tidak tahu, Bunda. Tapi kami yakin, ini adalah perbuatan Aurora," tuduh Alora. "Agni! Panggil Aurora! Bawa dia kemari!" perintah Gaia. "Baik Bunda." Setelah beberapa menit, Agni telah kembali bersama Aurora yang memasang wajah tak bersalah. "Ada apa, Bunda? Kenapa memanggil Rora?" tanya gadis itu dengan ekspresi bingung. "Apa benar Kamu yang melakukan semua ini?" tanya Gaia. "Rora? Untuk apa Rora melakukan ini? Bagaimana bisa Rora masuk ke kamar Kakak tanpa izin?" tanya gadis itu dengan wajah polosnya. "Kamu jangan bohong dan pura-pura tidak tahu. Bukankah tadi kami yang me ...." Alodia tidak dapat melanjutkan ucapannya. Jika ia menceritakan hal yang sebenarnya, maka mereka akan ketahuan kalau selama ini mereka suka menyuruh-nyuruh Aurora. Citra baik mereka sebagai putri mandiri, baik hati dan suka menolong maka akan runtuh seketika. "Me apa, Dia? Coba katakan dengan jelas," pinta Gaia. "Itu ... itu ... bukan apa-apa, Bunda. Tapi kami yakin kalau Rora adalah pelakunya," ucap Alodia. "Kenapa Kakak tega berkata seperti itu? Padahal Rora sangat menyayangi kalian," ucap gadis itu dengan ekspresi yang sedih. "Kamu jangan pura-pura, Rora. Katakan yang sebenarnya. Kamu yang melakukan semua ini, kan?" tuduh Alora tak puas hati. "Bunda, Rora benar-benar tidak melakukan apa pun. Kalau tidak percaya, tanya saja pada bibi. Bibi pasti akan bilang kalau terus bersama Rora dari tadi. Bunda percaya pada Rora, kan?" Gadis itu memegang kedua tangan sang ibu, diam-diam meminta pembelaan. Air mata turut gadis itu sajikan agar sang ibu percaya. "Ya ampun, Sayang. Jangan menangis seperti ini. Sungguh, ini sangat menyakiti hati ibu," ucap Gaia. Wanita itu sangat sedih. Ia selalu terpengaruh oleh putri bungsunya. Gaia tidak pernah sanggup melihat air mata gadis kecilnya. "Bunda ...," rengek Alodia karena merasa sang ibu sangat tidak adil. "Bunda, jangan terpengaruh dengan air mata buayanya itu," ucap Alora kehilangan kesabaran. "Diam Kalian! Kalian tidak lihat bagaimana Aurora bersedih karena kalian tuduh seperti ini!" bentak Gaia. "Hati Rora memang sangat lembut. Bunda yakin bukan dia pelakunya. Kalian bersihkan saja semuanya dan anggap tidak pernah terjadi apa pun. Lupakan kejadian hari ini dan jangan sampai ayahanda mendengar kekacauan ini." Gaia merangkul Aurora yang menangis dan membawa gadis itu pergi dari sana. Sementara itu, Alora dan Alodia menatapnya dengan penuh kebencian dan dendam. "Awas saja Kamu Aurora!" Mereka begitu geram. Di sisi lain, mereka merasa gadis yang dirangkul sang ibu bukanlah Aurora yang selama ini mereka kenal. Bertambah aneh, saat gadis yang selalu menurut dan patuh tiba-tiba menjadi pembangkang. Gadis yang wajahnya menyerupai Aurora itu juga memiliki aura yang begitu berbeda. Namun, Alora dan Alodia tidak akan tinggal diam. Aurora harus bertanggung jawab dengan kekacauan yang terjadi di kamar mereka. Mereka harus membalas adik bungsu mereka. *** Brukk! Alora dan Alodia melemparkan dua bakul pakaian milik mereka di hadapan Aurora. Kedua gadis itu menemui Aurora setelah memastikan Gaia telah pergi ke pasar. "Kamu kan yang mengotori kamar kami? Jujurlah! Jangan bohong!" bentak Alodia pada Aurora yang sedang memotong ikan di belakang rumah. "Kalau iya, kenapa?" tanya Aurora seraya mengorek isi perut ikan yang sedang ia bersihkan. "Kamu! Kamu mulai berani melawan kami ya?" Alora mengeratkan barisan giginya karena marah. Mereka tidak menyangka, di depan ibu mereka, Aurora bisa berakting dengan sangat baik. Aurora bersikap baik dan lembut di depan sang ibu hingga Gaia percaya kalau Aurora bukan pelakunya. "Iya, kenapa? Mulai sekarang aku tidak takut lagi dengan kalian. Jadi, jangan meremehkan aku lagi." Aurora segera berdiri masih dengan memegang pisau. "Kamu berani sekali. Kamu harus bertanggung jawab! Kamu harus mencucikan semua bajuku yang terkena minyak dan tepung," perintah Alodia seraya menunjuk kedua bakul yang ia lempar tadi. "Anjing saja bisa menggigit kalau ia disakiti, Kak. Apalagi aku. Aku juga akan melawan kalau kalian terus menyakiti aku. Lihatlah jariku ini!" Aurora menunjukkan jarinya yang berdarah seperti tersayat sesuatu. "Kakak tahu? Jariku berdarah karena ikan ini. Membuat aku sangat kesal! Aku jadi memberinya pelajaran. Lihatlah sekarang! Ikan itu tak akan melukaiku lagi setelah aku cabik-cabik isi perutnya. Dia bahkan tak berdaya dan mati mengenaskan." Alora dan Alodia menelan salivanya dengan susah payah. Apalagi saat Aurora sengaja menodongkan pisaunya di depan mereka. Mereka tidak dapat membayangkan jika nasib mereka tak berbeda jauh dengan ikan yang dicabik oleh Aurora. "Ka-kamu mau apa?" Tubuh kedua gadis itu bergetar hebat. Mereka sungguh ketakutan. "Ah, maaf. Aku tidak sengaja mengacungkan pisau ini pada Kakak." Aurora lantas melemparkan pisau itu ke tanah. "Baiklah, aku akan bertanggung jawab. Aku akan mencucikan semua pakaian kalian. Aku akan cuci hingga bersih dan tak bersisa." Gadis itu lantas mencuci tangannya dan mengambil kedua bakul itu dengan tersenyum misterius. Tanpa kata, Aurora pergi ke sungai untuk mencuci baju saudaranya. *** Sore harinya, Aurora baru kembali dari sungai. Namun, anehnya gadis itu membawa pulang dua bakul kosong. Bakul yang semula dipenuhi oleh pakaian milik Alora dan Alodia kini sudah tidak ada isinya. Sementara itu Alodia dan Alora telah menunggu di depan rumah dengan gelisah. Aurora pergi dari pagi dan sampai senja belum kembali juga. Bukan sebab khawatir, tetapi karena mereka tadi mendapatkan amarah dari Gaia. Ibu mereka marah karena tahu Aurora pergi ke sungai sendirian untuk mencuci pakaian Alora dan Alodia. "Kamu! Akhirnya Kamu kembali. Kenapa lama sekali?" Kedua gadis itu menghampiri Aurora. Namun, begitu mereka mendekat, mata keduanya membulat saat menyaksikan bakul yang penuh pakaian itu kini kosong tak bersisa. "Mana pakaian kami?" tanya Alora dengan wajah memerah menahan amarah. "Iya, Kamu kemanakan baju-baju kami yang indah dan mahal itu?" Alodia tak kalah marah. Aurora memasang wajah sedih lalu berkata, " Sungguh, pakaian Kalian sangat kotor. Aku sudah mencucinya tapi noda minyak dan tepung tak mau hilang. Akhirnya aku biarkan semua mengambang di sungai. Pikirku semua noda akan menghilang jika aku biarkan sebentar. Lalu aku tinggal mengambil daun pencuci sebentar, tetapi saat aku kembali, semuanya sudah hilang tanpa sisa. Sepertinya semua hanyut sampai ke muara. Aku ingin ke sana tapi aku takut kalau-kalau ada buaya. Maafkan aku, Kak." "Kamu!" Alora mengangkat tangan bersiap memukul Aurora. Gadis itu menunduk, melindungi wajah dengan tangannya. "Alora!" Suara bentakan terdengar dari arah rumah mereka. Alora kenal betul suara itu. Gadis itu mengurungkan niatnya. Alora menggigit bibirnya, ia merasa bahwa setelah ini mereka akan terkena masalah. "Kamu mau memukul Aurora?" tanya Gaia dengan wajah yang menggelap. "Jadi, begini sikap kalian kalau bunda tak ada?" "Bukan begitu Bunda ...." Alora bingung harus berkata apa. "Tapi, Bunda. Aurora telah menghilangkan baju kami," ucap Alodia membantu Alora. "Ma-maafkan aku, Kak, Bunda. Ini salah Rora. Rora tak menyangka baju itu akan hanyut." Aurora menangis tersedu-sedu. "Kenapa bisa begitu, Nak?" tanya Gaia dengan lembut. "Tadi, Aurora berjalan di tepi sungai. Lalu tanpa sengaja Aurora terpeleset dan jatuh ke sungai bersama dua bakul berat itu. Karena aliran air yang begitu deras semua baju Kak Lora dan Kak Dia hanyut terbawa arus. Rora tidak dapat menyelamatkannya karena Rora sendiri juga hampir terhanyut karenanya," ucap gadis itu disertai tangis. Alora dan Alodia membelalakkan mata, tidak menyangka jika apa yang Aurora ucapkan sangat berbeda dengan apa yang gadis itu ucapkan tadi. "Bohong, Bunda! Aurora berbohong!" "Diam!" bentak Gaia. "Kamu bisa mengatakan adikmu berbohong saat melihat seluruh tubuhnya basah kuyup seperti ini? Heh?" Benar saja, mereka baru sadar kalau tubuh Aurora basah. Kedua gadis itu terdiam tak dapat bersuara lagi. "Astaga! Maafkan Bunda, Nak." Gaia memeluk putri bungsunya dengan perasaan bersalah. Gaia mengabaikan kedua gadis yang marah dan sakit hati itu. "Cukup! Bunda tidak ingin mendengar apa pun lagi! Nasib baik, Aurora tidak apa-apa. Bagaimana kalau terjadi sesuatu padanya? Bunda ingin kalian melupakan tentang baju-baju kalian. Salah kalian sendiri yang tega menyuruh Rora mencuci sebanyak itu. Setelah ini, ibu tidak ingin melihat kalian menyuruh Rora lagi. Itu baju kalian, harus kalian cuci sendiri."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD