"Yang Mulia!"
Seorang dayang menyambutnya dengan sebuah penghormatan begitu ia keluar dari istana utama.
"Iya, kenapa?" tanya Kairos .
"Itu, Nona ... Nona ... sudah sadarkan diri," ucap dayang muda itu.
"Benarkah?" Wajah Kairos berseri-seri saat mendengar kabar itu. Dia segera mempercepat langkah kakinya. Hampir berlari pria itu kembali ke kamarnya. Dayang itu sampai kesulitan untuk mengejar pria tersebut.
Setelah sampai di depan pintu kamarnya, Kairos meragu. Aurora selama ini mengenalnya sebagai Kai, jika ia datang dengan pakaiannya saat ini, gadis itu pasti akan curiga. Pria itu jadi mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam kamarnya.
Pria itu tampak berpikir sebentar kemudian berbicara dengan penjaga dan dayangnya.
"Lima menit lagi aku mau kamar ini dikosongkan. Tanpa dayang, juga tanpa penjaga. Aku ingin menemui dia secara pribadi," ucap Kai pada akhirnya.
"Baik, Yang Mulia," ucap dayang itu mengiyakan. "Kalian sudah dengar kan?"
Para penjaga memelototkan mata karena merasa dayang bernama Bella itu begitu sok tahu.
"Bagaimana? Kalian paham?" tanya Kairos pada penjaga.
"Ba-baik, Yang Mulia." Penjaga pintu hanya bisa mengiyakan.
Semua orang bergegas meninggalkan kediaman putra mahkota. Menjauh, memberikan jarak pada Kairos untuk leluasa berbicara dengan Aurora. Setelah memastikan tidak ada lagi dayang dan pengawal, Kairos segera mengubah penampilannya seperti rakyat biasa. Ia akan menemui Aurora sebagai sosok Kai. Setelah memastikan penampilannya sempurna pria itu segera masuk ke dalam kamarnya.
Begitu pintu terbuka, keduanya saling bertatap mata. d**a pria itu terasa sangat lega melihat wanita kesayangannya baik-baik saja setelah apa yang dialaminya. Sedangkan Aurora tampak salah tingkah melihat kehadiran Kai.
"Kamu sudah bangun?" tanya Kai seraya menutup pintu.
"Jangan mendekat!" Aurora memperingatkan.
"Kenapa? Apakah aku tidak boleh menemui kekasihku?" tanya Kai.
"Masalahnya ... aku ...." Gadis itu bingung karena tidak bisa bergerak mencari selimut atau apa pun untuk menutup punggungnya. Sementara ia takut Kai melihat punggungnya yang terluka.
"Tidak apa-apa, Rora. Kalau Kamu tidak ingin aku melihatnya, aku tidak akan melihat." Pria itu memejamkan mata lalu duduk berjongkok di depan ranjang tempat Aurora tengkurap. Setelah posisinya duduk, Kai membuka matanya kembali. Kai menatap dua manik mata yang bening itu dengan jelas, karena kini wajah keduanya sejajar dan begitu dekat.
"Aku sangat lega melihatmu baik-baik saja," ucap Kai seraya menyibak anak rambut Aurora yang berkeliaran ke mana-mana.
Wajah gadis itu langsung merah padam. Entah mengapa sentuhan Kai membuatnya begitu sensitif. Mungkin juga karena pengaruh kedekatan jarak di antara mereka berdua.
"Kenapa, Rora? Kenapa wajahmu jadi seperti kepiting rebus? Apa ada yang sakit?" tanya Kai panik. Pria itu ingin berdiri melihat keadaan gadis itu.
"Tidak! Tidak ada! Aku baik-baik saja. Sudah aku bilang jangan melihat." Aurora menarik tangan Kai agar pria itu duduk kembali. Ia tidak mengizinkan pria itu melihat punggungnya yang terbuka.
"Ah, iya, iya. Aku lupa. Apa perlu aku panggilkan tabib?" tanya Kai.
"Tidak perlu. Duduklah saja. Aku benar-benar baik-baik saja," ucap Aurora.
"Baiklah." Kai duduk di lantai dengan posisi yang masih sangat dekat dengan Aurora. "Apa benar tidak sakit?"
Aurora mengangguk dengan wajah yang cemberut. Membuat Kai penasaran karenanya.
"Lalu kenapa wajahmu masam seperti itu?" tanya Kai.
"Kamu jahat!"
"Aku? Jahat?" tanya balik Kai.
"Iya," jawab gadis itu singkat.
"Bagaimana bisa Kamu mengatakan pria yang sangat mencintaimu ini jahat?" tanya Kai dengan terkekeh.
"Kenapa Kamu tidak ada saat aku butuhkan? Kenapa Kamu tidak datang saat mereka memukuliku?" tanya gadis itu seraya menitikkan air mata.
Wajah Kai berubah menjadi sendu. Ia merasa sangat bersalah karena telah menciptakan penderitaan kepada sang kekasih. Bahkan sampai saat ini, ia begitu marah pada semua orang juga kepada dirinya sendiri yang tidak mampu melindungi Aurora.
"Kai, aku merasa semua sangat berat. Bisakah aku menyerah saja?" tanya Aurora dengan nada putus asa.
"Maafkan aku, Rora. Maaf karena aku karena tidak bisa melindungimu. Maaafkan aku karena tidak bisa menolongmu saat itu," ucap Kai penuh penyesalan.
"Kamu juga tidak datang sampai akhir. Bahkan bukan Kamu yang datang menyelamatkanku. Tapi justru putra mahkota yang sama sekali tidak aku kenali itu," ucap Aurora sedih.
"Kamu sudah mengenal putra mahkota?" tanya Kai dengan senyum teduh.
Aurora menggeleng. "Bahkan wajahnya seperti apa saja aku tidak tahu. Tapi, aku merasa dia adalah pria yang baik. Karena dia mau menolongku dari tempat mengerikan itu. Aku bersyukur karena dia berbaik hati padaku. Mungkin setelah ini aku harus mengucapkan terima kasih padanya."
"Kalau Kamu merasa berhutang budi, maka Kamu menikah saja dengan dia," ucap Kai dengan lembut.
"Apa? Kamu gila? Aku datang ke kompetisi ini hanya demi menuruti permintaanmu saja. Aku mau menjadi putri mahkota tetapi aku tidak mau menikah dengan putra mahkota," tolak Aurora.
Kai tertawa. "Bagaimana bisa ada gadis sebodoh ini? Kalau Kamu jadi putri mahkota, tentu saja Kamu akan menikah dengan putra mahkota."
"Tapi perjanjiannya tidak seperti itu, Kai. Kamu berjanji bahwa kita akan terus bersama meski aku menjadi putri mahkota," rengek Aurora.
"Kalau begitu, kita jalani saja hubungan seperti ini di belakang putra mahkota, bagaimana?" goda Kai.
Plak!
Gadis itu memukul lengan Kai karena kesal. Bagaimana bisa Kai berbicara hal seperti itu dengan begitu mudahnya. Cinta terlarang di Nirvana hukumannya sangat berat.
"Aw!" Pria itu meringis, pura-pura kesakitan.
"Rasakan itu, Kai. Kamu jahat!" geram Aurora.
"Hahaha, maafkan aku. Rora, aku bersungguh-sungguh kalau aku mau Kamu menikah dengan putra mahkota. Aku mau Kamu bahagia," ucap Kai.
"Itu tidak akan pernah terjadi, Kai. Karena pria yang aku cintai hanya Kamu. Lagipula aku telah gagal dalam kompetisi ini. Aku juga tidak akan tahu bagaimana nasibku selanjutnya. Entah akan menerima hukuman lagi atau bagaimana," ucap Aurora.
"Cinta akan datang setelah Kamu terbiasa, Rora. Jadi jangan takut. Aku mau Kamu menikah dengan putra mahkota. Mengenai kompetisi, Kamu pemenangnya, kok. Kamu tidak akan mendapatkan hukuman apa pun lagi. Justru aku yakin sebentar lagi, ratu akan datang untuk menemuimu," ucap Kai.
"Ratu? Astaga! Aku sampai melupakan sang ratu. Bagaimana keadaan ratu Selena? Apakah beliau sudah sadarkan diri?" tanya Aurora cemas.
"Tentu saja, calon ibu mertuamu itu sekarang baik-baik saja. Jadi Kamu tidak perlu khawatir dan merasa bersalah," ucap Kai.
"Syukurlah, aku sangat lega mendengarnya. Tapi Kai ... sepertinya aku tidak akan bisa memenangkan kompetisi. Karena beliau tidak sadarkan diri setelah meminum ramuan dariku. Itu artinya aku gagal."
"Kamu salah, Rora. Kamu berhasil menyembuhkan sakit ratu. Hanya saja, mungkin tubuh ratu merespons dengan cara yang berbeda jadi keadaannya seperti itu. Tapi sekarang tidak ada yang perlu Kamu khawatirkan karena sekarang ratu baik-baik saja," ucap Kai.
"Benarkah berkat aku ratu sembuh?" tanya Aurora tak percaya.
"Sungguh, aku tidak bohong."
Drap drap drap.
Kai menangkap suara langkah kaki sekitar sepuluh langkah menuju ke kamarnya. Pria itu harus segera pergi dari sana.
"Rora! Ada orang yang datang. Sepertinya aku harus pergi. Kamu jaga dirimu, jika Kamu memerlukan aku panggil saja namaku tiga kali," ucap pria itu sebelum akhirnya menghilang dengan cara melompat dari jendela.
Aurora tidak bisa menghentikan kepergian pria itu. Dalam hati gadis itu bertanya-tanya siapa yang datang.
Apakah putra mahkota yang datang?