"Turunkan saja aku di sini, Kai," pinta Aurora saat kereta kuda Kai melaju mulai memasuki desa.
Pria itu terpaksa mengantarkan Aurora dengan kereta kuda, tidak dengan terbang seperti biasanya. Karena kondisi pria tersebut masih sangat lemah. Kai takut sesuatu yang buruk akan terjadi jika ia memaksakan diri.
"Kenapa? Rumahmu masih sangat jauh, Rora," ucap pria yang memakai cadar itu. Kereta masih terus berjalan, karena pria itu tidak menghentikannya.
"Tidak apa-apa. Aku tidak mau penduduk desa akan berpikiran buruk saat melihat kita berdua," ucap Aurora.
"Tapi kita tidak melakukan apa-apa. Kamu juga tidak bersalah. Aku hanya mau ke rumahmu, menjelaskan semuanya pada kedua orang tuamu. Aku akan menceritakan semua kebusukan para saudaramu," ucap Kai bersungguh-sungguh. Pria itu ingin membuka identitasnya di depan keluarga Aurora, agar tidak ada satu pun orang yang berani menyakiti kekasihnya.
Aurora menggeleng cepat. Gadis itu akan terkena masalah jika membawa pria asing ke rumah. Apalagi ia sebentar lagi akan bertunangan. Masalah ia tidak pulang semalaman juga akan memperburuk keadaan. "Tidak! Jangan, Kai. Jangan lakukan apa pun. Aku yang akan membalas mereka dengan caraku sendiri."
"Huh! Baiklah." Pria itu tak dapat lagi menentang kehendak kekasihnya. "Kusir, berhenti di sini saja."
Sang kusir pun segera menghentikan keretanya di depan rumah tetangga Aurora. Jarak rumah gadis itu juga sudah sangat dekat. Hanya tinggal beberapa meter saja.
"Kamu hati-hati ya. Ingat, panggil saja aku jika terjadi sesuatu," perintah pria itu.
"Iya, Kai. Tidak akan ada hal buruk yang akan terjadi lagi. Karena aku sekarang Aurora yang kuat dan berani bukan Aurora yang lemah lagi," ucap Aurora seraya tersenyum manis. "Aku turun, Kai."
Gadis itu menjulurkan kakinya, menapak pada tanah jalanan yang penuh dengan kerikil. Aurora melambaikan tangannya kemudian kereta kuda yang membawa Kai melaju cepat meninggalkan tempat itu.
"Huft!" Gadis itu menguatkan hatinya lagi.Sebentar lagi, ia akan masuk ke dalam rumah yang hampir seluruh penghuninya adalah monster yang mengerikan. Yaitu para saudaranya yang sanggup melakukan apa pun demi keinginan mereka. Ia harus siap lahir dan batin.
"Aurora!" Sebuah teriakan yang menyeramkan menyapa telinga gadis itu.
Aurora tersentak menatap jalanan yang ada di hadapan sana. Sang ayah berdiri dengan berkacak pinggang dan wajah yang sangat menyeramkan. Nyali gadis itu menciut seketika. Sepertinya, sang ayah sempat melihatnya bersama Kai tadi.
"Pulang!" Kembali, suara bariton itu terdengar di telinga.
Aurora dapat melihat dengan jelas, para kakak yang berdiri di belakang sang ayah mengejek dan tertawa tanpa suara. Mereka terlihat begitu kegirangan saat melihat kemarahan di wajah sang ayah, suka jika adik bungsu mereka terkena masalah. Mereka sepertinya tidak pernah merasa bersalah atas tindakan mereka. Justru para saudaranya terlihat puas melihat i terkena masalah lagi dan lagi.
Gadis itu mempercepat langkah kakinya, menghampiri sang ayah. Entah apa yang harus ia katakan kali ini. Karena tidak mungkin ia mengatakan jika para saudaranya yang jahat berniat membunuhnya semalam. Ia tak mempunyai bukti apa pun. Pasti mereka dengan mudah menyerang balik dirinya.
"Maafkan Rora, Ayahanda," ucap gadis itu seraya menundukkan kepala.
Athura tak bersuara. Tangan besarnya menyambar tangan gadis itu. Menarik Aurora, membawa gadis itu pulang dengan kasar. Tanpa ampun, Athura menyeret paksa gadis itu dari jalanan agar terhindar dari intipan para tetangga.
"Ayah! Sakit, Ayah!" erang Aurora merasakan cengkeraman tangan besar ayahnya. Tangan yang selalu berhasil menumpas dan menumbangkan musuh-musuhnya.
Akan tetapi, Athura bersikap seolah tidak bisa mendengar erangan Aurora. Pria itu mengabaikan kesakitan putrinya. Aurora yang masih sedikit lemah dan belum pulih sepenuhnya, terseok-seok mengikuti langkah kaki sang ayah. Wajah gadis itu pucat dan terlihat lemas.
"Kanda! Kanda! Hentikan, Kanda!" Gaia yang baru keluar dari rumah karena mendengar keramaian merasa iba melihat Aurora diperlakukan sekasar itu. Ibu tujuh orang itu mengejar sang suami yang terus menarik putri mereka. Namun, Gaia tidak mampu mengimbangi kecepatan langkah suaminya. Meski telah berlari, ia tak dapat menghentikan suaminya.
Hingga akhirnya, Athura berhenti di belakang rumah mereka. Tempat yang tertutup dari dunia luar, di mana Athura selalu berlatih bela diri di sana, terutama seni pedang. Sementara itu, para putri Athura berdesakan mengintip dari balik pagar. Mereka berenam tampak bahagia saat menyadari bahwa Aurora akan mendapatkan hukuman lagi.
"Angkat gaunmu!" perintah Athura setengah membentak.
Aurora menggelengkan kepala. Ia sudah hafal betul apa yang akan ayahnya lakukan. Karena sejak ia kecil sudah sering mendapatkan perintah semacam itu. Semua ucapan Athura begitu familier dan sama persis seperti bertahun yang lalu saat menghukumnya atas tindakan sang kakak yang selalu mengerjainya.
Athura meraih sebuah tongkat kecil yang terbuat dari kayu berusia ratusan tahun. Aurora semakin ketakutan. Sejak semalam, seluruh tulang ditubuhnya rasanya seperti remuk redam, entah bagaimana nanti jika ia mendapatkan pukulan lagi.
"Kanda, Dinda mohon jangan lakukan itu." Gaia memeluk sang suami, sekuat tenaga menghentikan pria itu.
"Jangan hentikan aku, Gaia! Anak kurang ajar ini harus diberik hukuman," ucap Athura penuh emosi. Athura berusaha keras melerai kedua tangan sang istri yang memeluknya erat-erat.
"Apa salah Rora, Ayah?" tanya gadis itu dengan bibir bergetar.
"Kamu masih berani bertanya? Heh?" Athura memelototkan matanya, kesal karena sang putri bertingkah seolah tidak bersalah.
"Rora, putri ayah ini hampir tiada. Sekarang ayah mau menyakitiku lagi?" Aurora tak tahan lagi menahan semuanya sendirian. Sudah cukup, ia merasa semua ketakutan, kesakitan dan kesedihan.
"Maksud Kamu apa?"
"Rora hampir celaka, Ayah. Seseorang memasukkan tubuh putri ayah ini ke dalam karung dan membuang Rora ke sungai. Beruntung, Rora masih bisa bernapas sampai saat ini. Beruntung ada orang yang baik hati menolong Rora," jujur gadis itu tak dapat lagi menahan tangis.
Sudah cukup ia merasakan kebencian dan kemarahan dari semua orang. Sudah cukup ia merasakan ketakutan dan kesakitan yang tak tertahan.
"Kamu sekarang sangat pandai berbohong, Kamu sangat pandai mengarang cerita. Semua kakakmu yang menjadi saksi, bahwa mereka menyaksikan Kamu pergi bersama seorang laki-laki di tengah malam buta. Apa Kamu lupa, Rora? Seminggu lagi pertunanganmu akan dilaksanakan. Di mana harga dirimu?" tanya Athura.
"Tidak, Ayahanda. Tuduhan itu tidak benar. Rora benar-benar tidak melakukannya. Rora berani bersumpah demi Tuhan kalau Rora tidak pergi bersama pria. Rora bisa menjelaskan ...."
"Jangan bawa nama Tuhan dalam dosamu, Ra. Ayo angkat gaunmu. Kamu harus merasakan pukulanku. Sepertinya Kamu lupa rasa cambuk ini karena selama ini aku terlalu memanjakanmu," perintah Athura.
"Jangan Ayah. Rora tidak mau lagi menerima hukuman atas perbuatan yang tidak Rora kerjakan," tolak gadis itu untuk pertama kalinya.
"Apa? Jadi Kamu tidak merasa bersalah? Baiklah kalau begitu. Kamu berani bersumpah jika semalam Kamu tidak bersama pria? Lalu siapa pria yang tadi mengantarkanmu pulang?" tanya Athura.
Bibir gadis itu terkunci rapat, tuduhan para kakaknya memang salah dan hanya fitnah. Namun, tentang semalam ia yang bersama seorang pria adalah kenyataan. Ia semalaman berjuang melawan maut bersama Kai.
"Kamu diam? Kamu mau mengaku kalau Kamu bersama pria? Katakan siapa pria itu?" Athura mengangkat tongkatnya, refleks saja Aurora mengangkat tangannya, melindungi wajah dan kepala.
"Jangan Ayah." Suara Aurora lirih mengiba, mengingatkan Athura pada sosok kecil Aurora yang takut dipukul oleh sang ayah.
"Kamu ...." Athura tidak sanggup untuk memukul putri kecilnya yang sangat manja. Putri kecil yang berhati paling lembut di antara para saudaranya. Putri kecil yang tidak pernah melawan perintahnya dan selalu berbakti.
"Tuanku, aku mohon. Hentikan semua ini. Jangan lukai dia. Dia adalah calon putri mahkota. Apa yang akan keluarga kerajaan katakan jika mereka melihat tubuh menantu mereka penuh luka," bujuk Gaia seraya menangis tersedu-sedu. Ini adalah cara terakhir yang bisa ia gunakan untuk mengembalikan kesadaran suaminya.
Bruk!
Athura melemparkan tongkat itu ke tanah. Napas pria itu kembang kempis menahan rasa panas di dadanya.
"Masuk ke kamarmu! Mulai hari ini sampai pertunangan nanti, Kamu tidak diizinkan keluar dari kamar." Setelah berucap demikian, Athura pergi menyembuhkan rasa kecewa di dalam dadanya. Gaia merangkul putrinya, membawa gadis itu masuk ke dalam rumah. Sementara itu penonton adegan itu merasa kecewa saat Aurora selamat dari amukan sang ayah.
"Ck! Menyebalkan!"
***
"Hei! Bagaimana caranya Kamu bisa selamat dari jurang yang begitu dalam begitu?" tanya Amayra yang datang bersama Althea. Aurora tak menjawab, ia sibuk menuliskan sesuatu di sebuah kertas. Gadis itu sangat malas menanggapi kedua kakaknya.
"Heh! Kamu masih punya telinga, Kamu juga masih punya mulut. Kenapa terus membisu?" tanya Amayra kesal.
"Kita potong saja sekalian telinganya, Kak," ancam Althea.
Plak!
Baru saja Althea ingin menyentuh telinganya, Aurora dengan kasar menepis tangan sang kakak. Bukan hanya menepis, mirip seperti tamparan yang terasa sangat panas di tangan Althea.
"Wah! Kamu sekarang berani, ya?" Althea cukup terkejut karena mendapatkan perlawanan dari adiknya yang biasanya bodoh.
"Kalian mau apa? Jangan pikir aku akan diam saja saat kalian menyakitiku. Aurora adik kalian telah mati. Menyisakan diriku, Aurora yang sangat berbeda dari dulu," ucap gadis itu dengan tatapan setajam elang.
Amayra dan Althea semakin terkejut. Entah apa yang terjadi pada adiknya hingga gadis itu berubah menjadi berani seperti itu.
"Thea, apa dia Aurora adik kita?" tanya Amayra dengan berbisik lirih.
"Entahlah, Kak. Jangan-jangan dia hantu sungai lagi. Adik kita mana mungkin seperti itu?" ucap Althea bergidik ngeri.
"Keluar dari kamarku sekarang! Jangan pernah berani menginjakkan kaki di sini lagi!" usir gadis itu dengan tegas.
Amayra dan Althea ketakutan, mereka saling dorong berebut untuk keluar dari kamar sang adik. Detik berikutnya kedua gadis itu lari terbirit-b***t.
"Huft! Entah sampai kapan aku harus bersabar menghadapi mereka. Entah kapan kemarahan ayahanda akan pudar dan ayah mau memaafkanku," gumam Aurora sedih.