1. MAYAT TAK DIKENAL

1323 Words
Awalnya tidak ada yang tahu ada bangkai manusia yang terkubur tak sempurna di balik semak-semak, di tanah perkebunan milik salah satu warga di desa Ramah Tamah, di kota Hujan. Hingga akhirnya, si pemilik kebun merasa curiga ada bau busuk yang menyengat terus mengganggu pernapasannya, setiap kali angin berembus bau bangkai busuk itu kian menyiksa. Suatu sore, pemilik kebun memeriksa bagian kebunnya dan ia menemukan mayat di balik semak-semak. “Astagfirullah!” jerit Pak Sholihin si pemilik kebun gemetaran. Seorang wanita ditemukan dalam keadaan mengenaskan. Bagian-bagian tubuhnya sudah berserak, tubuh wanita itu dimutilasi. Diperkirakan, kematian wanita malang itu sudah lama, hingga daging tubuhnya sebagian sudah hancur dan dipenuhi belatung dan cacing tanah. “Tolong!” teriak Pak Sholihin, berlari menuju pemukiman warga, meminta tolong agar warga setempat melaporkan mayat yang ia temukan di kebunnya. “Ada apa, Pak?” tanya beberapa warga yang berpapasan dengannya. Pak Sholihin menceritakan semuanya dan warga desa segera beramai-ramai mendatangi kebun Pak Sholihin. Mereka penasaran ingin melihat secara langsung mayat wanita tersebut. Orang-orang mulai ramai berkerumun melihat mayat wanita yang sudah membusuk, mereka menutup hidung kuat-kuat, ada juga yang terpekik histeris sampai beberapa orang mual-mual lalu memuntahkan seluruh isi perutnya. “Astagfirullah,” ucap warga hampur bersamaan. “Siapa wanita ini? Ada yang mengenalinya dia siapa?” tanya Pak Sholihin, menatap satu persatu warga desa yang hadir di sana. “Saya nggak tau, Pak. Belum pernah lihat wanita ini,” jawab salah satu warga. “Saya juga!” timpal yang lain. Semua orang mengaku tidak mengenal wanita itu, mungkin karena wajahnya sudah tidak dapat dikenali lagi. Sebagian sudah hancur. “Ayo, kita lapor polisi,” ajak Pak Sholihin, “biar mayat ini diurus oleh pihak yang berwajib.” “Ayo!” *** Polisi sudah memberi 'garis polisi' di TKP, mayat wanita itu sedang dilakukan proses otopsi. Polisi berterima kasih kepada Pak Sholihin dan warga, sudah melaporkan mayat tersebut dan tidak bertindak gegabah dalam menanganinya. Setelah kejadian ditemukannya mayat seorang wanita di kebun Pak Sholihin, warga desa sering merasa takut bila hendak melewati kebun itu. “Bikin merinding,” kata salah satu warga yang menjaga pos kamling. Disetujui oleh dua rekannya yang lainnya yang ikut bertugas jaga malam. “Kayaknya wanita itu cantik, sayang sekali mati dalam keadaan mengenaskan begitu.” “Hush! Jangan diomongkeun atuh. Ngeri. Nanti didatangin bagaimana?” Mereka semua terdiam. Merasa takut kalau wanita itu benar-benar gentayangan. Malam itu udara lembab, angin berembus cukup kencang. Langit di atas sana sudah tertutup awan hitam. “Mau hujan, mending saya pulang saja, ah. Hiii.” Juki menyalakan senternya dan meninggalkan pos ronda. “Saya juga atuh, bodo amat sama keamanan warga, yang penting amankan diri sendiri dulu.” Asep ikut ngacir pulang ke rumah. Tinggallah Rudin sendiri di gardu pos kamling. Rudin mengeratkan sarungnya, angin malam semakin terasa dingin. Suara-suara pohon bergoyang, gesekan ranting menciptakan derit tak biasa, terdengar pilu di telinga Rudin. “Dasar penakut!” maki Rudin pada kedua temannya yang kabur, “Mana ada setan gentayangan di desa ini. Kalau ada, saya akan tangkap dia!” Rudin memberanikan diri. Sebelum turun hujan, ia sempat berkeliling desa meriksa keamanan. Membawa senter dan pentungan di tangan. Kain sarung bermotif kotak-kotak ia selempangkan di bahu. “Desa ini harusnya lebih banyak memasang lampu penerangan di jalan, udah sedikit, terangnya redup lagi!” sungut Rudin sambil menodongkan cahaya senter ke tempat gelap. Rudin baru sadar ia sudah sangat dekat dengan kebun milik Pak Sholihin. Buru-buru ia berbalink badan dan ... “Aaarrgg!” Rudin menjerit saat cahaya senternya mengenai wajah seseorang. “Hihiii.” Wajah itu tertawa, memperlihatkan gigi-giginya yang rapat. “Juki!” teriak Rudin kesal, “ngapain kamu di sini? Nakut-nakutin saya aja!” “Kasihan saya lihat kamu, Din. Jaga malam sendirian, bisa-bisa saya kena tampol Pak Rete!” Saat Juki selesai bicara, keningnya di tetesi air hujan. Keduanya saling pandang, lalu secara bersamaan berlari cepat menuju gardu dikejar tetes hujan semakin membesar. Rudin dan Juki menunggu hujan reda. Waktu sudah menunjukkan pukul 01:00 malam. Juki sudah berkali-kali menguap, kopi dalam termos sudah tinggal sedikit, namun matanya tetap tak kuat terjaga. “Dasar tukang molor!” Rudin menoyor pundak Juki sampai badan kurusnya terbaring miring. “Awas aja ngorok, saya tutup lubang hidungmu!” *** Sudah dua jam Juki tertidur disusul oleh Rudin. Keduanya terlelap dalam gardu di tengah derai hujan lebat. Udara malam semakin dingin, Rudin merapatkan sarungnya. Sementara Juki menyelipkan kedua tangan di antara pahanya. “Kang.” Rudin dan Juki masih terlelap. “Kaang.” Keduanya masih terbuai ke alam mimpi. “Kaaang!” Rudin tersentak, ia terbangun dengan posisi terduduk. Ia mendengar seseorang menganggilnya. Tapi di gardu itu tidak ditemukan siapa-siapa selain Juki yang masih mendengkur keras. “Siapa yang manggil-manggil saya, ayo tunjukkan wujudmu!” Rudin memeriksa ke sekeliling. Tidak ada yang muncul, hanya suara desau angin dan sisa-sisa tetes hujan. “Sialan!” rutuk Rudin, “ganggu tidur aing aja!” Tiba-tiba Rudin dicolek dari belakang. Refleks laki-laki yang mengaku pemberani itu menoleh. “Se-se-setaaan!” Juki terkejut, ia mendadak bangun dari tidurnya, mengambil pentungan dan memukuli tubuh Rudin. “Mana? Mana setannya? Mana?” teriaknya panik. “Sakit, anjir! Itu setannya!” tunjuk Rudin pada pohon pisang di dekat gardu. “Itu pohon pisang, Oneng!” “Trus setannya mana?” tanya Rudin. “Kamu sendiri setannya!” Dalam hitungan detik, pentungan sudah melayang ke kepala Juki. *** Pagi-pagi sekali, Asep sudah menjajakan gerobak sayurnya keliling desa. Seperti biasa, Asep berhenti di bawah pohon mangga di seberang jalan rumah Lastri, seorang janda beranak satu. “Yuurr, sayuuurr!” teriak Asep memancing ibu-ibu berdaster keluar rumah. “Yuurr!” panggilnya lagi. Benar saja, tidak menunggu lama, Ibu-ibu mulai berhambur ke luar rumah. Termasuk Lastri. Gerobak sayur Asep mulai dikerumuni ibu-ibu yang sibuk pilah-pilih sayur, mulut mereka juga sibuk bergosip atau bercerita seputar hari-hari mereka. “Eh, itu katanya Kang Rudin semalam lihat setan,” kata Lina, memulai gosip tentang kejadian semalam. “Masa, sih? Setan boongan apa setan beneran atuh?” timpal Ratna penasaran. Beberapa ibu-ibu masih menahan celotehannya. “Setan beneran dong, Bu Ratna. Katanya si Rudin sampai demam.” “Wah, jangan-jangan setan wanita yang mati di kebun Pak Sholihin, hiii.” Rita tiba-tiba berceloteh sembarangan. “Eh, Bu Rita. Jangan nyebarin gosip aneh-aneh dong, Bu. Mana tau bukan setan beneran. Kang Rudin kan memang biasa begitu, mengada-ada!” Kali ini Wati angkat bicara. “Aduh, Bu Watiii. Semua warga desa ini kan sudah pada tau kalau wanita itu matinya gak normal. Mati mengenaskan. Biasanya, ya. Orang mati tragis begitu suka gentayangan. Bener nggak, Bu Lina?” Rita mencari dukungan. “Betul itu, Bu Rita. Saya tau dari Bu Juki langsung, masa dia bohong.” Lastri yang sejak tadi diam saja, ikut berbicara, “Bu ibuuu, pilih-pilih sayurnya sudah belum, kasihan Kang Asep lama menunggu.” Lina, Wati, Rita, dan Ratna menoleh pada Asep yang sudah berkacak pinggang. “Buruan atuh, hari semakin siang.” “Sudah selesaj sejak tadi, Kang,” jawab mereka serempak. Lalu terkikik bersama. “Kalau sudah sini bayar, jangan nggosip teros.” Asep sok galak. Padahal dia paling takut sama ibu-ibu. “Saya cuma kangkung aja Kang, seiket.” Lina memperlihatkan kangkung pilihannya. “Saya tempe sepotong,” ucap Wati. “Saya cuma cabe aja, Kang. Sama tomat sebiji.” Suara Ratna ikut terdengar. “Kang Asep, saya sop-sopan sebungkus we lah, sayuran kemaren masih banyak.” Asep melongo. Dilihatnya gerobak sayurnya sudah acak-acakan. Menggosip berjam-jam, beli sayurnya secuil. “Kang Asep, saya beli ayam setengah, sayur bayam seikat dan jagung manis satu, Kang. O, ya, bumbu dapur sebungkus.” Lastri menyodorkan plastik belanjaannya pada Asep. “Nah, gini dong. Beli sayuran yang banyak, bukan gosipnya yang dibanyakin,” celetuk Asep pada ibu-ibu berdaster. Sontak aja Asep kena serbu. “Huuu!” Setelah membayar sayuran, ibu-ibu itu kembali pulang ke rumah masing-masing sambil menenteng plastik sayuran. “Bukan beli sayur etah mah, tapi pengen nggosip!” Asep geleng-geleng kepala melihat kelakuan ibu-ibu desanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD