Pagi-pagi Asep mulai menjajakan sayurannya keliling desa. Seperti biasa dia diserbu oleh geng daster yang membeli sayuran sembari bergosip. Tema kali ini yang Asep dengar adalah Wati yang bekerja di rumah Kartika sebagai buruh cuci dan setrika, kebetulan Wati tidak ikut berburu sayuran sebab pagi-pagi dia sudah di rumah majikannya untuk bekerja.
“Eh, si Wati itu kan sekarang kerja di rumahnya Pak RT, jadi babu katanya. Tapi kok saya ngeri ya bu ibu, secara Pak RT kan lama menduda.” Bu Rita yang berbibir tebal berwarna merah merona itu memulai pergosipan. Meski memakai daster kebanggaan, namun wajahnya tetap full make up tebal.
“Duh, iya, ya, Bu. Sekarang kan jamannya majikan diam-diam kawin sama pembantu. Kenapa si Wati mau ya, kerja di rumah Pak RT,” sahut Bu Lina.
“Katanya butuh uang, Bu. Selama ini kan penghasilannya hanya mengandalkan suaminya aja.” Bu Ratna tak mau ketinggalan.
“Huh, katanya dulu banyak uang. Meski suami gak kerja tapi banyak tabungan. Tapi sekarang kok jadi buruh cuci.” Bu Lina kembali bersuara.
“Iya, ya, amit-amit si Watih teh kelakuannya, gaya punya tabungan, suami sakit gak ada duit.”
“Hush!” Asep melotot ke arah ibu-ibu, “buru atuh pilih sayurna, aing mau muter deik. Bukannya buru-buru beli malah ngegosip wae,” sewot Asep.
“Sabar atuh, Kang Asep, kita kan beli gak sedikit kayak si Wati. Harus milih yang banyak.” Bu Lina memasang tampang cemberut.
“Nah, kalau belinya banyak, apalagi ngeborong, sok atuh ngegosip, sampai sore juga saya teh bodo amat!”
“Dih, Kang Asep. Belum tahu berita terhangat, ya?” Bu Ratna tersenyum sinis pada Asep, “gosip yang ini pasti Kang Asep mah penasaran ingin tau.”
“Henteu!” timpal Asep. Geng Daster terkikik.
“Beneran? Ini teh soal si Lastri atuh Akang.”
Nama Lastri disebut, benar saja Asep mulai penasaran. Ada apa dengan Lastri?
“Eh, kunaon atuh si Lastri?” Asep mulai mendekat sambil menyampirkan handuk kecil di bahunya. Khas para pedagang jalanan, menyampirkan handuk sebagai lap dahi mereka yang berkeringat karena kepanasan.
“Tuh, kan. Denger Lastri wae semangat,” cibir Bu Lina.
“Ya semangat atuh, kan sekarang kalian tahu saya teh naksir Neng Lastri. Memangnya dia kenapa?”
Bu Ratna mulai menggosipkan Lastri yang katanya sebentar lagi akan dilamar oleh Rudin. Dan Lastri sudah siap meninggalkan statusnya sebagai janda desa. Penggosip itu tahu, sebab dia tak sengaja mendengar percakapan Rudin dan Juki saat kedua sahabat itu sedang ngobrol, kebetulan Bu Ratna lewat pulang dari warung.
Diingatnya kembali wajah Rudin saat itu saat bercerita kepada Juki, tampak bahagia, berseri-seri pokoknya.
“Nteu mungkin saya teh salah dengar, saya dengar sangat jelas waktu itu. apa lagi yang diomongkeun si Rudin kalau bukan Lastri, ya kan bu ibu?” Bu Ratna meminta persetujuan gengnya, dan gengnya mengangguk mantap.
“Betul. Rudin teh kalau ngomong, gak jauh-jauh temanya Lastri sepanjang hari.” Bu Lina yang juga biangnya gosip mendelikkan mata.
“Betul.” Bu Rita menimpali dengan semangat.
Lemas sudah tubuh Asep. Tidak ada kesempatan baginya untuk memiliki Lastri. Janda kembang itu akan segera menerima pinangan Rudin, duda berusia 40 tahun, berwajah pas-pasan, duitnya pun pas-pasan. Dalam hati Asep kembali menjerit, “Duh Neng Lastriii, kenapa kamu lebih pilih lalat jelek itu daripada kumbang jantan tampan seperti saya.”
Melihat raut sedih Asep, ketiga ibu-ibu berdaster itu terdiam. Diam-diam ingin ngutang.
“Kang, bayarnya minggu depan, ya,” kata Bu Ratna, lalu disusul Bu Lina dan Bu Rita. Sambil membawa kantung belanjaan tanpa membayar, ketiganya ngacir pulang ke rumah masing-masing.
Tinggalah Asep masih dengan tatapan kosongnya. Dia merasa sedih. pupus sudah harapannya selama ini. Orang yang dicintai tidak dapat dimiliki. Asep membesut hidung, lalu mengusap mata. Sejak kapan dia jadi secengeg sekarang?
Asep menangis. Terisak. Menangisi betapa menyebalkannya bu ibu yang doyan berhutang itu. Utang menggunung, dosa pun menggunung, lirih Asep.
***
Asep melanjutkan perjalannnya menjajalkan dagangan, mendorong gerobak sayurnya lemas, ingin rasanya dia kembali pulang, lalu melamun saja meratapi nasib. Sungguh malang, sekalinya jatuh cinta, pada janda yang tak pernah menyimpan rasa padanya.
Tiba saatnya Asep melewati rumah Pak Sholihin, ketua RT Desa Ramah Tamah tercintanya itu, dia melihat ada Wati yang sibuk menjemur baju, seperti yang digosipkan para Geng Daster kalau Wati nbekerja di rumah Pak RT itu benar. Lalu Asep melihat ada beberapa lelaki berseragam coklat sedang berbicara kepada Pak Sholihin yang didampingi oleh menantunya Danang, lalu terlihat juga Edi, dan beberapa pengurus desa lainnya. Sepertinya pembicaraan itu cukup penting.
“Bu, kenapa ada pak polisi di sini?” tanya Asep kepada Wati. Wati melihat Asep sedang menghentikan gerobak sayurnya di bawah pohon nangka.
“Kurang tau saya, Kang. Katanya sih masih melaporkan tentang kasus mayat yang kemarin ditemukan,” jawab Wati, sembari mengibas-ngibaskan baju basah dan mennggantungkannya di tali jemuran.
“Apa polisi sudah tahu ya identitas mayat itu?” Asep penasaran.
“Sepertinya begitu, Kang. Saya dengar katanya urang kota yang dibunuh pacarna. Ih, serem ya, Kang. Jaman sekarang mah kudu hati-hati pisan, jangan sampai terlena sama yang namanya pacar, siapa tahu orang yang kita anggap baik ternyata jahat pisan.” Bu Wati mengibaskan tangannya, dengan bibir sedikit terangkat.
Asep termenung, pikirannya kembali tertuju kepada Lastri, si yayang tercintanya itu. bagaimana kalau ternyata Rudin sebenarnya jahat? Pura-pura mencintai dan ingin mengawini ternyata ingin merampas kekayaan Lastri? Pikiran Asep mulai kacau, sekarang sudah tidak sedih lagi, tapi timbul rasa khawatir berlebih.
Gimana kalau Lastri dibunuh? Gimana kalau Rudin berlaku jahat dan kejam? Asep tak tahan membayangkan nasib Lastri seperti nasib mayat yang ditemukan di kebun Pak Sholihin itu. sungguh tragis nasib gadis malang itu.
“Kang, mau kamana?” tanya Bu Wati saat melihat Asep menggerakkan gerobaknya lagi, hendak menjauh pergi.
“Tentu saja menyelamatkan neng geulis Lastri atuh, Bu Wati!” kata Asep setengah berteriak.
Bu Wati keningnya mengerut. “Memangnya Lastri teh kunaon, Kang?”
“Neng Lastri dalam bahaya, saya harus selamatkeun!” Asep tanpa memedulikan Bu Wati lagi dia segera mendorong gerobak sayurnya cepat-cepat menuju rumah Lastri.
“Kok balik ke sini lagi, Kang?”
Tak sengaja Bu Lina bertemu Asep lagi di dekat rumahnya yang juga berdekatan dengan rumah Lastri. Asep tak menghiraukan si tukang gosip itu, dia segera menghentikan gerobaknya lalu berjalan gegas menuju pintu rumah Lastri. Bu Lina terus mengawasi tingkah Asep yang aneh.
“Neng, Neng Lastri,” panggil Asep, sembari mengetuk pintu.
“Kang, si Lastri teh teu di imah!” teriak Bu Lina, “tadi dia teh pergi.”
Asep membalikkan badan, alisnya bertaut. “Ke mana, Bu?” tanyanya cemas.
“Mana saya tahu, Kang, kok tanya saya.”
Asep kesal mendengar jawaban Bu Lina.
“Yasudah, saya mau cari Lastri,” kata Asep.
“teu dagang, Kang?”
Asep hampir melupakan gerobak sayurnya, dilihatnya Bu Lina mulai melirik sayur mayur miliknya.
“Ya, dagang. Memangnya saya pengangguran!” Asep kembali mendorong gerobak.
“Jadi pengangguran juga gak apa-apa, Kang, biar sempurna atuh kesialan hidupna!” nyinyir Bu Lina.
Dalam hati Asep mengumpat. Percuma debat dengan bu ibu, dalilnya selalu mengatakan kalau wanita tak pernah salah. Asep makin meringis.
***
Kebetulan sekali, Asep melihat Rudin dan Juki tengah berboncengan mengendarai sepeda motor. Asep sontak saja berteriak menghentikan laju motor.
“Din, Juki, berentiii!” teriak Asep, sehingga Juki menghentikan laju motornya mendadak.
“Naon, Sep?” Rudin kesal, dilihatnya tampang Asep tampak garang sekali pagi ini. Alisnya terangkat dengan mata sedikit melotot serta rahangnya yang mengeras. Khas ngajak gelut.
“Heh, Rudin, mau ke mana kamu? Di mana Lastri?” katanya tanpa basa-basi. Rudin menatap Asep aneh.
“Mana saya tau Lastri di mana. Saya sama Juki mau pergi beli golok.”
“Golok? Berarti benar dugaan saya, kamu sebenarnya orang jahat, Rudin!” tunjuk Asep, “jangan pura-pura baik sama Neng Lastri, jangan pura-pura sayang.”
“Eeeh, kamu kesurupan, Sep?” Juki tak tahan berdiam diri, ditatapnya tajam wajah garang Asep.
Dikatai kesurupan, Asep makin marah. Matanya memerah, napasnya memburu. “Hayu atuh, Din, lawan saya.” Tangan Asep menepuk d**a, lalu dia mengatakan dengan gayanya yang sudah seperti seorang jagoan, “sebelum kamu menghabisi Neng Lastri, langkahi dulu mayat saya!”
Juki dan Rudin tergelak melihat tingkah Asep.
“Mending jualan aja, Sep, kasihan itu sayuran dimakan kambing!” tunjuk Rudin ke arah beberapa ekor kambing yang berhasil memakan sayuran di gerobak Asep.
Asep menoleh, benar saja, beberapa ikat sayur kangkung dan sayuran lainnya berhasil dimakan kambing, entah hewan peliharaan siapa yang keluyuran di jalan.
“Dasar Ebek teu tau diri!” maki Asep setengah kesurupan mengusir kambing-kambing pintar itu. Sementara Juki dan Rudin sudah ngacir pergi.