Asep beranjak dari duduknya, berdiri tegap menghadap Rudin yang menatapnya garang.
“Ngapel lah, apa lagi?” kata Asep, menaikkan satu alisnya, membuat Rudin makin emosi.
“Kenapa? Kamu marah, Din?” Asep semakin menjengkelkan. Rudin jadi tak sabar, emosinya kian tersulut, dal hatinya dia mengumpat Asep kuat-kuat. Rudin tetap berusaha menahan muntahan amarah di hadapan Lastri, wanita itu menatapnya dan Asep dengan tatapan penuh rasa takut.
“Kang Rudin, saya teh bisa jelasin semuanya,” kata Lastri, takut-takut.
Tatapan Rudin beralih ke Lastri, ditatapnya wanita itu tajam. “Gak perlu, Neng. Akang akan pergi sekarang,” kata Rudin, tegas. “Maaf kalau Akang mengganggu malam mingguan Neng Lastri dengan tukang sayur ini!”
Rudin menatap Asep dengan sorot mematikan. Sementara Lastri terhenyak menyesakkan mendengar ucapan Rudin. Sungguh, wanita itu tak ingin Rudin pergi, tak ingin lelaki yang dicintai salah paham, lalu pergi begitu saja seakan pasrah pada keadaan. Dalam hati kecilnya, Lastri berharap Rudin berhasil membuat Asep yang pergi.
“Kang,” panggil Lastri, parau, “dengerin Neng dulu, bisa?”
Rudin menoleh, hanya sebentar dan kemudian melangkah kembali ke arah motor bututnya.
“Kang Rudin!” teriak Lastri, tetapi tangan Asep sigap mencekal tangannya.
“Sudahlah, Neng. Laki-laki seperti Rudin yang ngambekan begitu ngapain dikejar. Laki kok ngambek, cemburuan, huh, teu jentel pisan euy si barokokok!” Mulut Asep berkicau.
“Ih, Kang Asep kumaha sih, Kang Rudin begitu kan karena Akang yang mulutnya ngomong sembarangan!” gerutu Lastri, dilihatnya Rudin sudah melakukan motornya dengan kecepatan tinggi.
“Dih, sembarangan gimana, Neng?” Asep nyengir.
“Itu, pake acara ngomong ngapel-ngapel segala. Orang mah ngomong yang jujur. Kan Kang Asep ke sini cuma anterin pesanan saya sayur dan daging.”
“Lha, memangnya gak boleh gitu sekalian ngapel?”
“Ya, henteu atuh, Kang. Saya kan sudah bilang saya gak suka sama Akang. Ih, bikin riweh urusan wae si Akang mah.” Lastri cemberut, lalu mengambil plastik berisi sayur-mayur yang sudah dia pesan pada Asep sebelumnya. Besok Minggu, Lastri harus masak pagi-pagi sekali sebab dia ingin pergi piknik bersama adik-adiknya. Pergi piknik, paling mantap membawa bekal sendiri, jadilah Asep dia suruh mengantarkan pesanan malam ini.
Dengan senang hati Asep mengantarkan pesanan Lastri, dia juga tak ingin melewatkan kesempatan untuk mengobrol sebentar dengan janda idamannya itu. Lastri yang tak enak hati mengusir Asep yang sudah rela mengantar sayur dan daging pesanannya, akhirnya memberi Asep kesempatan untuk bicara padanya sebentar. Belum lama, Rudin datang, lalu kesalahpahaman terjadi.
“Neng, sebelum janur kuning melengkung, Akang kasep ini tak akan pernah berhenti mengejar Neng Lastri.”
“Heh, tapi saya mah gak mau dikejar Akang!”
“Harus mau dong, Neng.”
“Tak su-di!” Lastri meninggalkan Asep masuk ke rumah.
“Neng, kan kita ngobrolan belum selesai.” Asep garuk-garuk kepala.
Blam!
Lastri menutup pintu agak keras.
***
Rudin mengendarai motornya dengan cepat. Entah arahnya ke mana, tiba-tiba saja dia melewati kebun milik Pak Sholihin. Tak ada rasa takut lagi saat melewati tempat sepi dan terkenal angker itu, sebab hatinya panas dibakar api cemburu.
Di pinggir jalan tanpa penerangan, Rudin melihat Angela berdiri sambil melambaikan tangan.
“Kang!” panggilnya, terdengar manja seperti biasa. Rudin menghentikan motornya, lalu menatap wanita berpakaian seksi itu.
“Iya, Neng. Aya naon?” tanya Rudin.
“Kang, maaf, bisa anterin saya ke rumah Kiayi Sapi’i, gak?”
“Hah, Kiayi Sapi’i?” Rudin cukup terkejut, rasanya Angela salah tempat untuk dia datangi.
“Iya, Kang. Pliiis, anterin ya, saya capek kLo jalan sendiri ke sana,” jelas Angela, sembari mengibaskan rambutnya. Rudin Yan sejak tadi menatap kemontokan bagian depan tubuh Angela seketika meneguk liur. Sudah lama dia tidak menikmati keindahan dua puncak indah yang kenyal.
“Kang, mau gak nih, anterin saya? Kok malah bengong,” kata Angela lagi, menghalau pandangan Rudin.
“Eh, i-iya bisa, Neng. Bisa pisan atuh. Sok, naik ke motor, bonceng Akang.” Rudin senang hati memboncengi Angela.
Angela naik ke motor Rudin, hingga beban berat motor itu sedikit bertambah. “Pegangan ya, Neng,” pinta Rudin.
“Pegang apanya, Kang?” desah Angela, memancing liarnya pikiran kotor Rudin.
“Pinggangnya, Neng. Akang mah gak nolak kalo dipeluk dari belakang.” Rudin nyengir, begitu pun dengan Angela.
“Saya takutan orangnya, Kang. Saya peluk, ya. Mana malam ini dingin lagi.”
Glek! Rudin menelan ludah, tenggorokannya mendadak kering kerontang. Dalam hati dia berkata, ‘Njir, ganas juga kayaknya nih perempuan '.
“Seretah Neng sajalah,” timpal Rudin.
“Terserah, Kang. Bukan seretah.” Angela membenarkan.
“Oh, mangap atuh, Neng. Maklum Akang grogi. Rudin mulai menyalakan mesin motor. Suara mesin dan tarikan gas terdengar meraungengisi kesunyian malam.
Rudin sudah melaju ke rumah Kiayi Sapi’i namun sejak tadi masih berputar-putar di lokasi yang sama, sempat membuatnya bingung.
“Perasaan ini tadi sudah dilewatin, kenapa lewat di ieuh lagi?” gumamnya. Angela masih bonceng di belakang, sejak tadi wanita itu hanya membisu, tidak bersuara apa pun. Rudin penasaran, diliriknya Angela dari kaca spion. Terlihat Angela tengah menundukkan wajah, Rudin tak begitu jelas melihatnya sebab terhalang rambut panjangnya yang separuh menutupi wajah.
Rudin kembali fokus ke jalanan, hingga dia melewati tanggul yang membuat tubuh Angela sedikit terdorong ke depan, Rudin merasakan ada sesuatu yang empuk menempel di punggungnya. “Eh, maaf ya, Neng. Disengaja,” guyon Rudin. Entah kenapa dia jadi genit sekarang, sebab patah hati membuatnya jadi aneh sendiri.
Angela masih diam. Akhirnya Rudin kembali bersuara tuk menghalau sepi.
“Neng, ke rumah Kiayi Sapi’i mau ngapain?” tanya Rudin, dia berharap akan ada obrolan di antara mereka. Tetapi lagi-lagi Rudin masih tidak mendapatkan jawaban. Akhirnya diam-diam Rudin menggerakkan tangan kirinya ke belakang untuk menyentuh pergelangan tangan atau kaki Angela. Saat berhasil disentuh, seketika aliran darah Rudin terasa terhenti.
Tubuh Angela terasa dingin. Beban motornya semakin berat saja lalu tengkuk lelaki yang tengah patah hati itu seketika meremang. Rudin gemetaran, apa jangan-jangan ....
Rudin berteriak minta tolong, sambil gemetar melajukan motornya. Rupanya wanita yang diboncenginya dedemit yang sering menggoda warga, demit yang cerdas bisa menyerupai siapa saja.
Motor Rudin pun berputar-putar tak jelas, melihat Rudin ketakutan, sosok di belakang lelaki itu tertawa melengking. Semakin pucat wajah Rudin, sekuat tenaga dia menahan untuk tidak mengompol dalam celana.
***
Di pos kamling, sudah ada tiga warga desa yang terjadwal meronda, salah satunya Fahmi, anak lelaki Kiayi Safi’i yang masih bujangan. Kebetulan Fahmi hendak pulang sebentar ke rumah untuk mengambil sarungnya yang ketinggalan. Meronda tanpa sarung, rasanya kurang afdol.
Fahmi berjalan kaki arah pulang, itung-itung sekalian tugas keliling desa tuk melihat situasi. Saat melewati kebun Pak Sholihin Fahmi mencoba menajamkan pendengarannya.
“Tol-loong!”
Dia mendengar suara minta tolong dari arah pintu kebun. Di sana memang tidak ada rumah warga, sepi. Tapi kenapa ada yang minta tolong?
Sekali lagi Fahmi menajamkan pendengarannya. Masih sama, kini suara itu semakin serak saja. Lalu setengah berlari Fahmi mencari sumber suara.