Asep patah hati. Berderak seperti ranting pohon kering patah lalu terjatuh ke tanah. Tidak ada yang lebih pedih daripada mengetahui bahwa wanita incarannya selama ini rupanya menyimpan rasa pada laki-laki bernama Rudin, laki-laki malang yang ditinggalkan istrinya demi laki-laki lain di kota.
“Lastri, Lastri, padahal mah saya teh jauh lebih baik daripada si Rudin itu yang kerjanya gak jelas. Kadang nguli, kadang dagang, kadang ngupil we di rumah karena pengangguran. Kalau saya sudah jelas atuh, Neng, meski tukang sayur keliling juga tapi penghasilan terus ngalir tiap hari. Yaahh, kadang dapat untung besar, kadang kecil. Tapi cukup lah kalau Neng mau sama saya atuh.” Asep terus bicara sendiri sembari duduk bersandar di bawah pohon Mangga di seberang rumah Lastri, tangannya sesekali melempar kerikil ke arah jalanan yang aspalnya sudah rusak. Dia terus bicara seakan Lastri ada di hadapannya, mendengarkan keluhannya yang membandingkan dirinya dengan Rudin.
“Begitulah perempuan, sulit dimengerti euy. Pusing aing!” Asep kembali bersuara, di bawah sinar rembulan yang memancarkan cahaya pucat. Malam ini, penjual sayur yang bertampang kasep itu sengaja ingin menghabiskan malam dengan merayakan perayaan patah hati di bawah pohon mangga sambil menatap ke arah rumah Lastri. Tak ada teman yang menemani, meski secangkir kopi dan sebatang rokok yang dapat dia hisap dalam-dalam. Matanya terus tertuju pada pintu rumah Lastri yang tertutup rapat, waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Dia tahu Lastri mungkin sudah terlelap sambil mendekap anak semata wayangnya yang masih kecil.
Wajah manis Lastri terus menghiasi pelupuk mata Asep, Lastri memang janda kembang Desa Ramah Tamah ini. semenjak suami wanita itu meninggal, sudah berapa banyak laki-laki datang ingin mengawininya, dengan mengucap janji-janji manis untuk membahagiakannya beserta anaknya. Hanya Asep yang masih sulit mengungkapkan perasaannya sendiri pada Lastri, dia malu, ah, tidak, Asep memejamkan mata, dia hanya takut mendengar penolakan. Dan kini, terjawab sudah sebelum dia mengungkapkan isi hati, Lastri diketahui memang tidak menyukainya. Malang, sungguh malang.
Namun begitu, Asep seakan masih tidak menerima kenyataan, siang tadi, betapa terpukulnya dia saat tahu dari beberapa mulut warga Desa Ramah Tamah yang bergosip soal kedatangan Lastri ke rumah Rudin demi agar laki-laki itu lekas sembuh—yang katanya kesambet setan. Apalagi setelah dia tak sengaja bertemu Juki di perempatan jalan desa, Juki sempat-sempatnya bercerita soal Lastri yang membawakan Rudin serantang serabi buatannya sendiri.
“Kutu kuprett!” Asep kesal, saat mengingat bagaimana ekspresi wajah Juki yang menyebalkan itu saat bercerita. Ingin sekali Asep mengatakan bahwa dia cemburu, tapi gengsinya terlalu tinggi.
“Bagus atuh, semoga aja Neng Lastri berjodoh dengan Rudin,” timpal Asep, sambil menangis dalam hati.
Gustiii ... Rasanya sakit sekaliii. Asep meremas dadanya sendiri.
***
Malam semakin pekat. Desau angin terdengar kuat dan dingin. Udara terasa lembab, namun Asep masih bertahan di bawah pohon Mangga. Suasana malam ini terlalu sunyi di banding malam-malam sebelumnya, biasanya banyak para bujang lapuk nongkrong di pinggir jalan tuk mengusir sepi seperti dirinya, kadang berdendang sambil memetik gitar tua, yang jelas bukan gitar Bung Rhoma.
Tiba-tiba saja, Asep mendengar suara wanita tertawa dari atas pohon, terkikik seakan tengah mengejek Asep yang tengah melamun.
“Heh, saha eta?” Refleks Asep mendongak ke pohon, tetapi dia tak menemukan siapa-siapa di atas sana.
“Halah, saya gak takut!” ucap Asep lagi, “turun sini sia!”
Hening, tak ada lagi suara-suara yang terdengar selain embusan angin yang menggelitik tengkuk Asep. Laki-laki itu meremang, lalu perlahan dia bangkit dari duduknya dan setengah berlari meninggalkan tempat itu.
“Kok jadi merinding, ya. Memangnya siapa ya yang tadi ketawa. Bikin kaget aja,” ucap Asep pada diri sendiri. Kemudian dia menghalau rasa takutnya setelah cukup jauh dari pohon Mangga rimbun itu.
Jalanan lengang, tak ada orang atau pun kendaraan yang lewat, sepi. Kiri jalan terdapat lapangan bola yang cukup luas, tempat bermain anak-anak kala pagi dan sore hari. Di sisi kanan jalan, ada banyak pohon-pohon singkong berderet yang dibuat sebagai pagar jalanan. Asep menundukkan wajah, menyusuri jalanan berkerikil.
“Akang!”
Asep mengangkat wajah, lalu dia menemukan wanita mudah berparas cantik tengah berdiri di pinggir jalan. Dia perhatikan, wanita ini sepertinya bukan warga Desa Ramah Tamah, sebab Asep yang terbiasa keliling kampung, sudah hapal betul sesiapa saja warga desa ini.
“Iya, Neng? Ada yang bisa saya bantu,” kata Asep, matanya terus memperhatikan tubuh dan pakaian wanita muda itu seksama. Betul-betul seksi, padat dan berisi. Wanita itu menggunakan baju merah ketat dengan rok mini di atas lutut. Bodinya bohay sekali di mata Asep, seketika saja dia bersiul dengan mata setengah membulat.
“Gile, inikah balasan dari patah hati aing, ya Tuhan, Kau hadirkan bidadari cantik dari surga eh kota,” batin Asep, pikirannya mulai nakal. Sudah lama menjomlo, jiwa kesepiannya bergejolak.
“Akang, saya tersesat. Bisa Akang bantu saya?” Wanita itu memasang tampang memelas, hingga Asep terlihat iba padanya.
“Oh, bisa-bisa atuh, Neng. Neng geulis mau kamana?” Asep cepat menawarkan bantuan, “Ayo, Akang antar kalau Neng cari alamat warga desa di sini.”
Wanita berbaju merah itu kini tersenyum, membuat Asep salah tingkah. Manis juga senyumnya, pikir Asep. Senyum termanis yang pernah Asep lihat. Lalu wanita itu menyebutkan sebuah alamat, tanpa pikir panjang lagi Asep segera menyetujui akan mengantar wanita muda cantik nan seksi itu.
***
Selama berjalan bersisian, tentu saja hati Asep jedag-jedug seperti suara pukulan bedug. Belum pernah dia berdekatan dengan wanita secantik wanita di sampingnya itu. semakin dilihat, semakin cantik. Asep jadi lupa akan kesedihannya, lupa akan gadis pujaannya selama ini.
Aroma wangi menguar dari tubuh si seksi di sampingnya kala angin berembus, rambut panjang pirang kecoklatan tergerai sepinggang terlihat bergoyang dibelai angin. Ingin rasanya Asep ikut membelai rambut indah itu, menyentuhnya lalu menciuminya. Pikiran Asep semakin liar, hingga akhirnya dia menyadari, bau wangi yang tadi dia cium lama-lama menjadi bau busuk yang menyengat.
“Hemm, Desa ini memang banyak peternak kambing, Neng. Bau kambing tersebar di mana-mana,” celetuk Asep, dia pikir, wanita itu pasti juga terganggu dengan bau busuk yang sama. Tetapi Asep menyadari bau itu bukanlah bau kambing, tetapi seperti bau bangkai. Namun wanita yang berjalan di sampingnya tak bersuara, sejak tadi dia diam saja selama berjalan kaki bersisian dengan Asep. Sempat membuat Asep gemas, betapa pemalunya wanita itu, sementara Asep cukup cerewet dari tadi.
Bau busuk kembali menyengat hidung. Asep sudah tak tahan, perutnya terasa mual dan seperti ingin muntah. “Hoek!” langkah kaki Asep terhenti, dia mengeluarkan banyak cairan dalam mulutnya bercampur makanan yang sudah termamah. Sementara wanita itu seperti tidak menghiraukan Asep, dia terus berjalan tanpa menoleh, tanpa bertanya atau apapun itu.
“Neng!” panggil Asep. Berusaha mengejar wanita itu. Sebelum dia berhasil mensejajarkan diri, Asep tersentak saat menyadari di mana dia kini.
“Haduh, ini kan bukannya kebonnya Pak RT?” Asep bingung. Kenapa dia bisa ada di perkebunan Pak Sholihin, di mana belum lama ini di tempat itu geger ditemukan mayat seorang wanita dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Barulah Asep menatap punggung wanita di depannya lebih teliti.
Jangan ... jangan ....
Kaki Asep mulai terasa lemas. Berat. Dan pita suaranya seakan tak berfungsi untuk sekadar memanggil wanita itu atau bahkan berteriak minta tolong. Asep menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, dia berharap bisa menemukan pintu ke mana saja milik Doraemon agar dia bisa meninggalkan tempat itu dengan cepat, kembali ke rumahnya, dan bersembunyi di balik selimut tebal.
“Akang,” panggil wanita itu, tetapi Asep takut untuk membuka telapak tangannya, takut pula membuka mata.
“Akang, hihii ... hihiiii.”
Tubuh Asep menggigil, kakinya gemetar ketakutan. Tanpa terasa celananya sudah basah. Tawa wanita itu, sama dengan tawa seseorang yang didengarnya di atas pohon Mangga tadi. Kini Asep menurunkan tangannya dari wajah, membuka matanya dan melihat wanita itu ....
“Se-se-setaaan!”
Asep berlari secepat kilat, dengan celananya yang basah. Wanita muda itu dilihatnya sudah berubah menjadi sangat mengerikan, gigi rontok dan wajahnya bobrok.
“Lontooong!” teriak Asep.