7. THE TRUTH

1147 Words
"Dari mana kamu?" Suara bariton itu menghentikan langkah kaki ringan Cecil. Dia menoleh ke asal suara dan mendapati papanya yang berdiri dengan satu tangan di saku celana dan satu lagi memegang tablet. Sementara di sofa di samping papanya ada mamanya Cecil sedang membaca majalah. "Tumben tidak sibuk," gumam Cecil sangat pelan. "Dari rumah Ambar," jawabnya lalu bersiap menaiki tangga ke lantai dua. Enggan tinggal lebih lama dekat-dekat dengan orang tuanya karena takut hatinya sedih mengingat tanggal kemarin. "Stop berteman dengan Ambar. Mau jadi apa kamu nanti? Berandalan?" tanya papanya. Ambar teman lama Cecil, setiap ada panggilan untuk Cecil ke sekolah, pasti orang tua / wali Ambar di panggil juga. Dan papa Cecil sudah pasti menyelidiki orang-orang yang dekat dengan putrinya itu. Dari hasil penyelidikan dia tahu bahwa Ambar bukan orang baik. Perangainya sangat buruk, suka ke club, suka bolos bahkan merokok dan minum alkohol. "Emang kenapa kalo Cecil berteman dengan Ambar?" tanya Cecil menantang papanya. Rahang papanya mulai mengeras, terlihat dari urat-urat yang tercetak di sekitaran leher dan wajahnya mulai memerah sekaligus mengetat. "She's not good for you. Dia berandalan Cecilia!" tegas sang papa dengan suara menggeram karena menahan emosi. Dan langsung di respon dengan tawa dong oleh Cecil. Dimana kesopanan yang di pelajari di sekolah? Ah, pasti hanya tertinggal di buku, soalnya dia sering bolos di jam pelajaran PPKN. "She's not good? Berandalan? Papa kayaknya lupa, Cecil juga kayak Ambar. Ups, bukan lupa, tapi tidak tahu, karena yang mengurusi semua masalah Cecil di sekolah kan Mang Khodir." Tamparan keras buat papa dan mamanya. Memang benar, informasi apapun yang di ketahui oleh tuan Pujantara adalah hasil dari laporan beberapa orang-orangnya. Walau pihak sekolah mengenal siapa Cecil, tapi orang tuanya tidak pernah datang ke sekolah jika anak itu kena masalah, pihak sekolah memakluminya. Mereka mengerti kesibukan tuan Pujantara. Hal yang membuat Cecil dan teman-temannya bisa bertahan di sekolah adalah, karena orang tua mereka punya uang dan kuasa. Orang tua mereka donatur-donatur terbesar ke sekolah itu. Banyak siswa - siswi tidak mampu yang berprestasi di hasilkan oleh sekolah itu dan mereka semua mendapat beasiswa karena sumbangan para donatur itu. Nama sekolah semakin harum begitu juga nama para Donatur. "Cecil," panggil mamanya pelan. Sang mama tetap duduk tenang dan meraih tangan suaminya untuk duduk. "Cecil tau kan kenapa papa dan mama tidak pernah ke sekolah jika ada panggilan karena ulah kamu?" tanya sang mama pelan seraya menatap Cecil. "Itu karena kita harus menjaga reputasi keluarga kita, Nak. Nama papamu kan udah di kenal orang banyak, akan jadi masalah jika ada sedikit pun keburukan yang terdengar menyangkut nama papamu. Itu bisa menjadi celah buat musuh-musuh papamu nanti." Cecil memutar bola matanya mendengar ceramah mamanya, "Kayak mau nyaleg aja," gumamnya pelan. "Jadi, Nak. Dengar apa kata papamu, jauhi Ambar dan carilah teman yang bisa mensupport kamu untuk lebih baik, lebih pintar dan lebih cerdas. Mama pengeeeeen sekali membaca panggilan ke sekolah kamu karena suatu prestasi," ujar sang mama sangat lembut dan berbicara mendayu dan panjang saat mengucapkan kata 'pengen'. "Ah, itu mungkin bisa terjadi kalau Cecil punya saudara yang lain, Ma. Please jangan paksa Cecil untuk bisa memberikan mama undangan karena prestasi. Cecil nggak sanggup," balasnya enteng seraya bersiap melangkah. "Berharap sangat tinggi, malah menyuruh mencari supporter. Yang gue mau jadi supporter gue yah kalian dong!" gumamnya seraya melangkahkan kaki ke lantai dua dimana kamarnya berada. Sepasang orang tua itu hanya bisa menatap kepergian anaknya dan menghela napas berat karena dari tiga anaknya, anak perempuan satu-satunya inilah yang bermasalah. Dua abangnya walau tidak terlalu terang prestasinya tapi mereka tidak pernah mendapat surat undangan karena kenakalan anak-anak di sekolah. Bahkan dua anak lelakinya memilih untuk kuliah di luar negeri saat ini. "Sudah, Cecil itu cerdas, walau tidak menjawab apa kata Mami tadi, dia pasti memikirkannya," ujar sang mama untuk menenangkan tuan Pujantara yang sedang memijit keningnya. Niat mau istirahat hari ini usai pulang dari KL setelah acara melelahkan tadi malam, malah makin lelah karena mendapati anak gadisnya baru pulang dengan pakaian yang kurang bahan, bukan seragam sekolah. Sementara itu di lantai dua, Setelah Cecil masuk ke kamarnya, dia langsung menuju kamar mandi untuk mandi. Badannya lengket dan bau amis. "Dasar Om-om m***m, sok religius tapi di suguhi tet*k langsung on juga," gumamnya melihat bekas cupangan yang bertebaran di d**a hingga perutnya. "Bagus dia nggak buat cupang di leher gue," lanjutnya seraya meneliti lehernya di cermin besar di kamar mandi. Cecil langsung masuk ke bathtub yang sudah hampir penuh. Dengan menambahkan sedikit aromatik ke dalam bathtub, Cecil merasa tenang saat berendam. Dia memejamkan mata dan ingatannya melayang ke kejadian tadi malam saat dia bersama pria tua tak di kenal itu. Cecil merapatkan kakinya karena teringat apa yang mereka lakukan tadi malam. "Dasar badjingan tua, tega sekali dia menggantung gue tadi malam. Padahal gue juga udah setuju ajah," rutuknya pada pria tak di kenal itu. Kejadian sebenarnya tadi malam, Saat hawa panas sudah semakin panas di antara dua orang itu, tanpa sadar keduanya sudah polos dan sedang bergulat di atas ranjang. "May I?" tanya pria itu pada Cecil yang sudah hampir di awang-awang. Sempat terdiam beberapa saat karena tidak mengira dia akan sejauh ini. Tapi rasa penasaran akan semua cerita teman-temannya juga tiba-tiba muncul di otaknya. "Ya," jawab Cecil pada akhirnya. Pria yang sudah bersiap menghujam itu sebenarnya juga sedang di liputi amarah karena penghianatan kekasihnya dan adiknya hingga berujung hamil. Pria itu merasa kalah dengan adiknya karena selama ini dia tidak pernah melakukan hal intim itu pada kekasihnya. Pun pada wanita lain. Dia benar-benar bersih dan masih perjaka tong-tong hingga di usia tiga puluh dua ini. Keduanya kembali saling memagut sebagai pemanasan dan mencari celah yang pas untuk saling masuk dan menerima, hingga saat gerbang surga dunia itu akan di masuki, pria itu berhenti karena para pengawal berdiri di sana dengan tameng besinya. "Have you ever do it? Or this is the first?" tanya pria itu seraya berhenti mendorong. Dia menatap gadis di bawahnya dengan mata memerah karena menahan sesuatu. Napasnya tersengal-sengal seperti baru selesai marathon. "Ck, do it now b******k, pake tanya-tanya kayak wartawan segala. Yes, this is the first, why?" kesal Cecil yang sebenarnya sudah sangat siap terbukti dari cairan yang membasahi gerbangnya. "Sorry, I can't. Tadinya aku pikir, kamu sudah pernah." Pria itu berguling ke sisi kiri Cecil dan memeluk Cecil dengan erat. Dia belum siap menjadi pria pertama gadis itu karena belum siap menanggung dosa sebagai perusak. "Let's get it with another way!" ucapnya seraya menancapkan juniornya di sela-sela paha Cecil dan bergerak maju mundur dengan cepat dan teratur. Kakinya menindih kaki Cecil untuk memastikan kerapatannya. Tangannya juga sibuk membelai bagian-bagian sensitif Cecil untuk menaikkan rangsangan lagi. Hingga pada akhirnya keduanya berteriak tertahan karena merasa mencapai puncak. "Banyak jalan menuju Roma, kan?" ucap pria itu usai melabuhkan ciuman panjang di punggung Cecil hingga meninggalkan bekas. Lalu menarik selimut untuk menutupi tubuh keduanya. Mereka tertidur setelah mengejar puncak dari berbagai arah untuk menghindari jalan lurus yang begitu mudah untuk di tempuh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD