Melakukan suatu pekerjaan dengan terus-menerus dan mengulang-ulangnya membuat kita terbiasa dan pastinya menganggap itu sudah bukan beban lagi. Begitu juga Cecil. Pagi hari sekolah dan sore sampai malam bekerja. Dia menjadi terkenal sekarang karena bisa melakukan dua hal yang sangat di hindari anak sekolahan.
Anehnya lagi, walau dia bekerja hingga laut malam, dia tidak pernah mengantuk di kelas. Saat guru menjelaskan di depan, dia berusaha fokus dan kadang bertanya pada guru. Hal langka di sekolah itu karena biasanya para siswa akan melakukan apapun yang mereka suka saat belajar. Bisa jadi ada yang tidur, ada yang main ponsel bahkan ada yang cerita dengan teman satu mejanya.
Saat ini, kelas Cecil menjadi topik panas di ruangan guru. Karena ada satu siswa yang aktif dan membuat yang lain juga aktif bertanya.
"Loe tahu nggak, kalau loe sekarang jadi anak kesayangan para guru itu?" bisik Maria saat mereka berjalan menuju gerbang sekolah. Jam pelajaran sudah selesai, saatnya cari cuan.
"Nggak. Emang kenapa?"
"Loe jadi orang terpandai di sekolah ini sekarang karena loe yang sok-sokan bertanya ini itu saat belajar," ucap Maria memuji sekaligus kesal. Sejak Cecil rajin bertanya, guru-guru jadi sering masuk kelas. Mereka jadi semangat mengajar.
"Tapi loe senang kan gue bertanya. Dari loe yang nggak tau jadi tahu karena di jelasin. Terima kasih ke gue dong," balas Cecil pongah.
Dulu, di sekolah lamanya, siapa yang rajin bertanya akan menjadi murid kesayangan guru dan nilai bisa di pertimbangkan. Tapi bukan asal bertanya yah. Bertanya soal pelajaran yang baru di bahas dan ternyata ada yang kurang mengerti atau ada yang perlu di kritisi. Cecil dulu sangat iri pada teman-teman di kelasnya yang berlomba-lomba untuk bertanya. Tapi dengan itu, dia jadi lebih banyak tahu.
"Senang sih. Tapi kan kita jadi belajar terus tiap hari. Mana selalu di kasih PR lagi. Kapan ngerjainnya?"
Sudah satu minggu ini setiap guru mata pelajaran kasih tugas di rumah. Bikin sebel. Bukan hanya Maria yang mengeluh tapi yang lain juga. Karena dengan adanya PR ini, waktu untuk hang out dan bermain-main jadi berkurang.
Cewek-cewek yang sedang latihan dance untuk konten jadi berkurang waktunya karena harus selesaikan PR dulu.
Anehnya, para siswa itu menuruti perintah gurunya. Mungkin mereka lupa bahwa sedang berada di sekolah teksas.
"Ngerjain PR dulu aja sebentar. Kan kerja dari jam empat sore. Jam dua ke jam empat kan bisa, Mariaaaaa," geram Cecil.
"Gue perlu tidur monyet biar nggak ngantuk pas kerja nanti. Emang loe nggak tidur dulu sebelum kerja?"
Cecil menggeleng. Dia tidak pernah mencoba dan tidak ingin. Karena jika sudah tidur siang, satu jam itu pasti kurang.
"Takut bablas," jawabnya terkekeh.
"Ikut ke kostan gue aja yuk. Kita ngerjain sebentar disana terus pergi bareng ke rumah loe, baru ke cafe. Gimana?"
"Makan gue gimana? Di rumah loe?"
"Iya, ayo gue yang traktir."Cecil mengapit tangan Maria di ketiaknya dan membawa temannya itu ke kosannya. Kedua sahabat itu saling terkikik karena sesuatu yang tidak lucu.
Sementara pria yang beralih profesi menjadi tukang ojek mengamati anak asuhnya dengan sudut mata. Dia mengantar anak asuhnya itu dengan pandangannya.
"Kerjaan gue kayak nggak kerjaan. Masa setiap hari gini-gini aja," gumamnya seraya mengisap rokok yang hampir membakar jari-jarinya.
*****
"Besok kita udah gajian, Cil. Kita ke mall yuk."
Cecil menatap Maria yang sedang tengkurap di kasurnya sambil mengerjakan PR. Seragam sekolahnya di lepas karena harus di pakai lagi besok. Maria hanya pakai short pendek dan bra.
"Kayaknya loe anggap kamar gue pantai yah, makanya loe santai begitu hanya pake daleman."
"Ck, sama-sama cewek aja pun. Asal nggak telanjang aja lah. Emangnya kamu kalau disini nggak pernah kayak gini?"
"Saban hari. Tapi kan nggak ada yang lihat Maria."
"Gimana, kita mal besok?" tanya Maria lagi tak ingin membahas cara berpakaian.
Cecil berdecak. Otak maria sepertinya harus di bersihkan dari debu-debu yang membuat jalan otaknya mampet.
"Besok gajian, ya benar. Tapi kita juga kerja sampai jam sepuluh malam Maria. Kapan ke mall nya?"
Maria menepuk dahi sendiri. Dia benar-benar lupa. Yang dia ingat besok akhir bulan dan dia sudah bisa gajian.
"Nggak terasa ya Cil. Udah satu bulan kita kerja. Loe sekarang udah mirip babu karena udah mahir gitu cuci piring sama ngepel dapur. Penasaran gue pas loe ntar balik ke rumah bonyok loe. Mereka pasti ngira elo udah setres pas liat loe beres-beres rumah."
Maria sedikit terkekeh saat mengatakannya.
"Iya, tapi yang gue pikirin sekarang ujian akhir sekolah nanti, Mar. Kalau kita kerja kapan kita belajar? Dua jam jeda pulang sekolah dan masuk kerja mana cukup. Soalnya gue harus nyuci baju lagi. Makan lagi, bersihkan kamar lagi. Padahal gue sadar betul, kapasitas otak gue gimana."
"Kampret! Loe ngomong gitu kayak nyinggung gue tau nggak, Cil. Loe sekarang udah enak, biarpun kata elo kapasitas otak loe nggak bagus tapi nama loe udah bagus di antara guru-guru. Otomatis nilai loe juga akan di tambahin."
"Emang gitu, ya?"
"Ya iyalah. Ngapain orang capek-capek jadi penjilat kalau nggak ada maunya," jawab Maria sambil memutar bola mata.
"Loe ngatain gue penjilat?"
"Astaga Cecil, bukan loe. Itu kiasan, Monyet. Lagian soal ujian nanti loe nggak usah mikir jauh-jauhlah. Pasti lulus dengan nilai yang bagus. Yang musti loe pikirin sekarang, besok setelah gajian, kita mau rayain dimana?"
"Ck, kita pergi pas udah dapat jatah off aja. Bulan ini kita nggak dikasih karena masih baru. Gue rasa bulan kedua udah di kasih lah itu," ucap Cecil memberi saran. Sebenarnya dia tidak terlalu tertarik sih, takut ada yang mengenalinya saat di mal dan memanggilnya.
Kedua sahabat itu menyelesaikan PR yang hanya tiga soal hampir satu jam karena kemampuan otak mereka. Dengan terburu-buru mereka meninggalkan kamar kost Cecil dan berlari ke rumah Maria yang hanya beda satu gang dari rumah kost itu.
Mereka tiba di cafe tepat dua menit sebelum jam kerja mereka.
"Kenapa kalian ngos-ngosan begitu?"
"Hab--hab--bis lal-ri-lari, Ka. Kejar waktu. Takut telat," jawab Cecil dengan sedikit ngos-ngosan.
Dia segera ke belakang dan memakai apron kulit dan sarung tangan karet lalu memulai pekerjaannya mencuci piring. Tidak ada keluhan capek lagi dari mulutnya satu minggu terakhir ini. Dia sudah menerima nasibnya yang berubah dari cinderella menjadi upik abu. Terbalik yah, :)
Gajian di percepat, tidak besok melainkan hari ini. Setelah cafe tutup dan karyawan hendak pulang. Bos memanggil mereka dan membagikan amplop gaji. Mereka membubuhkan tanda tangan di buku besar bahwasanya mereka sudah terima gaji.
Saat di luar, dua orang sahabat itu tertawa dan memamerkan amplop masing-masing. Keduanya berseru hore membuat senior-senior mereka tertawa geli.
Banyak rencana yang di susun saat di perjalanan pulang. Beli apa, makan apa, nonton film apa dan lain lagi. Padahal gaji hanya secuil. Untuk bayar kostan dan makan Cecil satu bulan juga kalau cukup sudah bagus. Untung dia punya banyak tabungan jadi tidak usah mengeluh soal gaji itu.
"By Cil. Sampai jumpa besok pagi di sekolah." Maria melambaikan tangan saat akan berbelok ke gang masuk rumahnya. Gang itu masih ramai karena ada warung kopi tradisional tepat di samping rumah Maria.
Dalam kesendiriannya, Cecil berjalan menuju kostannya. Sudah jam sepuluh malam. Hanya terlihat beberapa orang yang berjalan ataupun naik motor.
Tidak ada masalah selama ini ketika Cecil berjalan sendirian. Tapi kali ini, entah datang dari mana ada dua orang pemuda yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Cecil berbalik dan hendak pergi ke rumah Maria saja. Tetapi saat berbalik ada satu orang lagi.
"Jangan takut! Jangan takut!" bisiknya dalam hati. Tapi dasar perempuan, di cegat oleh tiga orang laki-laki di tengah malam begini di jalan yang sepi pastilah gemetaran, kan?
"Hai cantik, baru pulang kerja, kan?" sapa seorang dari ketiga orang itu.
"Bagi hasil dong. Udah gajian, kan?" kata satu orang lagi.
Cecil memeluk erat tote bagnya. Bagi hasil? Enak aja, cibirnya dalam hati.
"Maaf, Bang. Kan gue yang kerja, kenapa bagi hasil sama abang-abang sekalian? Kalau mau uang, ya harusnya kalian kerjalah. Jangan rampok gini. Dari anak sekolah lagi. Nggak malu sama jakun?"
Dasar orang bar-bar. Udah pun gemetaran, masih sempat-sempatnya dia menantang tiga pria jelek dan dekil yang mengepungnya.
"Stop! Jangan mendekat! Atau nggak gue teriak," ucap Cecil saat melihat satu orang maju.
Perintahnya hanya jadi bahan tertawaan bagi tiga orang itu. Ketiganya mendekat dan mencoba merebut tas Cecil.
"Teriak aja! Semua orang udah tidur di jam segini. Lagian mana ada yang berani sama kita-kita," jawab salah satunya.
"Lepasin!" teriak Cecil saat dia mempertahankan tasnya.
"Tolong! Tolong!" teriaknya dan tak ada yang datang. Entah kenapa jalanan tiba-tiba sepi bangat. Tidak ada pemotor yang lewat.
Gang rumah Maria pun sepertinya menjauh. Teriakan Cecil sepertinya tidak sampai.
Para kurang ajar ini, mau dapat uang tapi nggak mau kerja, batinnya. Cecil mengangkat kakinya dan menendang aset penting salah satu dari pria itu. Tepat sasaran dan pria itu merintih seraya menjauh dari Cecil. Saat hendak melakukannya lagi pada orang yang lain, salah satu dari pria itu memeluk leher Cecil dari belakang dan mengancamnya dengan pisau lipat.
"Berikan tas loe. Kalau tidak, muka loe yang mulus ini akan gue codet sekarang!"