"I choose the last one,"
"CECILIA"
Vetty langsung berlari ke arah Cecil dan memegang bahu anaknya itu. Mengguncangnya dengan keras seolah-olah ingin menyadarkan Cecilia.
"Apa yang kamu katakan, Nak? Kamu pasti tidak serius, kan? Papamu juga tidak serius, itu hanya gertakan, Sayang," ucapnya pada gadis yang sedang menatap nanar pada Pujantara.
"Aku serius, Mam. Aku memilih untuk di buang. Dengan begitu, aku bisa melakukan apapun yang ku mau tanpa harus memikirkan nama baik keluarga Pujantara. Kalian tidak akan malu dan tidak akan pusing memikirkan siapa yang akan menggantikan kalian untuk menyelesaikan masalahku di sekolah," balas Cecil.
Cecil menyingkirkan tangan mamanya dan bersiap melangkah ke lantai dua. Ingin mengambil apa yang perlu di bawa.
"Kamu dengan mudah memilih keluar dari keluarga ini, apa karena pria itu?" tanya Pujantara dengan datar. Perkataan papanya menghentikan Cecil. Pria? Pria yang mana? Eric?
Ericson adalah salah satu anggota gengnya. Hanya ada satu pria yang kurang kasih sayang seperti dirinya dalam kelompok mereka. Apa papanya tahu mengenai Eric?
"Sepertinya dia orang berada, terbukti tidak ada catatan pengeluaranmu saat kalian ke hotel kemarin malam. Apa karena pria itu bisa menanggung hidupmu makanya kamu memilih pilihan ketiga?" tanya Pujantara lagi.
"HAMID!" teriak Vetty pada suaminya. Wanita itu menggeleng, betapa teganya seorang ayah bicara seperti itu pada putrinya sendiri.
"Ya!" jawab Cecil lalu melanjutkan langkahnya.
Kini dia paham, ternyata tamparan yang dia dapat dan hukuman yang di tawarkan papanya karena dia ketahuan ke hotel tadi malam.
Lalu, siapa pria itu yang di akui Cecil bisa menanggung hidupnya? Cecil tidak tahu. Walau tadi siang melihat pria itu lagi, tapi Cecil tidak ada niat untuk menyapanya dan menjalin hubungan silaturahmi atau pertemanan atau apapun itu.
Pertemuannya dengan pria itu dan apa yang terjadi tadi malam adalah kesalahan. Dia sedikit pusing di tambah sedih bercampur kecewa karena ulang tahunnya terlewatkan begitu saja. Maka dari itu dia menerima tawaran dari orang asing untuk merayakan ulang tahunnya.
Saat Cecil berada di kamarnya, terdengar teriakan-teriakan mamanya di lantai satu. Sepertinya orang tuanya bertengkar karena keputusan yang di ambil oleh Cecilia barusan.
Cecil tidak menghiraukannya dan meraih ponselnya.
Cecil to Genk Suka2
[Gue pamit, start from now on, nama gue Cecilia aja. No Arta No Pujantara]
[Take care kalian semua]
Cecil out
Cecil mencabut kartu teleponnya dan meletakkan semua fasilitas yang di berikan orang tuanya padanya di atas tempat tidur. Cecil mengepak beberapa pakaian dan sengaja membawa beberapa tas mahal yang dia punya. Dia akan menjualnya nanti entah dimana. Lalu dia mengambil boneka anjing yang dia letakkan di atas nakas samping kasurnya. Orang-orang pasti berpikir itu hanya boneka anjing biasa, tidak tahu bahwa di dalamnya itu ada banyak uang. Cecil selalu rajin mengambil semua transferan orang tuanya. Seolah-olah dia menghabiskannya tapi ternyata dia menyimpan lebih banyak di sana.
"Sepertinya aku sudah punya firasat akan out dari sini, ternyata kau berguna juga anjiing!" ucapnya mengelus-elus kepala boneka itu.
Beberapa uang cash yang asal letak di kamar itu dia pungut kembali bahkan uang dua ribuan juga di ambilnya.
"Setelah ini, aku akan menjadi tuna wisma, oh God. Mudah-mudahan barang-barang mewah ini laku di jual," ucapnya pada diri sendiri.
Dengan percaya diri dia turun sambil menyandang sebuah ransel besar, seperti orang yang sedang berencana naik gunung.
Tanpa menyapa orang tuanya yang masih beradu mulut, dia langsung menuju pintu dan keluar.
Berjalan hingga keluar gerbang dan mencari tukang ojek yang sudah pasti tidak akan ada mangkal di perumahan ini. Sungguh pekerjaan yang sia-sia celingak-celinguk kanan kiri.
"Otakku mungkin sudah geser, mana ada tukang ojek disini, Cecilia. Kalaupun ada itu pasti sudah pesanan orang lain. Kamu tidak punya ponsel lagi sekarang," sungutnya pada diri sendiri. Dalam hati dia menyesal kenapa harus menyerahkan mobil tadi. Kan bisa di bawa terus di jual, lumayan untuk tambahan biaya hidup.
Cecil berjalan menuju gerbang komplek, berharap di luar komplek ada ojek atau kendaraan lain yang bisa di tumpangi entah kemana.
Dengan tas besar di punggung, dia berjalan dengan cepat untuk menghindari pertemuan dengan salah satu penghuni komplek.
"Huh, ini kan udah malam Cil, pasti mereka udah pada rebahan bahkan udah ada yang ngorok mungkin," ucapnya lagi pada diri sendiri.
Saat dia sedang berjalan disini, dia tidak tahu saja bahwa genk suka2 nya sudah heboh karena kalimat pamit yang dia tinggalkan. Keempat temannya sudah saling tersambung dan membicarakan Cecilia.
"Aku kaget anjir saat baca chatnya, di tambah dia out dari group," ucap Ester.
"Nggak cuma loe, gue juga. Sekarang nomor nya malah nggak aktif. b******k juga si babii satu itu," ucap Ambar dengan satu ponsel lain menempel di telinganya. Mencoba dan mencoba terus menghubungi nomor Cecil yang sudah tidak aktif
Sementara Lia, dia sudah menangis. Sedih karena kehilangan temannya itu.
"Apa dia marah karena kita lupa rayain ultahnya semalam?" tanyanya pada teman-temannya.
"Nggak lah, dia kan nggak gitu orangnya. Lagian pas kita mau rayain dia yang hilang."
Banyak dugaan-dugaan dari teman-temannya hingga mereka menyimpulkan bahwa Cecilia mungkin sudah melewati batas tadi malam, akhirnya memilih menjauh. Mereka kenal betul dengan Cecilia yang suka mengambil kesimpulan atas suatu hal yang kemungkinannya sangat kecil.
"Coba telepon Eric!" seru Ambar.
Jika tidak ada di antara mereka berempat, Cecil pasti di rumah Eric. Dan terbukti walau mereka melakukan panggilan group. Eric tidak bergabung.
"Apa?" teriak Eric saat menjawab panggilan Riana.
"Santai aja lah, kenapa musti teriak-teriak. Loe kemana, lagi ngapain? Kok nggak ikut gabung di group?" tanya Riana.
"Gue lagi sibuk anjiing, matikan teleponnya, gue lagi nanggung!"
Klik
Ketiga orang yang tersambung di group itu tertawa melihat wajah Riana yang sepet sambil menyumpah serapahi Eric yang mereka duga sedang nananina.
Tak lama, Eric bergabung di group.
"Apa cerita?" tanyanya dengan santai sambil memantik mancis untuk membakar rokok yang terapit di bibirnya.
Terlihat wajah dan lengannya berminyak.
"Loe lagi work out, yah?"
"Ya, sisa lima dorongan lagi tadi pas Riana ganggu," jawab Eric santai.
"Jangan lupa pake pengaman!" canda Ambar.
"Ya, gue tahu! Nggak usah ngajarin. Kenapa kalian cariin gue?"
"Cecil hilang!"
"Maksudnya?"
"Keluar dari group setelah pamit, buruan baca chat di group!"
"Emang dia tulis apa lagi?" tanya Eric
"Ya itu aja, pamit dan keluar dari group!"
"Terus, kenapa gue harus baca lagi, kan kalian udah bacakan untuk gue,"
"Dia nggak ada di rumah loe?"
Eric menggeleng. "Nggak ada, Datangi ke rumahnya dulu. Tanya kenapa atau besok di sekolah aja. Kalian nggak rencana bolos lagi, kan besok?
"Nggak lah!"
"Bagus, besok kalian harus cerita juga, gimana perayaan ultah Cecil kemarin."
Dan akhirnya empat gadis belia itu menceritakan apa yang terjadi pada Eric.
"Menurut gue, dia mungkin ketahuan sama bonyoknya, mungkin dia di hukum. Gitu-gitu nggak di perhatikan, pasti ada suruhan orang tua untuk memata-matai kemana dia pergi. Loe-loe juga harus hati-hati. Siapa tau orang tua kalian juga ada nyuruh orang ngikutin kalian."
*****
Sementara itu,
"Maaf tuan, data dari laki-laki itu tidak dapat di lacak. Sepertinya tidak ada yang penting. Rekaman CCTV hotel juga tidak jelas menampilkan wajahnya." Laporan dari suruhan Hamid Pujantara.
Pujantara hanya mengangguk,
"Cari tahu kemana Cecil pergi!"
"Ponselnya mati tuan, dari hasil pelacakan ponsel, keberadaan nona Cecil ada di rumah tuan."
Mendengar laporan itu, Pujantara berjalan cepat ke lantai dua lalu membuka kamar Cecil. Disana istrinya duduk di lantai dan menyandarkan kepala di sisi kasur. Matanya bengkak dan memerah. Di atas kasur ada kartu atm, kartu kredit, ponsel dan kunci mobil Cecil. Pantas saja hasil lacakannya di temukan di rumah ini.
"Cecil sedang marah karena kita tidak mengingat hari ulang tahunnya, bukannya minta maaf kamu malah mengusirnya, semoga kamu puas," ujar Vetty dengan suara serak. Sejak kepergian anaknya tadi dia menangis di kamar ini. Kamar yang sangat jarang di masuki olehnya. Bahkan bisa berbulan-bulan tidak memasuki kamar itu lantaran lebih memilih sibuk di luar dan menyerahkan pengasuhan Cecil pada asisten rumah tangganya.
Tak ingin menciptakan pertengkaran lagi, tuan Pujantara meninggalkan kamar itu setelah mendapat jawaban atas laporan orangnya tanpa menjawab perkataan istrinya.
"Cari terus dan jika sudah ketemu, pantau apa yang di lakukan Cecil!" titahnya pada orang suruhan yang sambungan telepon nya masih terhubung.
Sementara di sebuah kamar apartemen di kota yang sama,
Layar laptop yang sedang menyala itu menampilkan angka-angka dan ada kedip-kedip merah di sana.
"Siapa kamu sampai ingin tahu data-data pribadiku?" gumam pria itu.