18. MENJAGA NONA KECIL MILIK JUAN

1654 Words
Cecil berjalan santai dengan kresek besar di tangannya. Itu adalah oleh-oleh cemilan yang dia beli saat liburan Nataru. Setelah tiba di kelas, dia memberikannya pada teman-temannya dan di sambut dengan riang. Mereka berebutan seperti takut tidak kebagian padahal Cecil membawa banyak. Cecil tersenyum melihat teman-temannya itu. Seperti inilah seharusnya para pelajar, kan? Berebut makanan seperti bocah. Bukan seperti Cecil dan geng suka-sukanya yang menjadikan club dan mal adalah tempat bermain. "Cil, loe bawanya kurang banyak, cuma ngotorin gigi gue aja, nih," keluh salah satu dari mereka. "Udah syukur gue bawain. Gue sampe kuras tabungan buat beli itu, monyet," balas Cecil. "Ntah. Emang lambung loe sebesar apa sih? Udah makan banyak juga masih bilang cuma ngotorin gigi. Harusnya loe terima kasih ke Cecil." Satu kelas akhirnya tertawa. Seharian mereka hanya datang duduk dan bercerita saja. Ada yang pulang karena malas sekolah. Ada yang tidur di kelas. Tidak ada guru yang masuk ke kelas, bahkan ke semua kelas dari kelas satu sampai kelas tiga. Alasannya, masih hari pertama sekolah dan masih dalam suasana tahun baru. Mungkin para guru-guru itu juga sedang menikmati cemilan khas tahun baru. Atau bahkan ada yang saling tuker cemilan barang kali. Cecil sudah mulai paham soal keseharian di sekolah ini. Dalam satu minggu, pasti ada yang bolong. Bahkan bisa bolong satu harian penuh. Jangankan pas hari pertama masuk sekolah seperti saat ini. Hari biasa aja bolong. Padahal minggu depan udah UTS atau UAS. Tapi anehnya, setiap siswa dari sekolah ini pasti lulus. Itu yang Cecil dengar dari teman-temannya. Dan jika ada lomba antar sekolah sekecamatan, sekabupaten atau seprovinsi. Tidak akan pernah ada perwakilan dari sekolah ini bahkan hanya di babak seleksi. Tidak ada anak petani, anak guru, anak pejabat disini. Semua sama anak bapak dan mama di rumah masing-masing. "Eh Cil, tadi gue sempat baca merek cemilan loe. Loe benaran dari danau toba?" tanya salah satu dari mereka. Namanya Maria Mercedes. "Iya, gue kesana liburan Nataru," jawab Cecil seraya menatap ponsel. Melihat konten-konten joget yang fyp. "Enak bangat loe. Gue dari dulu pengen kesana tapi nggak pernah kesampaian. Nataru pasti pulang ke kampung bokap gue. Bosan tiap tahun kesana." Maria membayangkan gimana rasanya naik kapal di danau. Dia sering melihat bocah-bocah melompat dan mengejar uang logam yang di lempar dari atas kapal oleh para penumpang. "Seru tahu. Ntar habis ujian kita kesana aja. Aku juga kurang puas. Cuma seminggu doang. Lagian mereka sibuk karena mau perayaan natal dan tahun baru." "Gue pasti nggak di kasih ijin sama bonyok gue. Gue udah di ulti tau. Harus masuk PTN. Udah cukup bonyok gue menderita dan malu karena gue di DO dari sekolah lama dan akhirnya berakhir disini." "Loe di DO juga? Kenapa?" tanya Cecil. Dia meletakkan ponselnya. Selama ini, dia melihat Maria orang yang kalem. Makanya dia sempat heran kenapa anak sekalem itu bisa ada disini. "Gue ketahuan ngerokok sampe tiga kali di roof top," jawab Maria enteng. "Cuma karena itu?" "Kampret, loe bilang 'cuma'. Sekolah gue sekolah swasta yang elit tadinya. Peraturannya ketat. Tapi gue malah dengan santainya ngerokok di roof top padahal udah kena SP2." Cecil mengubah posisi duduknya. "Jujur sama gue, nggak cuma karena loe ngebul, kan? Pasti ada yang lain. Gue juga dari sekolah swasta yang ketat peraturannya. Ada kok siswa yang ngerokok." Cecil sudah mencium bau-bau tak sedap dari toping cerita Maria. Iblis di hatinya sudah mulai tersenyum karena sudah menemukan satu teman yang bisa di ajak ke neraka. "Se-se-serius karena itu aja, sih," jawab Maria gelagapan. Cecil menatap Maria dengan tatapan tajam tapi bibirnya tersenyum Ini persis kayak orang yang mau hipnotis yah. "Jujur sama gue. Loe di DO pasti karena loe ketahuan cippokan, kan?" Wajah Maria langsung memerah. Dia menoleh ke sekeliling mereka. Untung tidak ada yang lain yang ikut nimbrung karena sibuk ghibah sana-sini. Dia menutup wajah sambil mengangguk. "Hampir make out," lanjutnya. "Anjir!" seru Cecil berdiri dan menggebrak meja. Yang lain sampai kaget dan menatap ke arahnya. "Hehehe, kami lagi cerita horor. Gue kaget," ucapnya sambil terkekeh ke arah teman-temannya. Cecil kembali duduk dan menyeret kursi lebih dekat ke Maria. "Serius loe hampir make out? Di roof top?" tanyanya hampir berbisik. Berani sekali ya. Ambar dan Armelia yang bokap mereka jadi donatur di sekolah juga nggak berani berbuat begitu. Walaupun dua orang itu yakin tidak akan di DO jika ketahuan. Maria mengangguk dan detik berikutnya pukulan pelan di kepalanya oleh Cecil. "Kurang ajar bangat loe. Berani sekali anjir. Itu sekolah Maria. Masa mau make out di sana? Emang loe nggak punya duit bayar hotel? Kan ada hotel murah-murah." "Salah gue, sih. Tapi Cil, waktu itu gue udah nggak tahan banget. Cowo gue ngerangsang gue terus," ucapnya makin menjadi. Maria kayaknya menemukan teman yang cocok untuk bercerita. Dia bisa lihat bahwa Cecil juga mungkin anak nakal yang di luar batas. Melihat dia tidak asing lagi dengan kata make out. Selama ini, Maria selalu memendam semuanya. Menahan mulutnya agar tidak bicara sembarangan pada teman-temannya. "Loe di DO karena apa?" tanya Maria. Dia harap dengan kasus yang sama. "Loe bisa jaga rahasia nggak?" tanya Cecil dan di jawab anggukan oleh Maria. "Awalnya gue nggak di DO. Tapi sekarang mungkin udah karena udah lebih dari tiga puluh hari nggak masuk," jawabnya lalu menarik napas sebentar. "Sebenarnya, gue kabur dari rumah. Gue berantem sama bokap gue dan gue di usir. " "Itu bukan kabur begoo. Kabur sama di usir itu beda." Kali ini Maria membalas pukulan di kepala Cecil. "Gue di usir karena ketahuan ke club dan hampir make out juga sama OTK," jawab Cecil ringan. Tidak ambil hati dengan ucapan Maria yang mengatainya begoo. "Gue marah dan pergi aja. Sembunyi disini. Dan masuk sekolah disini dengan bantuan money," Cecil berbisik di akhir katanya. Matanya mengarah ke seluruh kelas untuk mengawasi apakah ada orang yang menatap mereka atau tidak. Ternyata semua sibuk dengan urusan masing-masing kelompok. Bahkan ada kelompok perempuan yang main salon-salonan. Laki-laki jangan di tanya. Mereka lagi war dan di samping mereka ada asap dari rokok. "Loe bukannya anak pembokat? Seingat gue, loe bilang gitu pas baru masuk disini." "Nggak. Namanya juga lagi nutupin." "Gue udah yakin sih loe bukan anak pembokat. Sepatu dan tas loe harga jutaan, njir. Masih baru lagi. Nggak mungkin anak pembokat bisa beli. Nggak tau diri bangat nih perempuan, mak pembokat aja pake tas bermerek gitu, itu dulu pemikiran gue sama loe." Cecil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia kira udah kebohongannya udah sempurna. Malah ketahuan gegara tas dan sepatu. Dia memang sudah terbiasa dengan barang-barang branded seperti itu. Makanya pas mau beli sepatu kemarin itu, nggak tanggung-tanggung dia langsung masuk counter yang jual original. Jiwa orang kayanya sudah sangat melekat sekali sepertinya. "Jadi ortu loe tinggal dimana?" "Dekat sini juga. Tapi nggak mungkin nyari gue ke pinggiran kayak gini, kan? Pasti nggak nyangka mereka gue ada disini." Cecil benar. Malah orang tuanya mencari Cecil ke kota besar lainnya tapi gagal. Apalagi sekarang, makin nggak bisa lah. Data-datanya sudah di kunci oleh pria yang sedang fokus menatap layar laptop itu. Jika keluarga Pujantara menemukan Cecil ada di Parapat lewat no NIK nya. Bisa-bisa gadis itu akan di cari terus-menerus lewat NIK nya itu. Tidak apa-apa dia mengabulkan keinginan Cecil untuk menjauh dari orang tuanya. Anggap saja ini hadiah darinya. ***** Cecil ikut pulang ke rumah Maria. Ini kali pertama dia berkunjung ke rumah teman-teman sekolahnya. Biasanya dia akan mendekam di kamar kostan. Check out barang-barang murah di aplikasi belanja online karena gabut. Setelah sedikit basa-basi dan perkenalan yang penuh dengan kebohongan pada oran tua Maria. Cecil ikut ke kamar Maria. Dan dua orang itu melanjutkan cerita yang masih seputaran Cecil. "Jadi loe hidup mandiri disini?" "Ya," "Buset, loe pasti punya banyak tabungan makanya sanggup mandiri." "Ada, Banyak. tapi gue nggak pake. Kalo gue pake, entar ketahuan bokap gue. Di jemput paksa kesini. Gue nggak mau pulang." "Emang loe nggak kangen nyokap atau suana rumah loe?" "Kangen sih. Kadang gue juga nangis pas malam hari. Kangen pulang. Apalagi kalo hujan. Kamar kost gue sepi. Kadang disini mati lampu lagi. Udahlah gelap, panas lagi. Sumpah Mar. Rumah gue nggak pernah gelap karena mati lampu. Waktu itu gue kaget bangat sampe loncat dari kasur karena tiba-tiba hitam." Maria terbahak-bahak. Dia bisa membayangkan Cecil yang ketakutan. Pastilah pergi ke pojokan. "Gue ngeraba-raba sampe gue bisa ambil hempon gue. Loe pasti nggak percaya, semalaman gue duduk di pojokan dan yang gue lihat kayak banyak bayangan hitam ngelilingi gue." Siapapun yang sedang berada di kegelapan pasti bayangin itu lah, Cil. Namanya juga kita sedang ada di kegelapan. Gelap berarti hitam dong. Kita pasti seperti melihat bayang-bayangan hantu mendekat. "Hahahahaha, Loe emang benaran orang kaya, nyet. Disini udah makanan sehari-hari gelap-gelapan," ucap Maria. "Jadi loe bayar kost dan belik makan pake uang dari mana? Dari OTK kawan club loe itu?" "Nggak lah. OTK yah OTK. Gue nggak pernah ketemu lagi. Gue jual tas branded kesayangan gue. Dua sekaligus. Makanya gue masih bisa nafas sekarang ini." "Pasti mahal dong. Makanya loe masih santai. Masih cukup buat kuliah nggak?" Cecil menggeleng. Dia jual tasnya memang masih pada harga termasuk mahal. Tapi untuk bisa kuliah nanti, kayaknya nggak cukup deh. "Nggak cukup. Gue musti kerja kayaknya. Belum pengen gue pake uang bokap di rekening. Gue pengen buktiin kalau gue bisa tanpa uang dia," jawab Cecil. "Kalo gitu kita kerja aja, yuk. Ada tetangga gue yang buka cafe. Dia bilang bisa kerja part time. Kita ambil yang sore sampe malam." "Gue nggak punya KTP," "Gampang itu, minta tolong bokap gue aja. Bokap gue kerja di kantor camat." "Yuk lah kuy. Gue mau." Sementara itu, ada seorang wanita yang berpura-pura menjadi teman anak kost di kostan Cecil. Wanita itu menoleh ke arah kamar Cecil yang tertutup. Dengan dalih ingin mengikat tali sepatu yang lepas. Dia berjongkok dan dengan cepat melemparkan benda kecil dari sela pintu bawah Cecil. "Good job, Hannah," gumam wanita yang duduk santai di dalam kamarnya. Dia barusan mendapat info bahwa tugas yang dia berikan pada seorang gadis bernama Hannah sudah beres. "Mari kita lihat, bagaimana kehidupan gadis kecil tuan Juan Reynold ini."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD