12. HAL YANG SEHARUSNYA

1069 Words
"Buset, kenapa tidak ada yang cocok, sih?" sungut gadis itu seraya mengaduk-aduk lemari kayu kecil yang di sediakan pemilik kos-kosan itu. Walaupun hanya lemari kecil, tapi masih ada space yang kosong saking tidak adanya pakaian yang Cecil bawa saat keluar dari rumah. Hanya membawa beberapa potong pakaian demi bisa memuat beberapa tas dan juga barang-barang berharga lainnya. "Udah sikit, semua yang mahal-mahal lagi. Nanti mereka pada nggak percaya dong, gue anak orang kismin, huff, lanjutnya seraya berkacak pinggang. Teman-teman baru Cecil di sekolahnya mengajak untuk hang out di malam minggu. Hanya minum es kopi di cafe pinggiran yang dulu jarang di injak oleh Cecil karena lebih doyan ke klub dan joget-joget tak jelas. "Mau ke pasar tapi nggak tau pasarnya dimana. Mau ke mall juga nggak tau di mana. Takut juga keberadaan gue bocor ke orang-orang tuan Pujantara yang kaya raya itu." Cecil sedikit menyesal pindah hanya berjarak beberapa ratus kilo meter aja. Seharusnya keluar pulau atau ke luar negeri sekalian. "Heh, luar negeri pantaat loe. Uang dari mana?" Kalo ada sudy alias sugar daddy kaya raya ya baru bisa ke luar negeri. Pinomat ke Singapore atau Kuala Lumpur lah tergantung servise. Akhirnya gadis remaja itu mengambil ponsel dan melakukan pembelian melalui online shop di salah satu e-commerce yang merakyat. "Akhirnya derajat loe anjleb juga, Cil. Pake baju tiga puluh ribuan bahkan lima belas rebu, ck ck ck," decak Cecil mengejek dirinya sendiri. Mudah-mudahan badannya tidak gatal yah karena memakai pakaian murahan. Selama ini pakaian rumahannya bahkan piyama tidurnya juga selalu bermerek. Di beli dari toko terkenal di super market. "Buset, dulu semahal ini hanya sepotong kaos gue, sekarang gue bisa beli setengah lusin piyama, hahahaha." Tawa Cecil menggema di dalam kamarnya. Kalau begini, bisa-bisa uang penjualan tasnya akan bertahan lebih lama lagi. Akhirnya, gadis itu mencari beberapa barang lainnya dan langsung melakukan pembelian tanpa perlu mikir dua kali. Dengan riang dia berseru dan berkata bahwa dirinya kini sudah lebih bahagia dari sebelumnya. Sementara itu, Di rumah besar berlantai tiga itu. Wanita yang selama ini selalu pulang tengah malam, selama satu bulan ini selalu pulang tepat waktu seperti para pekerja lainnya. Wanita itu berharap putrinya kembali di sore hari. Dan dia berencana akan meminta maaf dan berjanji akan lebih meluangkan waktu untuk anak gadisnya itu. "Sayang, pulanglah! Mama kangen," ucap wanita itu sendi. Jika Cecil mendengar itu, sudah pasti dia akan tertawa terbahak-bahak. Merindukan katanya? Helloww, selama ini kemana aja? Entah kenapa, tuan Pujantara juga mengurangi kesibukannya hari ini. Jujur dia akui ada sedikit penyesalan karena memberi pilihan sulit bagi putri remajanya yah sedang transisi dari masa remaja ke dewasa. Otomatis moodnya pasti gampang banget rusak. Apalagi putrinya itu sedang kesal saat itu. Bukannya minta maaf dan tanya kenapa dia ke klub bersama pria asing dan sejauh mana Cecil berjalan. "Gimana? Apa ada perkembangan?" tanya Vetty pada suaminya Hamid. "Belum, masih tetap di usahakan," jawabnya pelan. "Sudah satu bulan Hamid. Apa kamu tidak bisa menyuruh lebih banyak orang? Sudah satu bulan. Dia makan apa di luar sana? Dia tidak membawa atm dan kartu credit." Itu yang di sesalkan Hamid Pujantara. Jika Cecil membawa kartu debit dan kartu kreditnya, sudah pasti bisa di lacak keberadaannya melalui transaksi kartu ya. "Oo putriku yang malang, hiks hiks hiks," isak Vetty. Penyesalan memang selalu datang terlambat yah, jika tidak ada kejadian ini, pasangan itu pasti belum sadar kekurangan mereka pada anak-anak terutama Cecil anak perempuan mereka yang masih tinggal dengan mereka. Entah kemana Cecil pergi, anak buah tuan Pujantara sudah lelah mencari. Bahkan ke sekolah juga. Tapi info dari pihak sekolah, Cecil sudah tidak masuk sekolah lebih dari dua minggu berturut-turut tanpa pemberitahuan. Maka dengan itu, pihak sekolah sudah mengeluarkan surat drop out untuk anak itu. Teman-teman Cecil juga menyerah. Sudah cari kemana-mana tetapi tidak menemukan dimana Cecil. "Mama harap kamu baik-baik saja, Sayang. Segeralah pulang jika sudah tidak marah lagi." **** "Cil, loe beneran anak pembokat?" "Iya, bener. Kenapa emang?" jawab Cecil santai. Dia dan teman-temannya yang sudah berjanji kapan hari itu untuk nongkrong akhirnya jadi juga. Mereka minum kopi di cafe pinggir jalan yang lebih luar out door dari pada indoor nya. "Nggak mirip loh." "Tau dari mana? Kan loe nggak kenal bokap nyokap gue. Gimana bisa bilang nggak mirip atau mirip." "Bukan muka loe maksud gua. Sikap dan pembawaan loe nggak menunjukkan loe anak pembokat." Cecil tertawa, ternyata orang-orang ini memperhatikan dirinya selama ini. "Heh, kalian semua pasti iri karena kecantikan gue, kan?" batin Cecil pongah dan sombong. "Emang anak pembokat gimana dan anak majikan gimana?" tanya Cecil penasaran. "Loe beda aja sih kalo kata gue. Gue nggak bisa bilang bedanya gimana, tapi gue bisa ngerasain perbedaannya." "Loe kebanyakan nonton drakor. Kalo soal beda-beda yang loe bilang. Bisa jadi iya. Karena gue dulu tinggal di rumah majikan dan gue udah si anggap kayak anak sendiri karena anak-anak majikan nyokap gue udah pada gede." Karangan bebas yang di buat dalam tempo sesingkat-singkatnya nyatanya mampu menyelamatkan Cecil. Cecil dan teman barunya menghabiskan weekend hingga larut malam. Dari dua circle ini, Cecil bisa merasakan begitu banyak perbedaan. Dia dan sahabatnya berasal dari keluarga kalangan atas tapi kurang perhatian sehingga mencari kesenangan untuk menutupi rasa kekurangan di dalam diri mereka. Bergaul bebas tanpa batasan bahkan masih SMA saja sudah tau nama berbagai club dan juga nama-nama sajian yang ada di dalam club. Sudah tahu sugar daddy bahkan cara memuaskannya. Temannya yang sekarang, walau nakal bahkan hingga sekolah di sekolah 'asal jadi' tapi mereka masih punya batasan. Menghabiskan waktu hingga larut di luar tapi tempat yang di pilih malah cafe pinggir jalan yang setiap weekend mengundang para stand up lokal untuk tampil. "Gengs, di lapangan dekat rumah gue ada pasar malam. Kalian mau coba nggak?" Akhirnya dari cafe, mereka berangkat bersama-sama ke pasar malam itu. Disan mereka menghabiskan banyak waktu dan mencoba berbagai arena permainan dan wahana-wahana. Mulai dari wahana anak-anak hingga wahana dewasa. Malam ini, Cecil benar-benar melupakan dari mana ia berasal. Saat mencoba wahana ekstrim, Cecil berteriak seperti yang lainnya. Dia menangis karena bahagia sekaligus sedih. Bahagia karena bisa melewati masa muda seperti ini. Masa-masa yang memang harus di rasakan saat SMA. Sumpah demi apapun, ini pertama kalinya bagi Cecil pergi ke pasar malam. Selama ini, jika ingin menikmati permainan seperti ini, dia dan para sahabatnya memilih bolos sekolah lalu pergi ke taman bermain yang harus di bayar dengan tiket mahal. Sekarang, hanya modal lima puluh ribu sudah bisa naik banyak wahana. "Mama, Papa, this is the world you both should show me."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD