Dan Sakura hanya terdiam mendengar semua omelan yang keluar dari mulut Hiro.
“Paman! Sebaiknya Paman jangan menghakimiku seperti itu jika Paman tidak tahu tentang kondisi keluargaku. Kami butuh uang dan hanya ini cara satu-satunya yang bisa aku lakukan untuk meringankan beban Bapak,“ ucap Sakura bertub-tubi membuat Hiro sampai menolehkan kepala pada gadis muda di sampingnya ini.
“Sakura, jangan berbicara seperti itu padaku. Bahkan aku lebih dari pada tahu bagaimana kondisi keluargamu. Sepertinya memang aku perlu berbicara pada Pak Umar. Aku tak akan membiarkanmu menanggung beban hidup keluargamu. Semua karena salahku. Sebab akulah Pak Umar tak lagi dapat bekerja dan menafkahi kalian. Jadi di sini akulah yang seharusnya bertanggung jawab atas beban hidup keluarga kalian.“ Kali ini yang ada dalam benak Hiro adalah akan memaksa Pak Umar agar mau menerima bantuannya.
Sakura terdiam. Terlalu sulit mencerna apa yang Hiro sampaikan. Memilih diam dan tak berkata apa-apa lagi hingga mobil yang dikendarai Hiro berhenti di depan halaman rumahnya yang sempit.
Sakura pikir, Hiro hanya akan menurunkannya lalu pergi meninggalkannya. Namun, perkiraan Sakura salah. Saat Sakura turun dari dalam mobil, Hiro pun ikut turun. Membuat Sakura mengernyitkan keningnya.
“Paman kenapa ikut turun?” tanya Sakura pada Hiro yang berjalan sejajar dengannya.
Bukannya menjawab pertanyaan Sakura, justru pandangan mata Hiro menatap Pak Umar yang berada di ambang pintu rumahnya sedang duduk di atas kursi roda.
“Aku akan bertemu dengan Pak Umar,” jawab Hiro tanpa menoleh pada Sakura.
Sakura mengernyit lalu menoleh ke arah pintu rumahnya yang kini terbuka. Tampak bapaknya sedang memperhatikannya dari ambang pintu masuk.
Sakura melangkah meninggalkan Hiro, gadis itu berlari kecil menghampiri bapaknya. Lalu berjongkok di sisi kursi roda bapaknya dan mengulurkan tangan, mencium puggung tangan bapaknya dengan khidmat.
“Baru pulang?” tanya Pak Umar pada putrinya.
“Iya, Pak.“
“Hiro ... kenapa bisa bersama Sakura?” tanya Pak Umar pada pria yang berdiri menjulang di hadapannya. Beliau juga tak menyangka jika putrinya pulang bersama lelaki yang telah menabraknya.
Sakura menoleh ke belakang, ternyata Hiro sudah berdiri di belakang tubuhnya.
Hiro hanya tersenyum. Lalu Pak Umar kembali berkata, “Ayo, silahkan masuk.“
“Apa tidak masalah saya bertamu malam-malam begini, Pak?“ tanya Hiro memastikan. Karena dia merasa sungkan jika bertamu ke rumah orang malam hari seperti ini.
“Tidak. Tidak masalah. Ayo masuklah!“
Sakura berdiri dan mendorong kursi roda bapaknya, membawa masuk ke dalam ruang tamu.
Hiro pun mengikuti dari belakang dan duduk di salah satu kursi yang sudah usang.
“Sakura, ambilkan minum untuk tamu kita.“
"Baik, Pak."
Sakura mengangguk lalu masuk ke dalam rumah.
“Hiro, kenapa bisa bersama Sakura tadi?“ tanya Pak Umar lagi karena pertanyaannya yang tadi belum dijawab oleh Hiro.
“Saya tak sengaja bertemu Sakura di resto tadi. Jujur, saya kaget mengetahui Sakura bekerja di sana sampai malam hari seperti ini,” jawab Hiro jujur dengan kenyataan yang baru dia ketahui hari ini.
Pak Umar menunduk, seolah menyembunyikan raut kesedihan di wajahnya.
“Pak!” Panggil Hiro pada Pak Umar membuat lelaki paruh baya itu kembali mendongak.
“Kenapa Bapak membiarkan Sakura bekerja? Padahal seharusnya tugas Sakura itu sekolah, bukan bekerja?”
Pak Umar terdiam tak sanggup menjawab pertanyaan Hiro.
“Jika Sakura bekerja untuk membantu Bapak mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, kenapa Bapak harus menolak bantuan saya?“
Pak Umar menghela napas. Pandangannya menerawang sembari berkata, “Hiro, seperti yang sudah Bapak katakan padamu kemarin. Mengenai keluarga Bapak, itu bukan lagi tanggung jawabmu, tapi tangung jawab Bapak sendiri sebagai kepala keluarga.”
“Tapi kenapa Bapak harus mengorbankan Sakura?”
Pak Umar terdiam. Merasa bersalah sebenarnya karena telah membiarkan Sakura bekerja hingga pulang larut malam seperti ini.
“Pak Umar! Apa yang harus saya lakukan agar Bapak mau menerima bantuan saya?”
Lagi, Pak Umar terdiam. Tidak tahu harus mejawab apa.
“Apakah saya harus menjadi bagian dari keluarga Bapak, agar saya bisa membantu Pak Umar beserta keluarga?”
“Maksud Hiro apa berbicara seperti itu?”
Hiro sudah akan menjawab tapi ia urungkan karena kini Sakura datang dengan membawakan minuman untuknya dan Pak Umar.
“Ayo, Silahkan Hiro. Minumlah!“ pinta Pak Umar.
“Terima kasih.“
Setelah mengantarkan minuman, Sakura kembali masuk ke dalam rumah. Hiro sempat menatap punggung gadis itu. Terbesit di benaknya akan sesuatu.
Hiro menyesap minumannya, lalu kembali menatap Pak Umar.
“Pak Umar, Jika perlu, saya akan menikahi Sakura. Agar saya punya tanggung jawab menafkahi Sakura dan keluarga Bapak.“ usul Hiro di luar dari pemikiran sebelumnya.
Entahlah apa yang membuat Hiro sampai mengucapkan hal itu. Semua hanya spontanitas. Apa yang terlintas di benak Hiro saat itu, segera Hiro utarakan begitu saja pada Pak Umar.
Tentu saja Pak Umar terhenyak dengan ucapan Hiro.
“Hiro ....” hanya itu kata yang mampu Pak Umar suarakan.
“Saya serius, Pak Umar. Dan saya tidak main-main dengan ucapan saya barusan. Saya akan sangat merasa bersalah jika harus melihat Sakura bekerja setelah pulang sekolah dan selarut ini baru pulang ke rumah.“
Pak Umar diam membisu tak mampu berkata apapun.
“Ijinkan saya menikahi Sakura, Pak.“ Kali ini Hiro benar-benar harus memohon agar Pak Umar setuju.
"Tapi Hiro, Sakura ini masih sekolah."
"Itu tidak menjadi masalah, Pak. Saya hanya akan menikahi Sakura dan tak akan menuntut apapun mengenai hak dan tanggung jawab Sakura."
Hiro menjeda ucapannya.
"Sakura masih bisa sekolah seperti biasanya. Dan saya tak akan mengganggunya. Saya menikahi Sakura hanya supaya saya mempunyai tanggung jawab pada Sakura dan Bapak sekeluarga. Saya mohon tolong terima bantuan saya, Pak Umar."
"Hiro, kenapa kamu begitu baik pada kami sekeluarga. Entahlah, Bapak tak tahu lagi harus membalasnya seperti apa. Dan mengenai tawaranmu tadi, Bapak akan coba membicarakan hal ini pada Sakura. Karena bagaimana pun ini menyangkut diri Sakura. Bapak tidak bisa memutuskan sepihak."
"Tidak apa-apa Pak. Silahkan Bapak bicarakan dulu dengan Sakura." Hiro tersenyum, setidaknya Pak Umar tidak menolak tawarannya. Dalam hati Hiro berharap agar Sakura juga tidak menolak.
"Baiklah, Hiro."
"Saya berharap akan mendapatkan kabar baik dari Bapak dan juga Sakura. Dua hari lagi saya akan kembali ke rumah ini untuk meminta jawaban dari Pak Umar dan juga Sakura."
"Baiklah ,Hiro. Bapak akan mencoba membicakan hal ini pada Sakura."
"Semoga saja jawaban baik yang saya terima. Kalau begitu saya permisi pulang dulu, Pak."
Pak Umar mengangguk lalu menatap punggung Hiro yang keluar dari dalam rumahnya. Setelah kepergian Hiro, Pak Umar berpikir keras bagaimana caranya membicarakan hal ini pada Sakura karena ini adalah keputusan tersulit yang harus Pak Umar ambil.
Pak Umar berharap semoga Sakura tidak salah paham dengan niat baik Hiro pada keluarganya.