Dua

1003 Words
Seorang pria berjas putih keluar dari ruang operasi diikuti oleh seorang suster. Hiro yang tadi sempat khawatir mencari cara bagaimana dia akan menghadapi gadis itu, segera berdiri dan menghampiri dokter beserta suster. Isteri Pak Umar juga Sakura, melakukan hal yang sama. "Keluarga Bapak Umar Ibrahim?" tanya Dokter. Istri pak Umar yang berdiri di samping Hiro mengangguk. "Saya istrinya, Dokter. Bagaimana kondisi suami saya?" tanya istri Pak Umar dengan penuh kecemasan dan kekhawatiran. "Syukur Alhamdulillah operasi berjalan lancar. Hanya saja, Pak Umar masih belum siuman. Jadi, masih belum bisa dilihat. Mungkin kita tunggu satu jam lagi." Penjelasan dokter diperhatikan dengan seksama oleh mereka bertiga. Tampak kelegaan di wajah istri Pak Umar karena mendapati suaminya selamat dari tragedi kecelakaan itu. Jujur, wanita paruh baya itu sempat berpikir yang bukan-bukan. Takut jika terjadi sesuatu hal yang tak diinginkan pada suaminya. Suami yang menjadi tulang punggung keluarganya. "Ibu ...." Sapuan lembut tangan Sakura di bahu sang ibu, membuat wanita itu mendongak menatap putri pertamanya. Tanpa kata mereka berdua saling pandang lalu kemudian mereka berdua berpelukan, saling menguatkan. Hiro yang melihat pemandangan itu, menunduk lalu meraup wajahnya. Penyesalanlah yang sedang lelaki itu rasakan saat ini. Seandainya dia tidak membuat celaka Pak Umar, pasti kedua wanita di hadapannya ini tak akan sesedih ini. Hiro menyesal, sangat menyesali perbuatannya meskipun tragedi kecelakaan itu tanpa ia sengaja. Tapi tetap saja dirinya merasa sangat bersalah. ****** Hal pertama yang Hiro lakukan kala mendapati Pak Umar Ibrahim siuman adalah meminta maaf yang sebesar-besarnya pada lelaki paruh baya itu. "Pak, Maafkan saya karena telah membuat Bapak seperti ini." Pak Umar melihat lelaki yang berdiri disampingnya dengan kening berkerut. Beliau tidak mengenali lelaki ini. Seolah Hiro paham dengan apa yang ada dalam pikiran Pak Umar, lalu Hiro kembali berucap. "Saya Hiro, saya yang telah menabrak Bapak." Pak Umar terhenyak, jadi ini orang yang sudah menabraknya. Ah, Pak Umar tidak mengetahuinya karena setelah kejadian kecelakaan itu, beliau langsung pingsan tak sadarkan diri. Pak Umar tersenyum tipis. "Jangan merasa bersalah. Semua ini adalah musibah," ucap Pak Umar sangat lirih. "Tapi saya telah membuat Bapak celaka." "Hiro, semua yang telah terjadi pada saya itu sudah digariskan oleh Yang Mahakuasa. Saya tidak akan menyalahkanmu dalam hal ini. Karena mungkin, saya sendiri juga yang salah. Sudahlah jangan pernah menyesali seuanya yang telah terjadi." "Terima kasih, Pak." Hiro tak tahu lagi harus berkata apa. Pak Umar dan keluarganya begitu baik kepadanya. Dan Hiro berjanji akan bertanggung jawab dengan semua yang telah ia perbuat. *** Satu minggu sudah Pak Umar dirawat di rumah sakit. Dan selama satu minggu ini Hiro tak pernah absen mengunjungi Pak Umar. Setiap hari Hiro akan datang entah membawakan makanan atau membawa segala sesuatu yang Pak Umar dan istrinya butuhkan. Semua biaya rumah sakit Hiro yang menanggungnya. Hiro harus bersyukur karena keluarga Pak Umar adalah keluarga yang sangat baik. Mereka tidak menuntut juga tidak pernah menyalahkan Hiro atas semua yang terjadi. Padahal dokter telah memvonis Pak Umar mengalami kelumpuhan. Hiro yang mendengar penjelasan dokter begitu shock. Namun, lihatlah bagaimana Pak Umar dengan tegarnya menerima semua kondisi yang menimpanya saat ini. Hiro tak tahu lagi harus berkata apa. Hanya perhatian yang bisa Hiro berikan pada Pak Umar beserta istrinya. Anak Pak Umar yang bernama Sakura, hanya gadis itu yang begitu tidak menyukainya. Gadis itu selalu melayangkan tatapan tidak suka jika mendapati Hiro sedang berada di dalam kamar rawat inap bapaknya. Seperti siang ini, Hiro sedang menjenguk Pak Umar. Mereka terlibat obrolan ringan. Hanya mengobrol seputar pekerjaan Hiro, saat Sakura membuka pintu kamar rawat inap bapaknya. Hiro mendongak menatap kedatangan Sakura. Sepertinya gadis itu baru saja pulang sekolah karena baju seragam masih melekat di tubuhnya. Rambutnya yang panjang tergerai begitu saja. Tak seperti biasanya yang dikucir ekor kuda. Sakura menatap keberadaan Hiro, lalu gadis itu membuang muka dan memilih berjalan menuju sofa. "Paman ngapain di sini?" tanya Sakura ketus pada Hiro. Pak Umar yang mendapati ada nada tidak suka Sakura pada Hiro segera menegur putrinya. "Sakura! Jangan berbicara seperti itu. Namanya tidak sopan. Hiro ini tamu. Dia sedang menjenguk Bapak di sini." "Tapi Paman ini yang telah membuat Bapak sakit." "Sakura, berhenti menyalahkan orang lain atas musibah yang menimpa Bapak." "Tapi memang kenyataannya seperti itu, kan, Pak? " Pak Umar sudah ingin menimpali perkataan Sakura, tapi Hiro sudah memegang lengan Pak Umar. Kepala Hiro menggeleng. "Pak Umar, Sakura memang benar. Memang saya yang salah." Pak Umar menghela napas. Beliau tahu jika Sakura sangat membenci Hiro. Padahal Pak Umar tidak pernah mengajarkan tentang dendam pada anak-anaknya. "Pak Umar, karena sudah ada Sakura di sini, saya pamit pulang dulu. Jika Bapak memerlukan sesuatu jangan sungkan untuk menghubungi saya."Ucapan Hiro diakhiri dengan senyuman. "Terima kasih banyak, Hiro." "Sama-sama, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu. Selamat siang." Hiro beranjak dari duduknya. Lalu menoleh sekilas menatap Sakura yang justru membuang muka enggan menatap kepadanya. Hiro paham jika Sakura membencinya. Dan Hiro tak mempermasalahkan hal itu. Karena Hiro akui dia memang salah. Lalu Hiro melangkah keluar dari ruang perawatan Pak Umar. Sepeninggalan Hiro, Pak Umar menatap putrinya sendu. "Sakura ... jangan bersikap seperti itu lagi pada Hiro. Bapak tahu kamu marah padanya karena Hiro telah menabrak Bapak. Tapi ... Kamu harus ingat Sakura. Ini semua musibah yang harus kita terima. Dan kebetulan saja Hiro-lah yang menjadi perantara atas musibah yang menimpa Bapak. Jadi, jangan lagi menyalahkan Hiro. Kita harus ikhlas menerima semua musibah ini, Sakura." Sakura hanya terdiam. Dia tidak tahu kenapa pikiran bapaknya begitu bijak. Bapak yang begitu baik. Padahal jelas-jelas orang itu telah mencelakai bapaknya hingga kondisinya menjadi lumpuh. Apa iya Sakura harus mulai berdamai dengan keadaan. Seperti Bapak dan ibunya yang juga berpikir bijak, tidak pernah menyalahkan siapa pun juga atas musibah yang telah menimpa keluarga mereka. Tapi apakah Sakura sanggup melakukan semuanya jika setiap bertemu dengan lelaki bernama Hiro emosinya selalu meledak-ledak. Andai saja lelaki itu tidak ngebut saat membawa mobilnya, mungkin saja bapaknya tidak akan tertabrak. Andai saja lelaki itu bisa mengerem kecepatan laju kendaraannya, mungkin saja kecelakaan itu tidak akan terjadi. Ah, Sakura pusing memikirkan semua ini. Semoga saja keadaan ini akan segera membaik lagi. Begitu pikir Sakura dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD