11. Sakit

1108 Words
Arya masuk ke dalam kamar setelah makan malam dan mengobrol bersama mama serta kakak perempuannya. Bahkan Alya juga sudah meninggalkan rumah setelah mendapatkan apa yang diinginkan. Hanya saja, Arya tidak melihat Safia lagi setelah tadi mondar-mandir memasak dan membersihkan rumah. Akan tetapi, Arya tidak melihat istrinya itu makan malam tadi. Begitu pintu kamar terbuka, yang Arya lihat adalah Safia yang sudah berada di atas ranjang. Meringkuk dengan berbalut selimut tebal. Dalam benak Arya berkata, tumben sekali Safia sudah pergi tidur padahal baru pukul sembilan lewat lima belas menit. Atau mungkin sengaja Safia meninggalkan dia tidur duluan untuk menghindarinya. Maklum, beberapa malam ini, Arya tidak dapat menahan dirinya untuk tidak menyentuh Safia. Akan sangat disayangkan jika Arya membiarkan Safia hidup tenang dan nyaman tanpa memberinya imbalan apa-apa. Arya menutup pintunya. Menuju ranjang mendekati Safia. Memastikan apakah Safia sudah benar-benar tidur. Arya duduk di pinggiran ranjang, tepat di sebelah Safia yang tidur dalam posisi miring. Arya memperhatikan lekat-lekat wajah Safia yang sialnya Arya akui memang cantik. Teramat cantik untuk golongan staff biasa di kantornya. Kulit putih mulus seolah Safia memang rajin merawat dirinya di salon kecantikan. Wajah yang juga mulus tanpa cela. Bahkan satu jerawat pun tak ada. Hidungnya mancung dengan alis yang tertata rapi bukan hasil sulam. Tampak alami dan ketika pandangan mata Arya tertuju pada bibir yang setengah terbuka, tak mampu lagi pria itu menahan gejolak di dalam dirinya. Dia memang tidak mencintai Safia. Tapi Arya menyukai semua apa yang ada di tubuh Safia. Lihatlah, hanya dengan memperhatikan Safia yang tidur saja, bahkan istrinya itu tidak melakukan apa-apa. Tapi mampu mematik gairah dan hasratnya sebagai seorang pria. "s**t!" Arya mengumpat. Membuang pandangan seraya mengusap kasar wajahnya. Inginnya, Arya meninggalkan Safia tapi justru tubuhnya yang tak mampu digerakkan dan kembali keinginan untuk menyentuh Safia tak mampu Arya enyahkan. Perlahan, tangan kekar itu terulur, menyentuh helaian rambut yang jatuh di wajah cantik wanita itu. Arya menyingkirkannya. Tangannya mengusap pipi mulus yang terasa begitu lembut. Bahkan Wila saja wajahnya tak semulus Safia. Karena wajah Wila masih sering ditumbuhi jerawat di setiap saat. Glek. Arya menelan ludah kasar ketika jari jemarinya mulai menyentuh bibir Safia. Ingin sekali Arya melahap habis bibir pink yang terasa manis saat dikecupnya. Safia, mulai merasa terganggu dengan sentuhan jari jemari Arya di wajahnya. Matanya mengerjab lalu perlahan terbuka meski terasa berat. Terkejut karena Arya berada begitu dekat dengannya. "Mas," cicitnya dengan suara lirih menahan kelopak mata yang enggan dibuka. Tak ada kata yang Arya lontarkan seperti biasa. Tapi dari gelagat Arya, Safia bisa tahu apa yang ingin dilakukan oleh suaminya itu. Wajah Arya makin mendekat. Baru saja akan menggapai bibir pink pucatnya, ketika Safia begitu saja memalingkan wajahnya. Arya menggeram. Tanpa menjauhkan wajahnya, pria itu berkata, "Kau berani menolakku, Safia!" "Mas, aku ...." Arya tidak mau mendengar apapun alasan istrinya. Ia cengkeram dagu Safia, membawanya agar dapat menatapnya. Safia tak ada tenaga untuk menolak ketika dengan rakus Arya melahap bibirnya. Menciumnya dengan penuh nafsu. Safia hanya bisa melenguh. Menahan nyeri di kepala juga kebas pada bibir yang dikuasai oleh Arya. Sebenarnya, Arya merasakan hawa panas dari napas Safia, juga tubuh wanita itu yang terasa hangat tidak seperti biasanya. Hanya saja, pria itu terlalu abai pada kondisi tubuh istrinya. Arya tetap menggagahi Safia dengan mengerahkan semua tenaga yang ia punya. Tak peduli sekalipun Safia tidak memberikan reaksi apapun juga dengan setiap sentuhan serta rangsangan yang Arya berikan hingga pria itu mencapai pelepasannya. Arya berguling di samping tubuh istrinya. Dan seperti biasa, pria itu langsung jatuh tertidur dengan posisi tengkurap dengan lengan kekar sebagai bantalan kepala. Safia, tidak ada tenaga untuknya bangun dan membersihkan diri. Arya membuatnya makin tak berdaya. Menarik selimut membungkus seluruh tubuhnya dan hanya menyisakan kedua matanya yang terpejam hingga ia pun terlelap dengan tubuh yang masih polos tanpa mengenakan kembali pakaiannya. ••• Dini hari, hawa semakin terasa dingin membuat tidur Arya sedikit terganggu lantaran punggungnya yang tidak tertutup selimut terkena terpaan angin dari air conditioner yang menyala. Arya menggeliat lalu mengubah posisi tidurnya. Saat itulah sayup terdengar di telinga suara rintihan seseorang. Kepalanya menoleh ke samping, tepat pada keberadaan istrinya. Arya mencoba fokus untuk memperhatikan Safia dengan memaksakan matanya untuk terbuka. Benar, Safia lah yang sedang merintih seolah sedang kesakitan. Bahkan ketika Arya perhatikan lagi, tubuh Safia menggigil. "Fia!" panggilnya, akan tetapi tidak mendapatkan respon juga. Arya bangkit dari berbaringnya, menyentuh tangan Safia yang mencengkeram selimut ... panas. Ada kepanikan mengetahui Safia sedang tidak baik-baik saja. Untuk memastikan, Arya meletakkan punggung tangannya di dahi Safia dan suhu panasnya makin terasa. Panik. Arya mencari-cari bajunya lalu memakainya cepat. Menyingkap selimut yang membungkus tubuh istrinya. Arya terkejut melihat penampakan Safia yang tidak memakai baju. Arya ingat akan pergulatannya semalam dengan sang istri bahkan Arya mengabaikan ketika menyadari Safia sedang tidak baik-baik saja. Jakun Arya naik turun hanya melihat tubuh polos yang makin meringkuk karena selimut yang disingkirkan olehnya. 'Ini bukan waktunya untuk bernafsu pada Safia, Arya!' batinnya mengingatkan. Kepala Arya menggeleng-geleng lalu membantu Safia untuk berpakaian. Setelahnya kembali ia selimuti. Arya membuka laci yang biasanya dia menyimpan obat-obatan di sana. Setelah menemukan apa yang dia cari, Arya meraih gelas air putih. Duduk di samping Safia. Menepuk pipi istrinya agar bangun dan membuka mata. "Safia, hei! Ayo bangun. Minum obat. Kamu demam." Safia melenguh menahan nyeri pada kepalanya yang juga terasa berat. Matanya pelan-pelan ia buka karena guncangan di tubuhnya yang Arya lakukan. "Bangun dan minum obatnya." Safia menurut karena saat ini dia memang sedang membutuhkan obat penurun demam dan juga penghilang nyeri kepala. Dengan dibantu oleh Arya, Safia beringsut bangun. Bersandar pada kepala ranjang. "Buka mulutmu!" perintah Arya dituruti oleh Safia. Arya memasukkan obat ke dalam mulut istrinya, menyodorkan air putih yang langsung diteguk oleh Safia. Wanita itu tersenyum dengan perhatian Arya. "Terima kasih, Mas." "Lain kali jangan suka merepotkan orang lain. Sudah, sana tidur! Jangan sampai besok pagi kamu masih juga tidak kuat bangun lalu kembali merepotkan semua penghuni rumah ini." Gelas bekas minum Safia, Arya letakkan kembali di atas nakas. Arya membantu Safia berbaring kembali lalu menyelimuti tubuh wanita itu. Safia tidak menjawab dan memilih memejamkan matanya. Safia sempat terharu dengan perhatian yang Arya berikan. Namun, ujung-ujungnya perkataan Arya juga tetap saja menyakitkan. Pergerakan dari kasur di sebelahnya, membuka sedikit mata Safia. Memperhatikan Arya yang kembali berbaring memunggunginya. 'Apa yang kamu harapkan darinya, Safia! Perhatian? Atau kasih sayang?' Batin Safia memprotes dengan semua sikap serta perilaku Arya. Setidaknya Arya khawatir melihatnya sakit. Itu yang Safia harapkan. Tapi ternyata Arya biasa-biasa saja. Bahkan tidak segan menidurinya. Safia berpikir kembali jika keberadaannya di sisi pria itu hanya untuk dimanfaatkan saja. Namun, mau bagaimana lagi. Safia cinta Arya. Capek berharap, perlahan kelopak mata wanita itu kembali tertutup. Tak butuh lama untuknya dapat kembali tertidur.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD