"Bah! Itu kau, Maruap!" ujar Togar terpingkal-pingkal saat mendengar Maruap menceritakannya mimpinya beberapa hari yang lalu.
Maruap masih tinggal di rumah pamannya, Tulang Hinsa. Cobaan demi cobaan ia harus lewati. Segala keanehan telah menjadi santapannya pagi, siang, dan malam. Macam-macam saja yang ia harus alami. Dia tak mengerti ini semua harus terjadi karena apa. Benarkah karena hubungannya dengan perempuan Belanda bermata hijau dan berambut pirang tersebut? Atau, ada sebab lainkah? Yang Maruap tahu, jalan hidup harus seterjal ini semenjak memulangkan Sylvie ke rumah keluarga Van Weiderveld.
Menurut Togar, segalanya itu bukan karena hubungan istimewa Maruap dengan Sylvie. Bukan, bukan itu titik persoalannya. Ada lagi penyebabnya. "Nanti kau akan tahu sendiri, Bah!" jawab Togar. "Yang jelas, roh kau itu sungguh kuat sekali. Tak ada roh sekuat kau di antara pemuda-pemuda di Sungai Asahan. Aku saja kalah sama kau kalau soal batin-batinan. Dan, satu lagi, itu semacam keistimewaan dari para Debata di banua ginjang. Mungkin saja kau itu titisan Debata." Begitu, tutur Togar masih sembari tersenyum-senyum sendiri, sementara Maruap malah sangat bengong.
Pusing kepala Maruap. Sekarang yang bikin pusing kepalanya itu mimpinya itu. Di mimpinya, ia kaget pula, ada dirinya yang tengah diikat banyak tali. Tali itu mengikat leher, kedua tangan, kedua kaki, dan salah satu ujung rambutnya. Tiap ikatan dari tali-tali tersebut sangat menyiksanya. Beberapa kali dirinya yang lain meronta kesakitan. Maruap lainnya itu meraung-raung seperti singa yang masuk perangkap. Banyak yang mau menolong. Namun tiap yang mau menolong itu harus melawan pula para pengikatnya. Salah satunya, Pak Ramli, ayah kandung dari Maruap. Beberapa malah berkata, "Habis kurang ajar. Ganjaran anak durhaka, yah seperti itu. Rohnya kita ikat sampai gila dan mati. Makin bodat (monyet, red) si Maruap ini."
Maruap tak habis pikir. Sejak kecil sampai sekarang, rasa-rasanya ia tak pernah coba menjadi anak durhaka. Sebisa mungkin dirinya selalu respek terhadap orangtua. Nama keluarga Siagian selalu ia junjung tinggi. Sejak kecil pula, jika ada yang menjelek-jelekan nama Pak Ramli, Ibu Siti, dan keluarga Siagian lainnya, Maruap akan tempeleng habis-habisan orang tersebut. Ia bikin bonyok wajah orang itu. Di mana letak durhakanya? Apa karena hubungan Maruap dengan perempuan Belanda itu? Bukan salah Maruap jika bisa seintim itu dengan Sylvie. Selain ke Ibu Siti dan Tulang Hinsa, Maruap belum cerita selengkapnya soal segala mimpi dan keanehan sebelum berjumpa dengan Sylvie.
"Aku rasa masalahnya bukan sekadar hubungan kau dengan Sylvie. Kau sama Sylvie, seperti yang kubilang sebelum aku meninggal, hubungan itu keramat. Dari para Debata langsung. Termasuk soal keyakinan baru kau itu. Aku tahu kau sudah hilang antusias sama adat kita. Kau sudah mulai tahu, sebagian besar keliru dan malah tak manusiawi. Sebagai gantinya, kau lebih menekuni keyakinan baru kau pada Debata gondrong tersebut. Siapa namanya?"
"Jesus, Bang." jawab Maruap masih tanpa senyum. Dia masih tegang.
"Yah, si Jesus itu," Togar nyengir lebar. "Aku tahu kau sangat antusias mengenal pribadi Jesus dan bundanya itu. Cara kau berdoa juga perlahan mulai berubah. Kau tak lagi sembunyi-sembunyi seperti kebanyakan suku kita."
Kemudian hening sejenak. Maruap makin tegang. Namun perlahan dirinya mulai angkat bicara, "Lalu, soal mimpiku itu, Bang? Apalah artinya, Bang? Benarkah bukan hanya karena Sylvie itu?"
Togar mengangguk. "Begitulah cara orangtua dari suku kita mendidik anak-anaknya. Umumnya mereka meletakan 'sesuatu' saat anak-anaknya tidur. Ompung-ompung bilang, 'itu namanya roh adat'. Lewat roh adat itulah, seorang ayah memantau sekaligus mengontrol anaknya. Daripada harus menjalin komunikasi yang lebih baik sembari menjadi sahabat anaknya, mereka lebih memilih cara gaib seperti itu. Kalau anaknya masih membandel, mereka pakai kata-kata kasar. Suaranya dikencang-kencangi hanya agar dianggap keberadaannya oleh anaknya sendiri. Jika itu masih tidak mempan, hukuman fisik lalu diberikan. Tamparan, tendangan, cubitan, hingga yang paling parah digantung terbalik atau dipasung. Hal-hal seperti itu sudah berlangsung lama dan sangat sulit dihilangkan. Memang salah, tapi karena sangat efektif dan efisien, cara itu dianggap paling benar dalam mendidik anak."
Maruap sangat terperangah mendengar kesaksian Togar barusan. Dia merasa ngeri, kesal, kecewa, dan kasihan. Mengapa harus seperti itu? Tak adakah cara yang lebih bersahabat dalam mendidik anak? Memang anak itu sebuah mainankah?
"Tapi percayalah padaku, kau itu orang istimewa. Hanya karena kau mengemban misi dari para Debata langsung dan Bapak Tua tak paham, kau dituduh yang bukan-bukan. Siksaan demi siksaan itu bukan karena kau anak durhaka. Kau itu malah pemuda Batak yang sangat sopan dan lemah lembut yang pernah aku temui. Daripada ikut berperang dalam perang antar suku atau marga, kau lebih memilih beternak babi. Tapi untuk yang satu itu, maaf Maruap, aku tak bisa cerita lebih lanjut. Nanti kau akan tahu sendiri. Kelak, kau pun akan bertemu orang-orang yang sejenis dengan kau. Merekalah para rekan sejatimu bersama perempuan bule, pacar kau itu."
*****
Sembari mendengar bunyi beberapa burung pipit yang saling bersiul-siul, Sylvie jadi bingung sendiri. Mengapa Pak Pendeta Simon ikut-ikutan dingin padanya? Mengapa pendeta tersebut tidak memberitahukan lebih lanjut soal keanehan yang dialaminya di kampung Maruap tersebut?
Namun dari lubuk hatinya, Sylvie merasa segalanya itu bermula dari keluarganya. Mungkin benar kata Pak Pendeta Simon, keluarganya marah saat tahu dirinya minggat. Maruap dan keluarganya dijadikan biang keroknya. Padahal itu murni karena Sylvie sudah tak tahan di rumah dan keluarganya sendiri. Cukup sudah segala pengalaman aneh bin mengerikan yang ia terima dari keluarganya. Ritual-ritual tersebut tak lagi mau ia jalani. Sylvie tahu, semua itu salah dan sangat tidak disukai oleh Allah (walau keluarganya berkata itu benar di mata Allah). Maruap dan keluarganya tak ada hubungannya dengan semuanya itu. Justru Maruap itulah sang penyelamatnya. Pahlawan sesungguhnya dalam hidup Sylvie. Maruap menyadarkan banyak hal pula pada Sylvie. Terutama soal segala kejanggalan dalam keluarga Van Weiderverld.
Lebih bingungnya lagi, Sylvie didatangi Pak Pendeta Simon--yang ditemani oleh anjing setianya, Bruno--di alam sebuah mimpi. Pak Pendeta Simon berpesan bahwa hanya secara batinlah ia bisa memberitahukan segalanya. Pak Pendeta Simon mengingatkan Sylvie agar jangan kembali kepada keluarganya. Sembilan puluh persennya malah bukan orang baik-baik. Konon, Pak Robert itu bagian dari sebuah organisasi; organisasi terlarang yang sangat berbahaya. Mata-mata dan intel gaib paling hebat di Hindia Belanda, yang bahkan melebihi Mata Hari, seorang mata-mata perempuan berdarah Jawa. Sylvie juga harus mulai rutin mendoakan Pak Pendeta Simon kalau masih ingin ada yang melindunginya. "Lindungi juga Maruap. Juga, kamu harus mulai doa agar segera bertemu rekan-rekan seperjuangan kamu yang sesungguhnya. Bukan yang dari ELS itu, namun masih tengah mencari kamu dan Maruap."
Sylvie ingin bertanya langsung, namun Pak Pendeta Simon selalu menghindar sejak mimpi tersebut. Buntutnya, baru kemarin pula, Pak Pendeta Simon bilang dirinya dipindahtugaskan ke daerah Malaka, di sebuah pulau kecil yang mana masyarakatnya memiliki dewa unik yang bertubuh ikan dan berkepala singa.