Desa Sukamaju tampak sunyi dan terpencil. Jalan menuju desa tersebut berliku-liku, melewati hutan lebat yang tampak jarang disentuh oleh manusia. Ardi, seorang penulis muda yang tengah mencari inspirasi baru untuk novelnya, merasa desa ini adalah tempat yang sempurna. Dia memutuskan untuk menginap di rumah tua yang disewakan di ujung desa, yang direkomendasikan oleh seorang temannya yang pernah mengunjungi desa ini.
Ardi tiba di desa pada sore hari. Suasana desa tampak tenang, dengan beberapa penduduk yang ramah menyapa dan memberikan senyuman. Ia bertemu dengan Pak Harto, kepala desa, yang menyambutnya dengan hangat dan mengantarnya ke rumah tua tempat ia akan menginap. Pak Harto adalah seorang pria paruh baya dengan rambut yang mulai memutih dan wajah yang penuh keriput namun selalu tampak ceria. Dia berbicara dengan dialek khas desa yang menambah kesan ramah namun misterius.
"Selamat datang di Desa Sukamaju, Mas Ardi," kata Pak Harto dengan senyum lebar.
"Terima kasih, Pak Harto. Desa ini tampak sangat tenang dan indah," balas Ardi sambil menatap sekitar.
"Iya, desa kami memang tenang. Tapi, ada beberapa hal yang perlu Mas Ardi perhatikan," jawab Pak Harto sambil berjalan menuju rumah tua.
"Hal apa, Pak?" tanya Ardi penasaran.
"Ah, tidak perlu khawatir. Hanya saja, sebaiknya jangan keluar rumah setelah matahari terbenam, dan selalu kunci pintu. Hanya untuk keamanan," kata Pak Harto dengan nada yang agak serius.
Rumah tua tersebut berdiri megah namun angker. Dindingnya penuh retakan dan cat yang mengelupas, memberikan kesan bahwa bangunan ini sudah lama tidak dihuni. Di dalam, rumah itu terasa dingin meskipun di luar matahari masih bersinar terang. Perabotan di dalamnya tampak usang dan berdebu, dengan kursi-kursi kayu yang berderit setiap kali disentuh. Di ruang tamu, ada sebuah lukisan besar yang tampak sudah pudar warnanya, menggambarkan pemandangan desa di masa lalu.
"Rumah ini sudah lama tidak dihuni, tapi masih cukup nyaman untuk ditinggali. Semoga Mas Ardi betah," kata Pak Harto sambil membuka pintu rumah.
"Terima kasih, Pak. Saya merasa tempat ini sangat inspiratif," jawab Ardi sambil mengamati interior rumah.
Malam pertama di rumah tua tersebut penuh dengan kegelisahan. Ardi mencoba menulis di meja kerjanya, namun suara-suara aneh seperti bisikan dan langkah kaki membuatnya sulit berkonsentrasi. Lampu minyak yang digunakan sebagai penerangan berkelap-kelip, seolah-olah ada angin yang berhembus di dalam ruangan.
Saat menjelang tengah malam, Ardi mendengar suara ketukan pelan di pintu depan. Ia merasa ragu untuk membukanya, namun rasa penasaran mengalahkan rasa takutnya. Saat membuka pintu, ia tidak menemukan siapa pun di sana, hanya angin dingin yang menyapu wajahnya. Ia kembali masuk, memastikan semua pintu dan jendela terkunci, dan mencoba tidur di kamar yang telah disediakan.
"Apa tadi hanya imajinasiku?" gumam Ardi sambil mengunci pintu kembali. "Mungkin aku hanya terlalu lelah."
Kamar tidur tersebut memiliki suasana yang tidak kalah angker. Ranjang kayu dengan kasur yang sudah tua dan bantal yang keras membuatnya tidak nyaman. Dinding kamar penuh dengan noda lembab dan lukisan pudar yang menggambarkan pemandangan desa di malam hari. Di sudut kamar, ada lemari kayu besar yang tampak berat dan penuh dengan barang-barang tua.
Saat tidur, Ardi bermimpi aneh. Ia melihat dirinya berjalan di hutan lebat, dikejar oleh bayangan-bayangan gelap yang tak berwajah. Tiba-tiba, ia terbangun dengan keringat dingin mengalir di wajahnya. Ia mendengar suara langkah kaki di luar kamar, namun saat ia membuka pintu, tidak ada siapa pun di sana.
"Apa ini hanya mimpi? Tapi rasanya begitu nyata," pikir Ardi sambil menghapus keringat di dahinya. "Aku harus mencari tahu lebih banyak tentang tempat ini."
Ardi memutuskan untuk menenangkan diri dan mencoba kembali tidur, berharap esok hari akan membawa kejelasan tentang apa yang sebenarnya terjadi di desa ini. Ia tidak menyadari bahwa malam itu hanyalah awal dari serangkaian kejadian aneh dan menakutkan yang akan ia hadapi di Desa Sukamaju.