Shakka memberitahu guru mengenai keadaan Bella dan ia diizinkan untuk mengantar gadis itu pulang. Awalnya Bella menolak dan mengatakan ia bisa pulang dengan busway atau ia juga bisa menunggu supirnya sampai datang.
“Oh..” ucap Shakka tercengang. “Jadi sekarang lo alergi sama gue?”
“Eng- engga. Siapa bilang gue alergi?” jawab Bella terlalu cepat.
Shakka bisa menangkap bahwa gadis itu menyesali ucapannya tepat di detik pertama setelah kalimatnya selesai. Cowok itu tidak bisa menahan tawa gelinya dan meminta Bella untuk cepat duduk di samping kemudi atau ia bisa mimisan kembali. Yang mana tentu saja Shakka berbohong. Mana ada orang mimisan hanya karena tidak mau duduk di samping kemudi mobilnya Shakka. Memangnya Shakka apa, ya, ‘kan? Sampai bisa menyebabkan satu individu memisan begitu.
“Lo tau rumah gue? Kenapa lo ga nanya?” tanya Bella setelah ketahuan melirik cowok di sampingnya itu.
“Gue tau arah rumah lo karena beberapa kali kita pernah naik busway yang sama. Gue akan tanya nanti saat kita udah di dekat halte tempat lo selalu turun.”
“Oh, oke.” Bella membawa ranselnya ke d**a. Barangkali ransel bisa meredam sedikit jantungnya yang terlalu berisik.
“Jadi lo kelelahan belajar?” kekeh Shakka saat mobilnya harus berhenti karena lampu lalu lintas berubah merah.
Bella mendengus. Apa ia terlihat konyol karena belajar sampai kelelahan dan mimisan? “Gue ga ikut tim ini hanya untuk gagal di babak penyisihan, asal lo tau.”
“Oh ya?”
“Iya lah..”
Shakka mencebikkan bibirnya sebagai usaha untuk meredam senyum lebarnya. “Kalau begitu sampai ketemu di final. Lo ga akan sendirian di sana.” Dan bodohnya, setelah menyembunyikan senyumnya, ia malah menoleh pada Bella dan tersenyum. Jadi yang bodoh disini adalah dirinya sendiri. Shakka akui itu.
Kalau tadi jantung Bella berisik, sekarang gadis itu merasa organ vitalnya bisa meledak kapan saja gara-gara kalimat juga senyum Shakka saat mengatakan bahwa ia tidak akan sendirian di final nanti.
“Kenapa?” tanya Shakka bingung pada Bella yang melongo. “Lo ga mikir kalo gue bakal gugur di semi final, ‘kan?” tanya Shakka tersinggung.
“Ngga, ngggaaaa.. ngga, kok,” ucap Bella sambil tertawa bodoh.
Mobil yang ia tumpangi akhirnya berhenti di depan rumah setelah, tentu saja, memberikan petunjuk arah pada Shakka. Di sisa perjalanan setelah tawa bodohnya tadi, Bella tidak banyak bercakap-cakap dengan Shakka kecuali cowok itu yang bertanya arah rumah Bella setelah halte dan Bella yang memberi jawaban. Jadi saat ia harus bicara pada Shakka dan mengucapkan terima kasih, gadis itu menjadi gugup sekali. “Ini rumah gue.” Bella memegang sabuk pengaman dengan erat kemudian mengalihkan pandangan pada jendela sebelah kiri di mana rumah tetangganya di seberang jalan tampak kosong seperti biasa.
“Yap. Gue tau rumah lo, sekarang.” Shakka meremas setir mobil kuat. Tidak hanya Bella saja yang gugup disini.
“Hm.. makasih ya.”
“Sama-sama.”
Mengantar Bella pulang ternyata bukan lah satu-satunya hal membahagiakan yang Shakka terima. Setiba ia di rumah, cowok itu mendapat kabar bahwa kembarannya akan pulang dan memulai semester baru di Bina Bangsa.
Kalau ada yang berpikir dengan mengantar pulang cewek itu sekali maka mereka bisa berkomunikasi layaknya siswa normal lainnya, kamu salah. Keesokan harinya dan juga hari-hari berikutnya, Shakka justru melihat Bella selalu bersama Ihsan di mana pun dan bagaimana keaadaan langit di atas sana, terik, mendung atau apapun, keduanya selalu cekikikan saat berpapasan dengan Shakka. Sekali, dua kali, tiga kali, dan empat kali, Shakka selalu melirik gadis itu saat lalu lalang di dekatnya namun tidak lagi untuk yang kelima kali. Bagaimana ya mengatakannya? Meskipun Shakka jadi merasa tertarik pada Belladiva Wicaksono, tetapi dunia mereka tetap berbeda. Dan secara kebetulan, Bella juga merasa hal yang sama. Pengalaman mengajarkannya bahwa sesuatu yang berlebihan sungguh tidak baik. Sama seperti perasaannya yang membuat Shakka merasa benci alih-alih tersanjung.
>>>
Ia sedang mengetikkan pesan untuk sang Mama, mengatakan bahwa bus sekolah yang akan mengantar mereka akan segera berangkat ketika wangi yang sangat dikenalnya menyerang indra penciumannya. Saat menoleh, Bella melihat Kak Ihsan yang berdiri sedang di sampingnya sudah ada Shakka yang langsung memasang headphone nya. Bella sungguh tidak mengerti dengan apa yang sedang terjadi di sini.
“Tempat ini kosong, ‘kan?” tanya Shakka pada Bella.
“Udah engga lagi, ‘kan?” tanya Bella dengan kedua alis menyatu.
“Gue kira lo janjian sama Kak Ihsan, duduk bareng.” Bersama dengan kalimatnya, Shakka melirik senior di depannya itu.
“Kakak mau duduk sama aku?” tanya Bella pada Kak Ihsan.
“Tadinya, ya udah gue sama anak-anak yang lain aja.”
“Iya. Lo sama sesama senior aja. Tim gue cewek semua, males gue. Mana mereka juga senior.” Setelah mengatakan kalimatnya itu Shakka langsung memejamkan kedua matanya bersamaan dengan bus yang mulai membawa mereka ke tempat tujuan. Ihsan terpaksa duduk di samping salah satu teman sekelasnya sedang Bella tidak tau apa yang harus ia lakukan sekarang. Shakka benar-benar tidak bicara padanya sepanjang perjalanan. Seolah dua hari yang lalu mereka tidak bertemu sama sekali.
Bella menoleh saat mendengar pintu laboratorium tertutup. Ia pikir itu hantu penunggu yang sedang mengerjainya seperti yang sering Kak Ihsan ceritakan tapi yang dilihatnya justru Shakka Orlando Padmaja. Kak Ihsan menyuruhnya belajar disini untuk bertemu hantu labor kimia karena kalo ketemu hantu, katanya ujiannya pasti lancar. Ga masuk akal memang, tapi apapun demi final akan Bella lakukan. Tapi lihat hantu versi Bella, cowok tampan dengan seragam ala preman sekolah dan headphone yang akhir-akhir ini tidak pernah luput dari leher atau kedua telinganya. Cowok itu mengunci laboratorium kimia dari dalam yang tentu saja membuat Bella mengerjap-ngerjap tidak paham apalagi karena dengan langkah lebar-lebar, Shakka mendekatinya kemudian menariknya menuju pintu untuk bersembunyi.
“Dasar anak itu!”
Bella melotot mendengar salah satu guru yang selalu memburu anak-anak nakal seperti Shakka. Nakal dalam artian tidak mengenakan seragamnya seperti seharusnya. Namun begitu Bella tidak bisa berkomentar karena Shakka memintanya untuk diam dengan meletakkan telunjuk di bibirnya. Maksud Bella, tentu saja Shakka meletakkan telunjuknya sendiri di depan bibir cowok itu sendiri. Karena kalau di bibir Bella, sudah barang pasti gadis itu menggelepar karena kaget dan juga salah tingkah yang selanjutnya akan membuat mereka ketahuan.
“Lo kenapa milih kejar-kejaran sama guru daripada pakai seragam dengan bener?” tanya Bella setelah memastikan tidak ada suara guru lagi.
“Dan jadi anak cupu? Apa lo juga berharap gue pake kacamata tebel?” Dulu, waktu SMP Shakka berpakaian selayaknya siswa yang taat aturan, ia mendapat image yang sangat tidak ia sukai. Jika ada yang melanggar aturan seperti gaya pakaiannya sekarang, maka guru-guru akan langsung membandingkan mereka dengan dirinya. Sayang sekali Shakka tidak merasa senang dengan semua pujian dari guru juga sebutan anak cupu dari beberapa teman laki-laki yang kesal padanya. Bagi Shakka, kenapa ia harus mendapat penghargaan hanya karena pakaiannya? Kenapa pakaiannya sewaktu SMP itu tidak dipajang saja di kantor majelis guru kalau begitu? Dan karena sekarang ia berada di Bina Bangsa yang sebelas dua belas dengan neraka, kenapa Shakka harus mengancingkan seragamnya? Asal tau saja, Shakka bahkan tidak mengenakan singlet di dalam seragamnya.
Tidak mendapat sahutan apapun, Shakka sadar bahwa barusan ia terlalu ketus. “Lo siap untuk lusa?” tanya Shakka menyandarkan kepalanya ke pintu. Ia baru sadar bahwa keduanya sudah duduk di lantai labor yang dingin. Labor kimia ternyata tidak buruk meski tentu saja tidak sesejuk labor komputer.
“Tentu saja. sampai ketemu di semifinal,” ucap Bella dengan seringai sombongnya.
“Gue tunggu lo di semifinal,” kekeh Shakka sebelum bangkit.