12

1318 Words
“Pa..” “Papa.. ayo pulang,” teriak Gentala mendekati Papa yang berbicara dengan Om Ilham dan Tante Icin. Melihat anaknya mendekat dengan suasana hati dua ratuh persen lebih baik, Shakka tersenyum senang. Putrinya Icin seperti tombol reset untuk setiap moodnya Gentala. Atau mungkin Ia tidak bisa benar-benar menyelami dunia anak-anak itu sendiri. Buktinya, seberapa keras pun Shakka mencoba, selalu ada yang gagal ia pahami dari putranya. Tapi Shakka juga tidak bisa menyebut dirinya gagal karena ia tau apa yang harus dilakukan begitu Gentala badmood. “Tante.. makasih udah lahirin Tavi, ya,” kekeh Gentala begitu sampai di depan tiga orang dewasa itu dan selanjutnya ia menarik tangan Papanya agar segera beranjak. Ide Tavi luar biasa memang, namun bukan berarti Gentala akan mengabaikan rencana miliknya sendiri. Rencananya digabung dengan ide Tavi merupakan sesuatu yang spektakuler. Gentala suka saat Tavi menggunakan otaknya dengan benar kali ini. “Gentala.. Tavi itu kakak kamu,” ucap Ilham mengingatkan. Ucapan terima kasih dari anaknya Shakka barusan untuk putrinya terdengar aneh di telinganya. Seolah Gentala mencintai putrinya saja. Gentala tidak bisa menginginkan apalagi mendapatkan apapun dari Tavi di saat putri Ilham itu saja masih berjuang untuk menguasai FPB (Faktor Persekutuan Terbesar) dan KPK (Kelipatan Persekutuan Terkecil). “Iya, Om.. tapinya Tavi ga mau di panggil kakak.” “Santai dong, Ham.. anak lo sukanya sama gue. Bukan sama anak gue,” kekeh Shakka yang sudah berdiri sepenuhnya dan pamit pada sepasang suami istri itu. “Berani lo ngomong begitu? Ingat umur dong, bandot!” ucap Ilham pada temannya sendiri. “Pikirin baik-baik ucapan gue, ya, Kka.. lo ga bisa gini terus,” teriak Ilham pada sahabatnya itu. >>>  Semua sertifikat dan ijazah milik Shakka Orlando Padmaja bertebaran di atas ranjang putranya. Di depan sang putra, Shakka berdiri dengan takjub. Alasannya adalah, semua yang berada di sekitar Gentala adalah pencapaian-pencapaiannya di masa lalu, pencapaian yang sangat dibanggakan oleh papanya, tapi Shakka justru tidak bisa melepaskan pandangannya dari satu-satunya manusia kecil di atas ranjang. Semua kertas-kertas itu tidak ada artinya sama sekali bagi Shakka. Jika Gentala ingin membuat perahu kertas, pesawat atau bangau pun dari kertas-kertas itu, Shakka tidak akan berpikir dua kali untuk mengizinkan putranya melakukan apa yang ia inginkan. “Jadi kamu akan membaca semua itu sampai waktunya tidur?” “Iya.” “Papa boleh keluar sebentar sama Om Galih, Om Evan?” “Om Arif juga?” tanya Gentala penasaran. “Hm.. Om Arif, dia..” Tiba-tiba saja nama Arif disebut membuat Shakka kebingungan harus menjawab apa. “Dia sibuk.” “Oke, selamat bersenang-senang, Papa..” “Thank you, Son,” kekeh Shakka kemudian berbalik menuju pitu. Saat ia akan menutup pintu tersebut dari luar, Gentala berceletuk. “Jangan mabuk.” Begitu ujarnya. Belum waktunya. Belum waktunya. Belum waktunya, ucap Gentala membatin. Bocah itu menyadari bahwa belum saatnya ia membuka yearbook milik Papa meski itulah tujuannya. Gentala sudah diajari untuk bersabar oleh Papanya dari dulu. Mulai dari tidak boleh menyentuh permen kesukaannya sampai Papa kembali. Atau harus menahan diri untuk tidak memakan ice cream tersebut karena Papa bilang tunggu, padahal ice creamnya sudah mencair gara-gara Papa menyuruh menunggu. Tapi sebagai balasannya, Gentala justru mendapatkan ice cream yang jauh lebih enak dan jauh lebih besar. Jika kali ini ia bersabar, Gentala yakin ia bisa menemukan Mama. “Astaga!” Gentala menoleh pada Neneknya yang sudah berada di dalam kamar ini. Tuh, kan.. aku bilang juga apa, gumamnya lagi. “Apa-apaan ini, Sayang?” tanya Naya pada cucunya. Naya meletakkan s**u yang ia bawa di atas meja belajar cucunya kemudian mendekat. Duduk bersama Gentala yang melihat-lihat semua bukti prestasi Shakka. “Ini loh, Nek..” Gentala meraih yearbook seolah benda itu tidak menarik sama sekali. Ia membuka acak buku tersebut tapi untuk beberapa detik kemudian Gentala terpaku pada wajah asing. Hanya satu kata yang ada di kepala Gentala untuk mengomentari wajah itu. Cantik. Sadar dari keterpakuannya, Gentala kembali menoleh pada nenek hanya untuk mendapati Nenek juga menatap lama pada halaman yang terbuka tersebut. Yang tidak Gentala ketahui adalah bahwa ia Nenek juga memperhatikan wajah perempuan yang ia sebut cantik itu.  “Nenek kenal sama teman-teman Papa yang ada di halaman ini?” “Engga, Sayang. Jadi apa yang kamu lakukan dengan semua ini?” Naya memeluk cucunya, membawa sang cucu untuk bersandar padanya. Jawaban cucunya membuat Naya semakin mencintai bocah ini saja. Katanya, Gentala ingin melihat semua prestasi Papa dan membandingkannya dengan prestasi Mama kemudian membandingkan keduanya sehingga Gentala tau ia ingin jadi seperti siapa saat besar nanti. Naya mengabaikan buku yang menunjukkan wajah wanita itu. Wanita yang tidak perlu dipanggil mama oleh cucunya. Gentala sudah serba cukup bersama keluarga mereka. Cucunya ini tumbuh menjadi bocah yang ceria, bukti bahwa mereka semua berhasil membesarkannya. Gentala tidak perlu mengenal mamanya. “Baiklah, sepertinya kamu butuh waktu sendirian untuk melihat seberapa hebatnya Papamu. Jangan lupa minum susunya ya, Sayang. Nenek mau mijitin punggung Kakek dulu.” “Makasih, Nek..” Hanya ada suara khas saat sebuah buku dibalikkan halamannya di kamar itu. Setelah memastikan tidak ada yang akan masuk ke kamarnya lagi, berhubung Mama pergi ke Coachella sore tadi, Gentala memulai misinya untuk menemukan Belladiva Wicaksono. Butuh waktu hampir satu jam baginya untuk menemukan Bella karena ia kadang menghabiskan beberapa saat untuk mengamati wajah-wajah yang ada di sana. Saat menemukan Bella beserta nomor telfon dan alamatnya, Gentala langsung mencatatnya di belakang buku matematika miliknya. Ia sengaja memilih bagian belakang buku Matematika karena disana sudah penuh oleh coret-coretannya saat mengerjakan latihan. Jadi tidak akan ada yang menyadari informasi penting yang ia tulis di sana. “Kalau kamu mau memulainya dari Bella, Om hanya bisa bilang not bad.” Gentala tersentak kaget, ia membalikkan tubuhnya dan menemukan Om Abid yang ternyata sudah mengetahui apa yang ia lakukan. Gentala ketahuan tanpa pernah bisa menemukan Bella. “Kenapa kamu diam begitu?” “Kenapa Om masih disana dan ngeliatin aku begitu? Nih.. Om boleh sita buku aku sama simpan lagi yearbook nya Papa,” ucap Gentala ketus padahal sebenarnya ia sudah ingin menangis. Abid mendorong buku yang ponakannya ulurkan dengan pelan. Mengatakan pada bocah yang bisa sekali bersikap menyebalkan seperti Abangnya dulu bahwa ia tidak akan menghalangi Gentala untuk melakukan apapun dengan Bella. “Kenapa kamu bekerja sendirian dan ga minta tolong Om sama sekali?” “Siapa bilang aku kerja sendirian? Aku punya teman yang bisa diandalkan otaknya.” “Tavi?” “Bukan lah!” sergah Gentala cepat. Ia terlanjur sering menertawakan Tavi di rumah ini sehingga bodoh sekali rasanya kalau ia menyebut Tavi lah teman yang otaknya bisa diandalkan. Masih ketus. Abid mengerti kenapa ponakannya seperti ini. Jika Gentala tetap seperti ini, semua orang akan menyadari ada yang salah pada bocah ini besok saat semuanya sarapan. Yang akan merugi ya Gentala sendiri. Makanya Abid duduk di pinggir ranjang dan berujar dengan lembut. Mencoba mendapatkan simpati bocah itu lagi. “Kenapa kamu pikir Tavi saja sudah cukup? Tavi hanya anak kecil.” “Hanya anak kecil yang bisa dipercayai oleh anak kecil sepertiku.” “Anak tua ini juga bisa kamu percayai Gentala, bisa banget malah.” Abid menunjuk dirinya sendiri saat mengatakan anak tua. “Kamu pikir Om akan mengadu, ya, ‘kan? Kamu boleh buktikan apakah Om kesayangan kamu ini termasuk, anak tua yang bisa dipercaya atau tidak.” Abid bangkit dan berjalan ke luar. “Lain kali kunci pintunya. Kamu beruntung Om yang sebentar lagi akan menjadi teman kamu, menggantikan Tavi, ini adalah orang yang sangat setia. Kamu kacau kalau yang masuk adalah orang lain.” >>>  “Bang..” sapa Abid pada Abangnya yang baru pulang. Pantas saja Gentala membiarkan Papanya pergi. Dia punya pekerjaan yang tidak bisa dikerjakan di dekat Papanya ternyata. “Hm? Fira nanyain gue lagi? Calon bini lo cerewet banget tau, Bid.” Abid mengendikkan bahunya kemudian tersenyum senang. Menertawai Abangnya yang tidak tau apa-apa. “Abang tau ga?” “Tau apa?” “Sini deh.. duduk dulu sama gue. Kita ngopi bareng.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD