14

1219 Words
“Njir, calon bini si Fuad gini amat.” Mail melepehkan telur dadar beserta nasi di dalam mulutnya ke telapak tangan bagian kiri kemudian berjalan menuju kantong sampah dan wastafel yang ada di belakang June. “Makanya siapa suruh Abang makan di sini?” tanya Wyne tidak senang. Dan jika Wyne tidak senang, semua orang harus merasakan hal yang sama. Mentang-mentang jomblo jadi apa-apa harus sendirian, gitu? Kalian perlu bertemu jomblo yang satu ini, Wyne masih jomblo Amelia, untuk mematahkan stereotip tersebut. “Sarapan doang, Wyn.. ini pun gara-gara semalam gue ga dibukain pintu sama Ibu kos.” “Aku aduin Kak Ros loh ya.. istri sendiri disebut Ibu kos.” June terbahak mendengarnya. Jika Wyne yang bicara mengenai istrinya Mail, maka otak June akan membayangkan bagaimana Mail di Upin dan Ipin menikahi Kak Ros. Paham ga sih maksudnya? Soalnya Wyne manggil istrinya Mail tuh Kak Ros padahal nama aslinya Rossa. “Lo kok bisa sih, Jun, makan telor dadar asin begitu?” tanya Mail pada sahabatnya. Bukannya makanan orang rumah hambar ya. Istri Mail, masakannya juga bergaram. Tapi asinnya pas. Ini Si Wyne emang udah tanda-tanda minta kawin banget nih. Masa setebal itu telur dadar, yang bisa lidah Mail rasakan hanya bagian garamnya aja? “Cara makannya lo salah, ‘Il! Makannya itu banyakin nasinya sama secuil aja telurnya. Kaya gini nih..” June tidak punya orang tua yang bisa ia tanyakan sehingga ia tidak tau apakah mitor perempuan yang masakannya asin itu pertanda sudah waktunya dia menikah. Soalnya dulu masakan Wyne ga gini nih. Mail meneguk air putihnya dengan kasar melihat di atas sendok yang sahabatnya pegang, hanya ada nasi dan seujung kuku telur dadar. “Dimana proteinnya Jun? Gue nguli butuh tenaga.” “Kan.. makanya dibilangin makan di rumah sendiri? Gimana sih? Temen lo ga paham-paham dari tadi nih Jun.” Opps.. elo gue nya muncul nih ke permukaan. Elo gue nya Wyne sejak beberapa tahun yang lalu ini sudah tenggelam bersama semua masa lalunya, seperti sirine peringatan sebelum Tsunami. Mending jangan cari masalah deh kalau ga mau dihantam gelombang air yang bisa menyapu bersih daratan itu. Pagi adalah waktu paling sibuk bagi Wyne Amelia, karena itu ia tidak mengharapkan adanya tamu sama sekali apalagi kalau tamu itu hanya datang untuk menyusahkannya saja. Meninggalkan Mail dengan segala keluhannya, Wyne mengangkat baskom berisi pakaian June yang baru selesai ia cuci ke halaman samping rumah. Selain kepala keluarga, Wyne juga adalah ibu rumah tangga. See? Tidak perlu menikah agar kamu menjadi ibu rumah tangga ataupun kepala keluarga. “Neng Wyne..” panggil tetangganya yang juga melakukan hal yang sama. Kemudian dari balik tembok setinggi dagu, wanita itu mengundangnya untuk datang ke perayaan ulang tahun kecil-kecilan putra mereka yang ketiga tahun. Wanita itu mengundangnya dengan senyum lebar kemudian karena semua pakaiannya sudah selesai di jemur, dia kembali masuk ke dalam rumahnya dengan sekali lagi memastikan Wyne untuk datang sore ini. Sedang Wyne berdiri terpaku dengan kedua tangan meremas singlet milik June. Dalam sekejap saja kedua matanya memanas dan pengihatannya mengabur. Seharusnya, didera dengan rasa sakit ini bertahun-tahun, Wyne harusnya merasa kebas. Tapi yang ia rasakan justru sebaliknya. “Lo jadi kerja ga?” tanya June pada sahabatnya. Mail kalo kerja tanpa makan lebih dulu, itu sama aja dengan kita nunggu mayatnya pas jam pulang kerja. “Jadi, jadi..” omel Mail yang kembali menarik piring berisi telur dadar itu mendekat. Di depannya, sebagai teman paling pengertian sedunia, June mengulurkan kecap kemasan yang seribu rupiah pada Mail. Kecap tersebut dijamin ampuh untuk mengatasi asinnya telur Wyne. “Tahun ini adek lo tiga puluh lima tahun loh, Jun. Lo beneran ga bakal bantuin si Fuad nikahin adek lo? Kasih pengertian gitu ke Wyne.. kenapa dia udah harus nikah,” celetuk Mail yang mulai terbiasa dengan telur dadarnya. Apalagi ia juga mengikuti tips memakan makanan super asin Wyne dari June. “Lo dibayar berapa sama si Fuad?” “Ga ada.” “Ga ada diem aja udah!” Mana bisa Mail diam apalagi tujuannya kemari karena mengetahui harapan untuk menarik Wyne dari keterpurukannya? Wyne dan juga June lebih tepatnya. Mail melihat dua orang kakak beradik ini terlalu kesepian. Wyne dan masalahnya membuat wanita itu tidak bisa menerima orang baru sedangkan June, temannya Mail ini jelas pernah berangan-angan untuk berumah tangga. Namun ia tidak akan pernah meninggalkan adiknya sendirian. “Lo ga kasian sama adek lo?” Mail mengatakan bahwa Wyne terlihat seperti orang lain. Tidak ada lagi pakaian khas dirinya, tidak ada lagi wajah yang selalu dipoles dengan make up. Tidak ada lagi Wyne yang selalu berkumpul dengan teman-temannya kesayangannya. Ini sudah sepuluh tahun dan rasanya Wyne masih terjebak dalam putaran kejadian bertahun-tahun lalu. “Ngga. Adek gue udah tenang, dia juga cantik banget tanpa semua yang lo sebutin barusan. Kalo engga mana mungkin Fuad ngebet banget sama dia?” Bagi June, hidup Wyne adalah miliknya. Termasuk di dalamnya : tubuhnya sendiri dan orang-orang yang ia izinkan unuk berada di sekitarnya.   “Lo ga kasian sama diri lo sendiri? Gimanapun juga, ada satu cewek di luar sana yang lo biarin menunggu.” “Siapa?” tanya June heran. Dia tidak pacaran dan tidak menabur janji pada perempuan mana pun di luar sana. “Jodoh elo, lah.” “Cuma karena elo mudah dapat jodohnya, bukan berarti lo bisa nyuruh semua orang untuk nikah, Njing. Mungkin lo mikir gini: ini si Anj*ng b**o banget nyari jodoh doang ga ketemu-ketemu. Nih.. sini gue bilangin,” June menatap datar sahabat karibnya yang sudah menunggu kalimat yang akan ia katakan. “Anj*ng emang lo ya? Berangkat ga lo dari rumah gue?” Tanpa keduanya sadari, Wyne tengah bersandar di balik dinding. Menengadah, berusaha agar air matanya tidak tumpah. >>>  “Papa mimpi buruk, ‘kan, semalam?” tanya Gentala pada Papa yang pagi ini terlihat murung. Ia sudah menempelkan punggung tangannya ke jidat Papa dan tidak panas. Artinya Papa bukan sedang sakit. “Kamu ga malu diurusin cucu Papa sampe segitunya?” tanya Rama pada putranya yang setiap pagi, tampilannya selalu seperti gembel. “Harusnya, ‘kan diurusin istri eh tapi Abang, ‘kan ga punya istri.” Shakka langsung menoleh dan menatap adiknya dengan bibir yang berkerut. Kalau tidak ingat ada putranya di sana, Shakka pasti sudah mengumpati adiknya itu. “Lo dari semalam mulai ga jelas ya, Bid. Mulai ngeselin juga.” “Papa punya aku, kok, Om.” Sebetulnya Gentala cukup takut membuat kontak mata dengan Om Abidnya karena obrolan mereka kemaren malam. Hanya saja Om membawa-bawa istri, makanya Gentala harus tetap berhadapan dengan adik Papanya itu. Namun yang mengherankan adalah tidak ada seringaian juga tatapan yang menunjukkan bahwa Om akan mengadukannya pada semua orang. Mungkin Om mau tunggu waktu yang tepat, ucap Gentala membatin. “Ayo, Nak..” ucap Shakka pada putranya yang meggeleng ketika di sodorkan sesendok nasi goreng. Artinya Gentala sudah kenyang. “Yang antar Gentala pagi ini ‘kan, aku, Bang.” Abid kemudian menoleh pada ponakannya. “Kita udah janjian kan mau main bareng seharian? Kamu katanya mau ke trampolin.” “Betul, Nak?” tanya Shakka pada putranya. Kalau antara Abid atau Gentala, Shakka lebih mempercayai putranya sendiri. “Engga, Pa.” “Kamu yakin?” tanya Abid tenang. Jika Gentala yang sama sok pahlawannya dengan Papanya tidak mau dibantu, ya Abid bisa apa? Ia hanya bisa menunggu berapa lama Gentala bisa menemukan Mamanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD