Rindu ini memikat
Membuat diriku semakin terikat
Canda tawamu selalu ada
Dalam logika
Di dalam hati dan raga
(Thomas Willie P)
☻☻☻☻☻
Satria duduk di teras mesjid kampus, tempat ia biasa duduk bersama rekan-rekan sesama aktifis dulu, tiga tahun silam. Sekarang ia telah menjadi mahasiswa pasca sarjana di kampus lain, hingga ia tak pernah lagi menjejakkan kaki di kampusnya ini. Tapi untuk hari ini, ia rasa ia perlu untuk datang kesini.
Sudah hampir lima belas menit ia menunggu. Dan akhirnya seorang lelaki muda datang menghampirinya. Senyum menghiasi wajah lelaki itu.
“Kang Satria, afwan lama nunggunya. Iya, diatas ada Pras, lagi syuro’ mereka.”
“Oh, nggak apa Gus. Kalau akang boleh tahu, jam berapa mereka biasa selesai syuro’?” tanya Satria pada lelaki yang disapanya Agus itu. Lelaki itu berasal dari daerah jawa, maka sedari dulu memanggilnya dengan sapaan akang.
“Biasanya sih jam enam mereka selesainya. Tapi kalau ana nggak salah, Pras sering pulang lebih dulu, kang. Apa akang mau ana panggilkan saja dia?”
“Hmm… gini aja deh Gus, kalau saya nggak ngerepotin kamu, tolong bilangin ke Pras aja kalau saya nunggu di bawah. Bilang aja abangnya Dzakia, gitu.” Pinta Satria pada lelaki peranakan Sunda yang memanggilnya akang itu.
“Oh, iya, nggak ngerepotin kok kang. Ya udah, ana ke atas dulu jumpai Pras ya kang. Akang nunggu di sini aja?”
“Iya Gus, saya di sini aja. Makasih banget ya dek, kamu memang paling bisa diandelin dari dulu.”
“Ah, akang bisa aja. Iya kang, sama-sama.” Jawab Agus kemudian bergegas menaiki tangga untuk menyampaikan pesan dari Satria pada Pras yang tengah syuro’ di ruang baca mesjid itu.
☻☻☻☻☻
“Kamu mau minum apa Pras?” tanya Satria. Mereka baru memarkirkan motor mereka di sebuah taman yang cukup sepi.
“Hmm… terserah abang saja,” jawab Pras kaku.
Ini pertama kalinya ia bertemu langsung dengan kakak lelaki Dzakia. Selama ini ia hanya tahu tentang mereka dari cerita Dzakia saja.
Satria tersenyum kemudian berjalan kearah pedagang minuman yang tak jauh dari tempat mereka duduk. Meminta dua botol teh untuk mereka.
“Jadi, Dzakia sudah cerita banyak tentang kami?” tanyanya ketika sudah kembali duduk.
“Nggak banyak juga kok bang, hanya sekedar saja. Itupun dulu, saat saya menyerahkan proposal ke dia.” Jawab Pras sambil menerima teh botol yang diberikan Satria.
“Oh, jadi kamu udah nyerahin proposal? Berarti hubungan kalian saat ini?”
“Kami ta’aruf bang.” Jawab Pras singkat. Tangannya menggenggam erat teh botol itu.
“Oh ya?” Satria mengangkat alisnya, cukup terkejut, namun masih dapat mengendalikan diri.
Ia hanya heran mengapa Dzakia menyimpan berita besar ini sendiri, tak memberitahunya.
“Lalu berapa lama?” tanyanya.
Pras diam, ia bingung harus menjawab apa. Tak diragukan lagi, Satria pasti lebih paham tentang ini dari pada dirinya, ini hanya seperti menggali kuburan sendiri.
“Kami… kami belum menentukan jangka waktunya, bang.” Pras menunduk, menggigit bibirnya.
“Hah??” kali ini Satria tak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya. “Maksud kamu?”
“Maksud saya ta’aruf kami tidak berjangka waktu bang.”
“Jadi?” tanya Satria semakin bingung.
“Sebenarnya saya telah melamar Dzakia terlebih dulu sebelum akhirnya kami masuk pada tahap ta’aruf ini. Tapi Dzakia dengan tegas menolak lamaran saya, dia belum siap menikah.” Terang Pras pelan.
“Lalu kalau begitu apa ta’aruf kalian ini tidak ada tujuan untuk berlanjut ke jenjang pernikahan? Maksud kalian ini hanya sekedar pengenalan begitu saja? Tanpa tujuan?”
“Tidak, bukan begitu, Bang. Kami, saya khususnya, menginginkan hubungan ini berakhir pada jenjang pernikahan. Hanya saja masih menunggu kesiapan Dzakia, ia belum siap berumah tangga. Karena itu kami belum memutuskan lama waktu ta’aruf kami, bang.”
Satria menggelengkan kepalanya, “Sama saja dengan pacarana,” rutuknya. Ia menyeruput tehnya kemudian menoleh pada lelaki disebelahnya itu, respect nya untuk lelaki itu sedikit berkurang, “Kamu tahu Dzakia pernah hampir menikah?”
Kali ini Pras yang dikejutkan. Refleks menatap Satria tepat dimanik mata.
Satria tersenyum, “Ternyata kamu belum tahu. Setahun yang lalu Dzakia Hampir menikah, dengan teman dakwah abang. Sayangnya ketika semua hampir rampung, ikhwan itu meninggalkan dia tanpa kabar.
Kejadian itu membuat Dzakia menutup keinginannya untuk segera menikah. Karena itu tadi abang terkejut waktu kamu bilang kalian ta’aruf. Di satu sisi abang bersyukur karena itu artinya Dzakia sudah mau membuka hati, tapi disisi lain abang bingung dengan makna ta’aruf yang kalian pegang. Kamu yakin yang kalian jalani ini ta’aruf ?”
“Maksud abang?”
“Apa kamu yakin yang kamu jalani ini ta’aruf?”
“Iya, saya yakin.”
“Kamu paham dengan makna kata ta’aruf kan Pras? Kalau abang tidak salah itu selalu menjadi salah satu bahasan ketika berkumpul.”
Pras mengangguk, “Insya Allah saya paham bang.”
“Lalu kamu tahu kan kalau tidak pernah ada dalam proses ta’aruf untuk pergi berdua tanpa ditemani oleh mahramnya?”
Pras kembali terkejut.
“Abang pernah melihat kamu bersama Dzakia di luar. Bukan sekali, tapi tiga kali sudah abang bertemu kamu di luar bersama dengan Dzakia. Lalu kamu masih berfikir itu ta’aruf?”
“Tapi bang, kami nggak pergi berdua. Kami bersama teman yang lain.” Sanggah Pras.
Satria menghela nafas berat mendengar pembelaan Pras, “Baik. Abang bisa maklum kalau kamu bilang kalian bersama teman yang lain. Lalu, coba kamu fikirkan dengan baik, Pras. Sudah seberapa sering kamu membawa Dzakia dalam boncengan kamu? Sudah seberapa sering kalian ngobrol hanya berduaan? Sudah seberapa sering kalian telepon-teleponan untuk membicarakan hal-hal yang tidak perlu? Sudah seberapa sering, hm…?”
Pras terdiam, hatinya seperti ditikam tepat di ulu hati. Perih.
“Abang benar-benar bersyukur kalau memang Dzakia sudah dapat membuka hatinya untuk lelaki lain, karena abang sendiri merasa bertanggung jawab dengan apa yang dialami Dzakia. Tapi tidak yang seperti ini yang abang harapkan, Pras.”
Pras semakin erat menggenggam botol teh itu. Kepalanya menunduk, menatap air kolam yang bergelombang setelah dilewati beberapa ekor ikan.
“Kamu tahu kan Pras apa yang kalian lakukan ini bisa termasuk dalam kategori zina hati?”
Pras mengangguk lemah.
“Apa kamu menginginkan proses ini tidak berkah Pras?”
Pras menggeleng. Ia sangat mengharapkan keberkahan dari proses ta’aruf-nya dengan Dzakia. Proses yang sebenarnya tak pantas ia masukkan dalam kategori ta’aruf mengingat entah sudah berapa banyak batas yang mereka lampaui.
“Lalu kenapa kalian pilih jalan seperti ini? Sadarkah kamu yang kalian jalani ini nggak jauh beda dengan pacaran? Berboncengan kesana-kemari, duduk berdua, ngobrol berlama-lama ditelepon. Lalu dimana lagi keberkahan itu akan kalian peroleh, Pras?”
Pras tertunduk tak bergeming. Ingatannya beralih ke bulan-bulan sebelumnya. Bulan-bulan dimana ia menghabiskan banyak waktu dan kesempatan untuk ngobrol berdua dengan Dzakia. Bulan-bulan dimana Dzakia duduk di boncengannya. Bulan-bulan dimana ia sibuk bertelepon dan ber-chat ria dengan Dzakia.
Tersadar begitu banyak sudah khilaf yang dilaluinya. Teringat kembali tentang kejadian yang ia dan Dzakia lalui. Kejadian yang membuatnya tanpa sadar menyentuh Dzakia yang bukan mahramnya. Dzakia yang belum halal untuknya. Lalu dimana lagi keberkahan dari proses yang diharapkannya? Air matanya mengalir tanpa ia sadari.
“Kalau memang kamu tahu Dzakia belum siap untuk berumah tangga, Pras, bukankah lebih baik kamu mencari wanita lain?”
Pras menggeleng lagi, menyeka air mata yang membasahi pipinya. “Sungguh saya tidak ingin mencari wanita lain, bang. Yang ada di dalam fikiran saya hanya Dzakia sebagai istri saya. Saya tidak menyadari semuanya bang. Tidak sadar bahwa ternyata saya telah melewati semua batas yang sudah tertulis.”
Satria mengerutkan keningnya. “Itu artinya kamu egois, Pras. Mendahului takdir Allah, bahkan menentangnya, Pras.”
“Maafkan saya bang…”
“Sudah sejauh apa hubungan kalian Pras?” tanya Satria hati-hati. “Apa kalian pernah melakukan hal yang tidak seharusnya?” sambungnya.
Pras diam, air matanya mengalir semakin deras. Menjawab pertanyaan Satria. Tubuhnya ikut terguncang, terbayang saat ia menarik Dzakia dalam pelukannya ketika gadis itu sakit, bahkan mengelus dan mengecup kepalanya.
Satria meraup wajahnya gusar, menarik nafas panjang. “Apakah hubungan kalian sudah sampai di tahap itu?” tanya Satria dengan nada kecewa sambil memberi tanda kutip pada kata itu.
“Tidak Bang!” jawab Pras tegas.
Satria menghela nafas, lega. “Lalu sekarang, apa yang mau kamu lakukan?”
“Saya… saya sangat ingin menikahinya bang.”
“Sudah kamu fikirkan dengan matang?”
Pras mengangguk.
“Kamu mencintai Dzakia?”
“Saya… saya sangat mencintainya Bang. Karena cinta inilah saya menjadi begitu egois hingga tidak ingin Dzakia jatuh ke tangan lelaki lainnya.”
“Kalau begitu, maukah kamu mendengar saran abang?”
Pras menoleh, “Apa itu Bang?”
Satria menarik nafas dalam, “Tinggalkan Dzakia…”
Pras terkesiap. Suara Satria memenuhi kepalanya. Keterkejutan jelas tergambar di wajahnya. Tidak pernah terbersit difikirannya untuk meninggalkan Dzakia walau ia tahu Dzakia belum siap untuk memulai komitmen pernikahan itu. Betapa ia cukup tersadar dan paham bahwa mereka telah salah kaprah pada proses ta’aruf mereka. Tapi ia belum siap melepaskan Dzakia. Belum siap…
“Apa… apa tidak ada jalan lain Bang?”
“Pras, kalau hubungan kalian ini tetap diteruskan, bukan tidak mungkin kalian terjerumus kepada zina yang lainnya. Zina kecil yang bertumpuk memungkinkan kalian jatuh pada zina yang lebih besar lagi, Pras.
Sedang mendekati zina saja dilarang, apalagi terjerumus di dalamnya. Jadi, alangkah lebih baik kalau kalian mengatur jarak. Saling memperbaiki diri satu sama lain. Jika nanti memang Allah gariskan kalian berjodoh, siapapun tidak dapat menentangnya, Pras.”
Satria melirik lelaki yang tergugu disampingnya itu. “Kapan kalian tamat, Pras?”
Pras memilin jemarinya, “Saya insya Allah April dua tahun lagi, bang. Karena masih ada beberapa mata kuliah yang tertinggal. Dzakia mungkin Oktober tahun depan.”
“Lihat Pras, masih panjang perjalanan kalian. Tamatkan lah dulu kuliah kalian, terutama kamu. Kemudian cari pekerjaan yang baik, yang mapan. Ketika itu tiba, kalau hati kamu memang masih condong pada Dzakia, dan Dzakia pun belum memiliki seseorang di sampingnya, maka abang siap menjadi penghubung kalian berdua. Kalau untuk saat ini, jujur Pras, dengan terpaksa abang katakan bahwa abang tidak setuju.”
Pras menghapus sisa air matanya, menegakkan badannya. “Bang, tapi saya benar-benar takut kehilangan Dzakia.”
“Jangan kamu mendahului takdir Allah, Pras.” Satria menepuk bahu Pras.
“Tunggulah waktu yang tepat. Sambil sibukkan diri kalian untuk menjadi lebih baik. Kelak waktu dan jarak akan memperlihatkan segalanya, apakah rasa yang ada pada diri kalian itu semakin besar atau malah semakin memudar. Toh tulang rusuk tidak akan tertukar.”
“Bagaimana dengan Dzakia, Bang?”
“Abang percaya kamu bisa membuatnya yakin. Dzakia pasti bisa paham. Abang tahu seperti apa Dzakia.”
Pras mengangguk perlahan, “Makasih banyak Bang. Maafin saya karena udah melangkah jauh.”
“Ndak apa Pras, selama kamu masih berniat untuk memperbaikinya, selama itu pula pintu taubat terbuka untuk kamu.”
“Bang, boleh saya memohon satu hal?”
Satria menaikkan alisnya, “Apa itu?”
“Boleh kah komunikasi kita tetap berjalan? Saya butuh banyak bimbingan dari abang,”
Senyum Satria mengembang, menganggukkan kepalanya. “Baiklah Pras. Simpan saja nomor abang. Hubungi ketika kamu perlu.”
“Terimakasih banyak bang…”
☻☻☻☻☻