Kenangan

1453 Words
Kau tak akan mengerti bagaimana kesepianku menghadapi kemerdekaan tanpa cinta Kau tak akan mengerti segala lukaku karena cinta telah sembunyikan pisaunya. Membayangkan wajahmu adalah siksa. Kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan. Engkau telah menjadi racun bagi darahku. Apabila aku dalam kangen dan sepi Itulah berarti aku tungku tanpa api. Rendra ☻☻☻☻☻  “Assalamu’alaikum,” sapa gadis lembut berwajah hitam manis itu pada Dzakia. Lesung pipinya mengembang saat dia tersenyum. “Wa’alaikum salam. Kirain nggak jadi nongol Sha,” sindir Dzakia bercanda sambil melihat jam ditangannya. Alisha sahabatnya, bahkan Dzakia menganggapnya lebih dari sahabat. Sudah seperti kakak sendiri baginya. Gadis itu penyayang, sabar, dan cerdas. “Ngelamunin apa sih? Kayaknya serius banget. Aku kira tadi Kia lihat loh waktu aku lambaikan tangan dari sana. Sampe tengsin sangking malunya yang dilambain nggak ngelihat,” “Masa?” Alisha menganggukkan kepalanya, “Hmm, iya loh. Hayo ngelamunin apa? Pasti mengagumi kecantikan diriku hari ini kan…” candanya. Dzakia tertawa, sahabatnya itu lucu dan pintar merubah suasana hati. “Huuu, Lisha ke-pe-de-an…” ledek Dzakia. Alisha tersenyum lagi, “Gimana berkas, udah siap semua?” “Ah iya. Belum bisa naik sidang. Pegawai tata usahanya bilang penelitian Kia masih prematur. Ada kemungkinan batal wisuda bulan lima ini,” jawab Dzakia sendu. “Lah, kok bisa? Bukannya udah lebih sebulan ya penelitian Dzakia?” “Itu dia, Sha. Penelitiannya memang udah lebih sebulan, tapi lihat deh di mading, ada surat edaran baru dari dekan yang isinya kalau penelitian harus minimal empat bulan baru boleh naik sidang.” “Loh, mulai kapan itu? Buktinya Lisha kemarin enggak loh.” Tanya Alisha heran. “Suratnya turun seminggu sebelum surat penelitian Dzakia keluar. Tapi baru di-publish dua minggu setelahnya. Kalau aja langsung diturunin sama mereka, kan Kia bisa minta tolong tata usaha jurusan buat ngebantuin tanggal penelitiannya, paling enggak mereka tahu permasalahan yang buat Kia lama ngumpulin proposal itu,” jawab Dzakia kesal. Hatinya dongkol bukan main, kesempatannya wisuda dibulan lima bersama dengan teman-temannya mungkin hanya tinggal harapan. Jelas ia harus menunggu sampai penelitiannya berusia empat bulan baru ia diperbolehkan untuk mengajukan sidang.  Memang ia terlambat di banyak hal. Permasalahan dengan pengujinya yang benar-benar menguji emosi dan kesabarannya membuatnya harus terkatung-katung dengan revisi yang tidak jelas. Belum lagi perasaannya yang masih belum mampu ditatanya beberapa bulan lalu juga ikut ambil bagian dalam tertundanya skripsi yang ia kerjakan. “Istigfar sayang,” bujuk Alisha.  “Insyaa Allah ada hikmahnya. Pasti Allah punya rencana lain kenapa kamu harus menunggu lagi. Aku percaya, walau sekarang masih belum terlihat jelas apa itu.” Dzakia mengangguk. Apapun itu akan selalu disyukurinya. Toh dia tinggal menunggu waktu berlalu, kemudian menyelesaikan studinya. Hanya berganti bulan, dia tetap akan diwisuda di tahun itu. Alisha tersenyum melihat sahabatnya yang begitu penurut dan manis, walau wajah dongkolnya masih belum terhapus sepenuhnya. “Ah Kia, kau ingat Nisya?” tanyanya mengalihkan topik pembicaraan, Dzakia mengangguk menjawab.  “Kabarnya kemarin mereka pergi liburan bareng Winda. Aku kesal mereka nggak ngajak kita,” rungut Alisha manja. “Oh ya?” tanya Dzakia sedikit kaget. Alisha menaikkan alis sebagai jawabannya.  “Memangnya pergi kemana mereka?” tanyanya lagi. “Kalau aku nggak salah ke kebun teh. Kau tahu kan kalau aku pengen banget ke sana. Waktu pelatihan kemarin…” Alisha menutup mulutnya, ia kelepasan bicara. Dzakia memalingkan wajahnya. Ia tahu Alisha tak sengaja menyinggung perihal masa pelatihan guru mereka, tapi tetap saja kalimat itu membuat ingatan Dzakia melayang jauh seperti mesin waktu ke masa yang ingin dihapusnya dalam kenangan. ☻☻☻☻☻ “Syid, sinilah kau…” teriak Vino. Rasyid hanya melambaikan tangannya, malas untuk ikut bergabung bersama teman-temannya yang sibuk berfoto ria. Vino dan Jodi yang tak habis akal langsung menghampirinya dan menarik tangannya untuk segera datang mendekat dan berfoto bersama mereka. “Sok jual mahal kau, Syid. Jual murah juga belum tentu laku kau loh,” ledek Jodi. “Dodol si Jodi ini!” rutuk Rasyid. Mau tak mau ia pun masuk kedalam jejeran wanita-wanita yang sudah siap untuk di foto. “Inilah dia istri-isriku….” Teriaknya sambil membentangkan tangan, teman-teman yang mendengar pun tertawa. “Sekali lagi Ju,” teriak Raisa. Ia menarik tangan Dzakia dan mendorongnya kearah Rasyid. Teman-teman yang lain langsung mundur. Dzakia yang tidak siap sontak Hampir jatuh, beruntung Rasyid menangkapnya. Jodi pun tak ingin membuang kesempatan itu langsung mengabadikan moment itu. “Cie, cie… lomantis ayi pun Aa’ Lacid…” goda Vino dari samping Jodi. “Positif ah kalian semua. Temannya Hampir jatuh malah difoto, bukan ditolongin.” ceramah Rasyid. “Udah lah Syid, bilang aja dirimu bahagia. Kita cucikan nanti ya woy….” teriak Jodi berapi-api. ☻☻☻☻☻ Dzakia berjalan masuk ke aula tempat mereka biasa berkumpul. Tangan kirinya masih sibuk menyeka keringat yang mengalir di pipinya dengan tisu, sedang tangan kanannya meraih pintu aula, membukanya. Menyapa beberapa teman yang duduk tak jauh dari pintu masuk sebelum meletakkan bukunya diatas meja disamping Rasyid. “Assalamu’alaikum,” sapa Rasyid dengan senyumnya. “Wa’alaikumussalam,” jawab Dzakia juga dengan senyum manisnya. Ia mengambil botol minuman yang berada disamping tumpukan tugas siswanya, meminumnya. “Hei, minum itu duduk, baca bismillah.” Tegur Rasyid pelan. Dzakia langsung menghentikan tegukannya. “Ups, sorry.” Ujarnya sambil mengambil posisi duduk dan melanjutkan minumnya. “Kenapa hayo kalau minum nggak boleh berdiri?” tanya Rasyid sesudah Dzakia melepaskan dahaganya. “Hmmm, apa ya? Kalau Kia nggak salah itu sunnah Nabi kan? Minum harus pakai tangan kanan, apa lagi makan. Terus jangan lupa baca bismillah biar setan pada kabur dan nggak ikutan menikmati. Abis itu harus duduk. Alasannya kenapa lupa sih.” Dzakia menggaruk-garuk kepalanya yang tertutup jilbab. “Udah tahu alasan simpelnya tapi masih dibuat juga ya,” ledek Rasyid. “Kan tadi udah bilang maaf, Syid. Namanya juga kelupaan. Kia itu kalau udah lupa, biasanya nggak ingat Syid…” “Terus forget deh, ya kaaann.” Sambung Rasyid sebelum Dzakia menyelesaikan kalimatnya. Dzakia tertawa geli mendengar Rasyid yang mulai hafal kebiasaannya. “Jadi kenapa minum harus duduk?” tanya Dzakia lagi. “Pertama ya karena memang sunnah Rasul. Di hadist juga ada, tahu hadistnya kan?” Dzakia mengangguk menjawab pertanyaan Rasyid. “Nah, alasan yang lebih ilmiahnya itu gini. Kalau kita minum waktu duduk, air yang kita minum itu akan disaring sama sfringer. Sfringer itu kayak otot yang bisa membuka dan menutup kandung kemih. Nah fungsinya untuk menyaring air yang kita minum sebelum masuk ke ginjal. Jadi kalau kita minum berdiri, air itu bakal masuk ke ginjal tanpa disaring si sfringer ini. Terus jalan ke kandung kemih dan disana bakal terjadi pengendapan, ini yang bisa menyebabkan penyakit Kristal ginjal atau batu ginjal. Penyebabnya karena susah buang air kecil. Begitu. Jadi adik Dzakia dari TK B sudah paham?” Dzakia mengangguk, “Sudah Kak Lacid. Jadi adik minum lagi lah ya. Adik masih haus kak.” Jawabnya seperti anak TK. Rasyid tersenyum geli melihatnya. “Eh, tumben pakai celana panjang hari ini?” tanya Rasyid, keningnya berkerut. “Oh iya, roknya pada di-laudry semua, belum diambil.” “Hmm, pantes aja siswa-siswa senang kalau kamu pakai celana,” “Memang kenapa?” tanya Dzakia aneh. “Coba difikir sendiri deh.” Jawab Rasyid memberikan jeda untuk Dzakia berfikir. “Pokoknya, besok-besok jangan dipakai lagi ya. Walaupun baju yang kamu pakai cukup panjang, kesannya tetap nggak syar’i.” nasihatnya. Dzakia mengangguk-anggukkan kepalanya, bibirnya dimanyunkannya sedikit. “Eh, foto-foto yang dikebun teh udah dicetak?” “Udah,” jawab Dzakia singkat. “Mana? Dibawa nggak?” Dzakia menggelengkan kepalanya, “Ditinggal sama Raisa di posko. Liat aja nanti di posko.” Rasyid menganggukkan kepalanya, “Minggu ini ada kegiatan apa? Nggak ada kegiatan gotong royong kan?” “Tunggu ya Kak Rasyid, kita cari dulu agendanya,” ujar Dzakia sambil merogoh tasnya untuk mencari buku agendanya. Biasanya ia menulis semua jadwal kegiatannya disana. “Iya. Minggu ini nggak gotong-royong. Udah mulai nggak efektif semua kegiatannya. Harus segera dirapatkan lagi. Gimana menurut Kak Rasyid?” Rasyid mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia selalu senang ketika berada dalam forum diskusi bersama Dzakia. Gadis itu berwawasan luas, lugas dan kritis. Banyak hal yang dapat ia diskusikan bersama, mulai dari kegiatan posko, perkembangan pergerakan islam, kenaikan harga bahan pokok, bahkan urusan politik pun sering menjadi bahan diskusi mereka. Walau itu selalu hanya menjadi diskusi belaka. ☻☻☻☻☻ “Kia maaf. Aku nggak bermaksud buat kamu inget tentang itu loh,” pinta Alisha sambil mengernyitkan keningnya. Dzakia mengangguk, ia paham. Benar-benar paham. Tapi apa daya, ingatan itu berhamburan keluar begitu saja. Membuatnya harus memalingkan wajah, tak ingin sahabatnya melihat bahwa ada bulir hangat keluar dari pelupuk matanya setiap ia mengingat kejadian itu.  Sudah setahun berlalu namun rasanya masih butuh banyak waktu untuk Dzakia agar mampu melupakannya. ☻☻☻☻☻
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD