Rasyid berdiri menghadap teluk Persia dengan pemandangan matahari senja di lantai tiga rumahnya. Tangan kanannya menggenggam sebotol air mineral dan peluh masih membasahi wajah dan lehernya setelah melakukan beberapa set olahraga sore.
Helaan napas terdengar berkali-kali dan berat seakan ada banyak beban pikiran yang meliputinya. Setelah kejadian di malam pernikahan Asmara dan kenyataan bahwa Marques mengincar penderitaannya dia sempat memikirkan banyak hal termasuk menghindari Asmara untuk sementara waktu.
Tapi dalam hati kecilnya dia tak bisa berbohong jika ada perasaan gelisah yang selalu meliputinya karena tidak mendengar kabar dari Asmara sama sekali. Rasyid masih ingat dia hanya meminta Edgar yang mengurus laporan soal keseharian Asmara tapi tak perlu melapor kepadanya sebelum dia meminta. Dan hanya hal penting yang menyangkut kehidupan wanita itu yang dilaporkan kepadanya.
“Selamat sore Bos,” sapa Edgar di balik punggung Rasyid.
“Abang Oman ingin bicara dengan Bos, barusan beliau menelpon saya mengatakan jika dia menghubungi ponsel Bos, tapi tak diangkat,” lapor Edgar.
Rasyid menoleh dan Edgar menyodorkan ponsel Rasyid yang memang sengaja dia tinggal di ruang kerjanya, karena memang dia ingin menyendiri di ruang gym lantai .
Rasyid melihat ada lebih dari tiga panggilan tak terjawab dari Oman. Dia menghela napas, pasti ada hal penting yang ingin dia sampaikan jika Oman menelponnya sebanyak ini.
“Ada apa menelponku?” tanya Rasyid dingin. Oman sempat menggerutu panjang lebar karena sikap Rasyid ini yang akhir-akhir ini sering menghilang.
“Ayolah Brother, aku kan sudah bilang untuk tidak larut dalam masalah ini kenapa kamu malah lari dari kenyataan,” ucap Oman kesal.
“Jika kamu menelponku untuk ceramah lebih baik aku tutup saja telponnya,” kata Rasyid cepat dan bersiap menutup telpon tapi Oman berteriak memanggilnya.
“Aku mau memperjelas semuanya dan setelah itu terserah kamu mau gimana,” kata Oman cepat.
Rasyid mengerutkan dahinya tak mengerti. Edgar yang masih ada di sana juga memperhatikan gerak gerik maiikannya itu. Rasyid menyerahkan botol airnya dan Edgar menerimanya begitu saja.
“Cepat katakan, aku tak punya banyak waktu,” kata Rasyid masih dingin. Oman berdehem sesaat.
“Andi sudah resmi jadi jembatan Marques di Indonesia, setelah aku menyelidiki melalui banyak orang terdekat dengan Andi. Yang memberi perintah semua ini adalah Marques dan imbalannya Asmara akan kembali dengan Andi jika dia berhasil. Itulah kenapa Andi melakukan semua drama ini,” kata Oman.
Rasyid yang berdiri di pembatas balkon rumahnya menggenggam erat pagar itu karena kesal mendengarnya. Dia merasa saingannya untuk mendapatkan Asmara lebih berat kali ini dibanding bersaing dengan Reno.
“Lalu,” timpal Rasyid singkat.
“Dika mengatakan kepadaku soal asumsimu sebelumnya dan aku rasa itu benar. Marques ingin melihat bagaimana pertarungan kalian memperebutkan Asmara dan itu jadi hiburan tersendiri baginya,” kata Oman.
Hening.
“Jadi saranku, fokuslah pada Ar Madin dan World Biz Ras, aku tahu kamu akan mengirim pengawal safari untuk mengawasi Asmara. Tapi jika kamu terlalu ikut campur dengan semua kehidupannya itu akan membuat Marques senang, artinya umpannya berhasil,” saran Oman.
Rasyid memijat keningnya mendengar saran Oman, Dia paham sekali soal itu bahkan beberapa bulan ini dia sudah melakukan hal itu tapi apa yang dia dapatkan. Hatinya semakin hampa dan hampir tiap malam dia bermimpi bertemu Asmara dengan tangisan yang tiada henti, seakan dia menyalahkan dirinya untuk masalah ini.
“Dia mendapatkan semua ini karena aku, jadi aku tidak akan meninggalkannya. Apapun yang terjadi, aku sudah berjanji untuk membantunya,” kata Rasyid pelan tapi penuh ketegasan.
Oman hanya menghela napas mendengarnya. “Berhati-hatilah, aku sedang menjadwalkan untuk bertemu dengan Kendra dan menceritakan semua masalahmu ini, jadi tolong jangan gegabah,” pesan Oman.
“Aku ga janji, aku tak bisa memaafkan orang yang menyakiti Asmara, siapapun dia,” kata Rasyid dan mengakhiri panggilan itu.
Rasyid melempar ponselnya begitu saja, Edgar yang tak siap dengan reaksi bosnya itu hanya bisa memandang ponsel Bosnya yang sudah berenang dengan indah dalam kolam renang. Edgar hanya bisa menghela napas dan ini ponsel ketiga Rasyid yang sudah ‘menderita’ karena kekesalannya bosnya.
“Ada apa sebenarnya?” tanya Rasyid karena Edgar tak kunjung pergi dari sana. Edgar berdehem dan melapor apa yang dia ketahui.
“Tuan Alfin Ar Madin meminta waktu untuk bertemu dengan Bos dalam minggu ini. Bukan masalah membahas perjodohan atau apapun itu tapi soal bisnis Ar Madin dan semua hal yang ditinggalkan oleh Tuan Besar Barrack Ar Madin,” kata Edgar pelan.
Rasyid memikirkan apa yang diucapkan Edgar. Dia tahu apa yang sudah dilakukan kedua tetua itu dan karena itulah Marques memusuhinya dan membuat hidup Asmara dalam kondisi rumit.
“Aku rasa bertemu dengan Papa bukan hal yang buruk,” gumam Rasyid. Edgar menatap bosnya itu dan menunggu jawaban pastinya.
“Weekend ini aku akan pulang ke mansion Ar Madin, dengan syarat tanpa Laila atau apapun tentang perjodohan. Jika sampai aku mendengar soal perjodohan, seumur hidup aku tak akan menginjakkan kaki di mansion Ar Madin,” ancam Rasyid dan berlalu dari sana.
***
Rasyid sudah rapi dengan setelan santai melintas di ruang keluarga miliknya. Dika dan Edgar yang asyik duduk santai di sana melihat jika Rasyid hendak pergi.
“Mau diantar?” tanya Dika dan Rasyid menggeleng. “Standby aja, aku cuma sebentar itupun kalo ga ada masalah,” kata Rasyid santai dan dia mengangkat tangannya tanda berpamitan.
Edgar memandang bosnya yang nampak berbeda kali ini. Dika tahu apa arti pandangan itu dan dia menepuk pundak Edgar pelan.
“Setidaknya kita ga perlu buang uang buat cari wanita yang musti disterilkan,” kata Dika santai. Edgar tersenyum samar jika mengingat hal itu. Karena memang bosnya menginginkan wanita steril, bersih dan bukan wanita malam untuk melayani keinginannya.
“Tapi bukan hanya itu saja sih Bang, tapi Bos lebih pasif dan diam setelah dia tahu Nona Asmara menikah dan mengalami semua drama yang dia sebabkan,” kata Edgar.
Dika mengangguk, “Aku tahu soal itu, karena itu kita cuma bisa ngawasin aja. Aku dengar Oman sempat nelpon Rasyid, apa ada hal serius?” tanya Dika.
Edgar menggeleng, “Cuma pesan kepada Bos untuk tidak gegabah karena Marques itu licik dan dia mau ngelobi Kendra untuk masalah ini dan meninggalkan urusannya dengan Asmara. Tapi ponselnya tenggelam di kolam renang,” ucap Edgar menunjuk ke atas setelah mengatakan itu.
Dika menggeleng pelan, “Oman ga bilang target Marques apa?” tanya Dika dan Edgar menggeleng. Dika berdecak, “Lambat banget sih itu bocah, kenapa ga langsung ngomong to the point aja sih,” keluh Dika kesal. Edgar hanya mengangkat bahunya tak mengerti.
“Soal kehamilan Asmara kamu udah bilang ke Rasyid?” tanya Dika memastikan dan Edgar menggeleng. Dika menghela napas, “Iya sudah, biarin aja dia tahu sendiri,” kata Dika.
***
Rasyid memasuki mansion keluarganya dengan perasaan tak tenang. Dia sudah menyiapkan banyak pertanyaan demi terbongkarnya semua rahasia keluarganya selama ini dan dia ingin tahu cara apa yang bisa dia lakukan untuk meminimalisir kegilaan Marques.
“Cucuku sudah datang, ayo makan dulu, setelah itu kita bicara bersama, terutama soal pertunanganmu,” kata Nenek Isna semangat. Rasyid menghela napas, “Rasyid ke sini bukan mau makan Nek, tapi Rasyid mau ketemu sama Papa,” kata Rasyid tegas.
Nenek Isna sempat kesal tapi sebenarnya dia tahu tujuan cucunya kemari. “Kita sudah lama tidak ngobrol kenapa kamu harus to the point begitu,” kata Nenek Isna manja.
Rasyid menghela napas dan dia mengucapkan satu kalimat yang membuat neneknya bungkam. “Jangan mengajakku ngobrol jika itu urusan perjodohan atau aku tidak akan sudi lagi datang kemari,” ucap Rasyid tegas.
Pria itu berjalan meninggalkan neneknya yang masih bengong di sana karena ucapannya. Rasyid melirik ke arah berlawanan dan melihat jika mamanya melihat kejadian ini. Tapi dia tak peduli dan berjalan ke ruang kerja ayahnya.
“Ada apa Papa meminta ketemu denganku,” kata Rasyid begitu masuk ruang kerja ayahnya tanpa mengetuk pintu dan dia melihat asisten ayahnya ada di sana. Asistennya berniat pergi tapi ayahnya melarang.
“Apa aku harus ada urusan dulu jika mau bertemu dengan anakku yang mulai kurang ajar dan tak menghormati orang tuanya,” kata Papa Alfin.
Rasyid berdecak dan menghempaskan tubuhnya di sofa yang ada di sana. “Untuk apa aku harus menghormati orang tua jika sebenarnya keluarga Ar Madin ini begitu hina dan membuatku menyesal lahir dari keturunan Ar Madin,” balas Rasyid mengena.
Ayahnya membulatkan matanya dan mengepalkan tangan mendengar kalimat tak sopan anaknya, tapi Rasyid tak takut sedikitpun. Papa Alfin ingat informasi yang baru-baru ini dia dapatkan jadi dia berusaha tenang dengan emosi anaknya itu.
“Kita bicara di ruang keluarga bersama dengan yang lain terutama Nenek Isna, karena beliau yang tahu semua ini,” kata Papa Alfin berdiri dan keluar ruangan.
Di ruang keluarga Rasyid sudah melihat mama dan Neneknya ada di sana, dia menyadari jika keluarganya sengaja membuat momen seperti ini. Dia duduk di sebrang semua orang dan tak berapa lama Dika dan Edgar juga datang membuat Rasyid menatap tajam kepada ayahnya.
“Aku yang meminta mereka datang, bukankah mereka orang kepercayaanmu jadi mereka juga harus tahu kebenarannya kan,” ucap Papa Alfin tanpa dosa.
Dia melihat asisten kakeknya, Rahman jika tak salah membawa setumpuk dokumen dan meletakkan di meja. Papa Alfin menatap Rasyid.
“Sebagai pewaris Ar Madin kamu harus membaca semua ini, Papa sengaja tidak menyuruh Lukman untuk menyimpan atau menyalinnya karena data ini semua asli dari Kakekmu dan kamu harus mempelajarinya sama seperti Papa,” ucap Papa Alfin tapi tak ditanggapi oleh Rasyid bahkan melihat file itu saja tidak.
Nenek Isna paham dengan reaksi cucunya ini dan mulai pembicaraan ini mereka. “File ini bukan soal bisnis atau cara mengelola Ar Madin, tapi file ini berisi bukti kenapa keluarga kita dimusuhi oleh keluarga Alexander,” kata Nenek Isna.
Rasyid dan dua orang asistennya langsung fokus menatap file itu. Misteri yang selama ini mereka cari ternyata ada di hadapan mereka.
“Aku tahu kamu bekerja sama dengan The Shadow yang tak lain Oman teman kamu sendiri untuk mencari semua fakta itu. Tapi daripada kamu atau teman kamu salah mengambil kesimpulan karena banyaknya data yang hilang, lebih baik kami memberikannya kepadamu,” kata Nenek Isna.
“Sebenarnya kami ingin memberikannya saat kamu sudah memiliki istri, bukan tanpa alasan, tapi memang istri Ar Madin juga harus siap dengan ancaman ini. Termasuk penolakanmu kepada Laila itu kami tahu karena kamu tak menginginkan dia jadi istrimu,” kata Nenek Isna selanjutnya.
Rasyid masih diam menunggu apa yang harus dia ketahui soal ini. Nenek Isna memandang mama dan papa Rasyid secara bergantian dan keduanya mengangguk seakan itu kode jika kenyataan ini harus Rasyid ketahui.
“Yang sebenarnya adalah Ar Madin dan Alexander itu masih memiliki hubungan saudara, kakekmu, Barrack Ar Madin adalah sepupu Lincoln Alexander dari pihak ibu yang tak lain adalah Kakek Marques Alexander,” pembukaan Nenek Isna membuat Rasyid membulatkan matanya.
Bagaimana bisa dia dan Marques masih ada hubungan saudara meskipun dari pihak ibu tapi ini kenyataan yang tak bisa dianggap remeh.
“Berita yang mengatakan jika Kakek Barrack membunuh seseorang dan tidak mendapatkan hukuman itu benar dan yang dibunuh adalah Lincoln,” ujar Nenek Isna pelan dan tercekat seakan dia membuka luka lama.
Rasyid memandang raut wajah neneknya yang berubah sendu dan terluka dalam waktu yang sama. Entah kenapa kali ini sikap dinginnya kepada Neneknya membuat dirinya merasa bersalah kali ini.
“Ada alasan kenapa Kakek melakukan itu,” kata papa Alfin membantu menjelaskan. Nenek Isna menggeleng dan membiarkan dirinya yang menjelaskan.
“Nenek dan Kakek dijodohkan oleh orang tua kami, awalnya kakek juga menolak sama seperti kamu karena nenek menjalin hubungan dengan Lincoln. Kakek tak mau jika nantinya hubungan dengan saudara terganggu karena masalah perjodohan ini,” Nenek Isna mengatakan dengan tenang.
“Tapi keputusan keluarga tak bisa dibantah sehingga Kakek menerima Nenek termasuk saat Nenek mengandung anak kami sebelum Alfin yaitu Alfa, yang meregang nyawa di tangan Lincoln,” ucap Nenek Isna dengan suara serak.
*****