CH.62 Hard Lesson

1655 Words
Rasyid mendengar suara sumbang itu, dia menoleh kemana suara itu berasal dan memicingkan matanya. Tapi akhirnya dia memutuskan untuk duduk dan menyandarkan tubuhnya yang mendadak terasa lelah atau sebenarnya pikirannya yang lelah. “Ed, pesenin minum yang dingin,” pinta Rasyid dan Edgar bergegas untuk menjalankan perintah Rasyid. “Ada apa denganmu?” tanya Aldo bingung bukan khawatir melihat keadaan Rasyid seperti sekarang. Dia memejamkan matanya, Aldo menanti jawaban  yang tak kunjung datang membuatnya ingin berkomentar kembali tapi Rasyid sudah mengeluarkan isi kepalanya. “Jangan ngomongin soal cinta sama aku, sampai kapan pun aku ga percaya sama yang namanya cinta. Dan cinta itu beda tipis sama butuh,” kata Rasyid. Aldo mulai penasaran dengan pemikiran macam itu. “Cinta dan butuh, maksudnya gimana?” tanya Aldo penasaran dan menunggu sepupunya itu menjawab. “Banyak orang bilang cinta tapi sebenarnya dia hanya butuh kehadirannya untuk mengusir sepi, jelas banget kalo orang itu ga da dia akan merasa kesepian dan mengira itu cinta padahal sebenarnya cuma butuh doank,” analogi Rasyid. Aldo terkekeh mendengar analogi yang pas tapi konyol juga sebenarnya. “Dan menurutmu posisimu seperti itu sekarang?” tanya Aldo sekaligus memastikan. “Aku rasa,” ucap Rasyid lirih dan dia mulai menegakkan tubuhnya dan menatap sepupunya itu. Dia menghela napas kasar. “Lalu, kalo menurutmu kamu cuma butuh sama Asmara, pengertianmu sendiri soal cinta itu bagaimana?” tanya Aldo masih penasaran. Rasyid mengerutkan dahinya sejenak mendengar pertanyaan dari Aldo mencernanya dalam kepalanya. “Dekat dengannya menjadi  hal yang paling mendebarkan. Senyuman dan tawanya yang bisa mengalihkan duniaku. Tak suka jika dia bersama yang lain dan hanya ingin memilikinya. Bisa juga merasa bodoh jika melihatnya terluka,” ucap Rasyid tanpa sadar. Aldo hanya bisa tersenyum mendengarnya. “Pastikan dulu semua definisi itu, sebenarnya kamu alami bersama Asmara atau tidak, baru kamu tentukan kamu mencintai dia atau bukan,” balas Aldo dengan mengedipkan matanya. Aldo menikmati minumannya sedangkan Rasyid malah termenung dengan ucapan sepupunya itu. Memastikan semua yang dia alami bersama Asmara. Sejujurnya dia merasakan itu karena banyak melihat Asmara. Rasyid mengusap wajahnya kasar, “Padahal beberapa waktu lalu, aku masih melihatnya tersenyum kepadaku kenapa sekarang dia malah jutek sama aku,” gumamnya. Aldo tersenyum karena dia paham apa yang sedang dialami oleh sepupunya  ini. “Dia lagi bad mood, maklumi aja,” kata Aldo sok polos. Rasyid mengangguk. “Jadi apa rencanamu selanjutnya?” tanya Aldo dan Rasyid menghela napas, dia membasahi tenggorokan dengan minuman yang sudah dibawa oleh Edgar. “Mau gimana lagi, bertindak seolah tak terjadi apapun,” ucap Rasyid santai tapi sebenarnya pikirannya berkecamuk karena melihat kemarahan Asmara tadi. Aldo menggelengkan kepalanya tak percaya dengan apa yang Rasyid katakan. “Ini tak seperti dirimu yang sesungguhnya,” sahut Aldo. Rasyid melipat tangannya di depan tubuhnya, “Menurutmu begitu?” tanya Rasyid sedikit membenarkan. “Apa yang kamu dapatkan jika kamu membiarkan semuanya begitu  saja, apa dia akan datang kepadamu seperti wanita lain yang minta dinikahi? Atau minta dimanja? Enggak, kan? Aku rasa kamu memiliki banyak peluang kenapa kamu ga mencoba memanfaatkannya,” usul Aldo. “Peluang apa maksudmu?” tanya Rasyid tak mengerti. “Dia akan bercerai dengan suaminya kenapa kamu tak memanfaatkannya dengan selalu berada di sampingnya, dukung dia, kalo perlu kamu membantunya untuk mempercepat proses perceraian ini,” kata Aldo sederhana tapi dia tak terpikirkan. Rasyid mengangkat sudut bibirnya dan paham apa yang akan dia lakukan berikutnya. Pria itu teringat satu hal dan meminta Edgar mengambil apa yang dia inginkan. Tak lama Edgar kembali membawa satu map dan satu kotak berwarna coklat. “Lunas,” kata Rasyid. Aldo membuka pemberian Rasyid dan dia tertawa. “Sering-sering aja ngerepotin, lumayan kalo ngerepotin dapet apartemen,” candanya membuat Rasyid berdecak kesal tapi tak lama dia juga ikut tertawa. *** Keesokan harinya Aldo mendapatkan telpon dari Rasyid jika Asmara kembali ke kafe yang didatangi semalam tapi tak tahu untuk apa. Dan Rasyid memintanya untuk menemuinya di sana. “Harus banget kepomu sebesar ini sampai nyuruh kita jadi pengamat ga professional kaya sekarang,” keluh Aldo  tapi Rasyid langsung menolehkan kepala Aldo ke sudut kafe. Aldo menatap Rasyid penuh tanya. “Ayo kita beresin sekarang, kalo perlu kasih tahu dia siapa yang selama ini bantuin Asmara, biar  dia kapok,” kata Rasyid. Keduanya masuk kafe, Rasyid mengambil duduk di dekat mereka sedangkan Aldo mendekati Asmara seolah baru datang. “Saranku sih, kalian ga usah maccm-macem lagi mulai sekarang, jalani hidup masing-masing dan tunggu aja surat cerainya, jangan coba-coba untuk deket lagi sama Asmara, kecuali elu mau berurusan juga sama Ar Madin,” ancam Aldo. Keduanya nampak pucat mendengar nama Ar Madin, Rasyid yang ada di meja sebelah cukup puas dengan ‘pertunjukan’ ini. “Apa maksudmu?” tanya Sinta terbata dengan tatapan tak suka kepada Aldo. “Rasyid Ar Madin sudah melibatkan diri dalam urusan ini, jadi tanpa aku jelaskan lebih lanjut kalian bakal tahu apa yang bisa dia lakukan kalo kalian sampai gangguin Asmara lagi,” kata Aldo memperjelas semuanya. Asmara menatap Aldo setelah dia mengatakan itu, ada rasa penasaran dalam dirinya kenapa banyak orang yang merasa terkejut dengan nama Rasyid. Sedangkan Rasyid sendiri senang dengan ancaman yang dilontarkan oleh Aldo. “Cepat, katakan saja apa maumu,” ketus Asmara. Sinta dan Dev saling pandang dan sebuah kalimat tak tahu diri muncul. “Kembalilah pada Dev dan aku terimalah aku jadi istri kedua,” ucap Sinta tapi nadanya seakan memerintah. Bbbraaakk… Praangg.. Suara berisik di meja sebelah membuat Asmara dan yang lainnya menoleh. Mereka melihat meja yang patah dan pecahan gelas di lantai. Tapi Rasyid yang duduk di sana sudah berdiri dan pergi ke kasir sehingga yang lainnya tak menyadari pergerakan itu kecuali Aldo. Rasyid keluar dari kafe itu dengan amarah yang tak bisa ditahan lagi. Dia masuk mobil dan meminta Edgar untuk melaksanakan perintahnya. “Apa harus seperti itu Bos?” tanya Edgar tak percaya jika bosnya melakukan hal ini. “Kenapa kamu jadi cengeng sekarang, sejak kapan kamu jadi tak patuh seperti ini?” keluh Rasyid. Edgar menggeleng dan menghubungi orang yang dia percaya untuk melakukan hal ini. Tak berapa lama Rasyid melihat Asmara dan Aldo bicara di depan kafe. Di belakang mereka ada adiknya Asmara. Entah apa yang mereka bicarakan tapi adiknya Asmara kembali ke mobil sedangkan Aldo dan Asmara berjalan ke taman dekat kafe. “Nama adeknya Asmara sapa sih?” tanya Rasyid tapi pandangannya masih tertuju pada kedua orang itu. “Firman Bos,” jawab Edgar dan Rasyid mengangguk. Edgar melirik bosnya dan Rasyid menyadari itu. “Biarkan saja Aldo dan Asmara, kali ini fokus kita sama Dev dan Sinta, mereka harus diberi pelajaran sebelum jadi benalu buat Asmara,” kata Rasyid. Orang yang mereka tunggu muncul, Rasyid memberi kode kepada Edgar untuk mengikutinya dan menjalankan rencana mereka. Ketika Dev dan Sinta sampai di tempat yang tak terlalu ramai ada dua mobil SUV hitam menghadang mereka yang membuat mereka kaget. Rasyid dan Edgar masih melihat mereka dari kejauhan. Dev dipukuli sekitar empat orang dan Sinta dipegangi oleh dua orang pria dengan posisi berlutut. Sinta menjerit dan meminta mereka untuk menghentikan semua ini tapi mereka tak peduli. “Mana pisau lipat yang biasa kamu bawa?” tanya Rasyid membuat Edgar menelan ludahnya tapi dia tetap memberikan pisau itu. Rasyid turun dari mobil dan menghampiri kerumunan di sana. Edgar tak punya pilihan lain selain mengikutinya. Mereka semua menghentikan pukulan mereka ketika melihat Rasyid datang. Dev yang sudah tak berdaya hanya bisa tergolek lemah di aspal jalanan. Sinta kaget melihat siapa yang datang. “Rasyid,” lirihnya. Pria itu hanya melirik sekilas dan tetap mendekati Dev. Dia melirik anak buahnya dan mereka paham kode itu lalu menarik Dev untuk bangun dan melihat Rasyid. “Bagaimana mungkin lelaki lemah macam ini bisa melindungi Asmara seumur hidupnya,” sindir Rasyid tapi dengan pisau yang berjalan pelan di wajah Dev. Rasyid bisa mendengar umpatan dan jeritan tak rela Sinta atas perlakuannya kepada Dev. Rasyid berdecak kesal mendengarnya. “Astaga, kenapa dia berisik sekali, aku tak bisa fokus bicara,” keluh Rasyid penuh drama. Anak buahnya di samping Sinta langsung menamparnya yang membuat ujung bibirnya berdarah dan tak bicara lagi. “Apa maumu?” kata Dev terbata karena menahan sakit. Rasyid terkekeh, “Pertanyaan bodoh macam apa ini, kamu jelas tahu maksudku, kenapa masih bertanya,” ucap Rasyid. “Tidak mungkin kalo selama ini kamu yang membantu Asmara,” ucap Dev penuh keyakinan. Rasyid mengerutkan dahinya dan menusukkan ujung pisau itu ke pipi Dev tapi tak sampai dalam namun cukup membuat luka di sana. “Aku tak tanya pendapatmu soal itu, mulai sekarang urusan Asmara akan jadi urusanku. Jika kamu masih ingin panjang umur, cukup kamu jauhi dia dan tanda tangani surat cerai itu,” desis Rasyid. Cuuiihhh… Dev meludah dan darah yang keluar dari mulutnya, air liur bercampur darah itu mengenai baju Rasyid yang ada di dekatnya. Anak buah Rasyid langsung menghajarnya sampai dia kembali tersungkur. “Sampai kapanpun aku tak akan melepaskan Asmara apalagi untukmu,” kata Dev. Rasyid tertawa mendengarnya, “Apa menurutmu Asmara akan kembali padamu meskipun dia tak mendapatkan bantuan dariku, haaaa!” teriak Rasyid. Rasyid berdiri dan dia menginjak tangan Dev begitu saja. Dev menjerit kesakitan. “Rasyid lepaskan dia, kamu gila, aku akan melaporkanmu ke polisi!” teriak Sinta. Rasyid menoleh dan menatap wanita itu. “Tutup mulut ularmu itu wanita j4lang atau aku akan minta semua anak buahku menjadikanmu piala bergilir,” kata Rasyid dan Sinta langsung bungkam dengan ekspresi ketakutan. “Aku melepaskanmu kali ini, tapi ingat jauhi kehidupan Asmaara mulai sekarang dan tanda tangani surat cerai itu, jika kamu bersikeras untuk tetap bersama Asmara, lihat saja apa yang bisa aku lakukan pada anak harammu itu,” ancam Rasyid dan dia menarik kakinya. Sinta menggeleng dan memohon kepada Rasyid untuk tidak menyentuh anaknya. Edgar mencengkram pundak Sinta untuk menahan agar dia tidak terlalu dekat dengan Rasyid. Rasyid jongkok di hadapan Sinta, “Selesaikan pekerjaanmu atau kembalikan semuanya dan salinan perjanjian itu akan sampai ke tangan suami lucknut mu itu!” bisiknya dan Sinta mengangguk paham.  ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD