CH.15 Connection

1771 Words
“Kalian ada dimana?” tanya Oman setelah panggilannya sudah dijawab oleh Edgar. “Itali,” jawab Edgar dengan kode anggukan dari Rasyid. “Aku sudah buka jalurnya, tapi aku ga yakin ini akan bertahan sampai kapan,” ucap Oman cemas. Rasyid mengerutkan keningnya, jika Oman merasa cemas itu artinya orang ini bukan orang sembarangan. “Siapa dia sebenarnya Bang?” tanya Edgar yang membuat semua orang saling tatap untuk menanti analisa Oman. “Aku ga percaya sebenarnya, tapi banyak bukti yang mengarah kepadanya. Dan kalian ga bisa hadapi ini sendirian,” kata Oman. “Kenapa Bang?” tanya Edgar kembali masih penasaran. “Karena dia Marques Alexander,” kata Oman dan membuat semua orang menegang. Rasyid mengepalkan tangannya menahan emosi, dua tahun dia berusaha mencari pria itu, Marques Alexander dan kini dia muncul sendiri dengan kekacauan apalagi yang dia buat. Awalnya Rasyid tak peduli dengan Marques, dia hanya mengira Marques seorang pengusaha biasa yang bersaing dengannya, tapi setelah dia tahu semua ini ada kaitannya dengan Nima, Marques perlahan mulai mengusik kehidupannya. Dan yang paling tidak bisa dimaafkan oleh Rasyid adalah pria itulah yang membunuh Nima saat itu di Paris, meskipun hanya dugaan tapi dia yakin dialah pelakunya. “Siial, kenapa dia harus muncul di saat semuanya sudah mulai tenang,” geram Rasyid dengan rahangnya mengeras dan tangannya ingin menghajar orang. Adrian yang sedari awal tak mengerti masalah ini menatap Rasyid. “Ada urusan apa kamu dengan Marques?” tanya Adrian bingung membuat yang lain hanya bisa menghela napas. Oman yang mendengar suara Rasyid dan yang lain menyadari jika telepon ini dalam mode pengeras suara. “Rasyid,” panggil Oman membuat Rasyid fokus pada panggilan Oman. “Aku di sini, gimana?” tanya Rasyid. “Aku udah email semua yang kamu minta, kamu bisa baca detilnya tapi satu hal yang harus kamu tahu. Priandita punya kaitan sama Marques,” kata Oman. Rasyid yang mendengar itu merasa sesak napas mendadak. Bagaimana bisa seorang Sanjaya menjadi anak buah Marques yang terkenal kejam itu. “Kok bisa?” Cuma itu komentar yang keluar dari mulut Rasyid. Oman hanya berdehem, “Aku tak bisa jawab soal itu, tapi firasatku tak enak soal ini. Jadi kamu berhati-hatilah,” kata Oman dan mengakhiri panggilannya. Edgar langsung kembali untuk memeriksa semua data yang memang harus dia dapatkan untuk mengusut semua kasus ini. Pengawal Rasyid itu terkejut dengan apa yang dia dapatkan. “Bos, ini ga bisa dibiarkan,” kata Edgar menghampiri semua orang yang ada di sofa. Edgar meletakkan laptopnya di meja kecil dan memberi kode untuk membuka tablet mereka. Edgar menyambungkan satu link agar mereka bisa melihat tampilan yang ada di laptop Edgar secara bersamaan. Ketiganya fokus pada tulisan yang muncul di sana. “Total kerugian kita memang jutaan Euro, tapi sebenarnya dana itu tidak benar-benar hilang dari rekening kita, hanya satu sampai tiga juta yang hilang, sisanya dibekukan dalam rekening berbeda yang hanya bisa diakses oleh satu orang,” kata Edgar. Dika mengerutkan dahinya dalam siapa kemungkinan orang yang bisa melakukannya. Sedangkan Adrian menghela napas, orang macam apa yang bisa mencuri uang sedemikian besar tanpa menyentuh apapun di sini. “Marques,” kata Rasyid dan Edgar mengangguk. “Dia gunakan uang yang kita ambil untuk cuci uang dan manipulasi perusahaan yang dia miliki,” kata Edgar. Dika terbelak, “Tapi nantinya jika ada kasus hukum, Bassil yang kena karena uang itu berasal dari Bassil,” asumsi Dika dan Edgar mengangguk. Ketiganya mulai paham kemana masalah ini akan dibawa, kasus pencucian memang terlihat biasa dan samar, tapi jika intelejen sampai tahu hukuman penjara memang tak lama tapi semua asset yang dimiliki akan disita, entah itu berkaitan atau tidak. Jika menilik apa yang dimiliki World Biz dan Ar Madin, itu bisa jadi malapetaka. Kekayaan Ar Madin sendiri ditaksir ratusan milyaran dollar dalam berbagai asset, dapat digunakan sampai lima generasi, jika semua itu disita sama aja mereka bangkrut mendadak dan membuat negara yang menangkap mereka kaya mendadak. Sedangkan World Biz sampai hari ini memang terlihat kecil dibanding Ar Madin yang hanya milyaran dollar, tapi World Biz memiliki bisnis dengan perputaran uang yang cepat dan semua orang tahu hal itu. Bisa dibayangkan jika semua yang mereka miliki disita nama Ar Madin sepertinya akan menjadi sejarah. “Pikir Rasyid, pikir, gunakan otakmu kali ini, fokus,” gumam Rasyid sambil memijat keningnya untuk mendapatkan solusi. “Yang utama sekarang adalah mengeluarkan uang yang dibekukan itu dulu sebelum intelejen mencium pergerakannya,” kata Rasyid. “Puluhan juta yang ada di sana pasti dia akan meminta pertukaran yang sepadan untuk itu,” pikir Rasyid. “Apa yang kita punya yang sekiranya dijadikan barter oleh Marques?” tanya Rasyid kepada semuanya. Dika yang tahu semua harta kekayaan Rasyid menebak kemungkinan yang muncul. “Selain Bassil yang memiliki long life, kilang minyak milik Ar Madin di Russia, perkebunanmu di seluruh Indonesia dengan sasaran ekspor ke banyak negara. Aku kira hanya tiga itu yang paling menghasilkan,” kata Dika. Rasyid diam memikirkan jumlah uang yang bisa diambil oleh Marques mendengar apa yang dibicarakan Dika. “Jika dia memilih salah satu hasilya mungkin sedikit sepadan, tapi kalo dia ambil dua atau tiga tidak akan sepadan,” kata Rasyid. “Tapi efek jangka panjangnya akan sepadan Ras, puluhan juta Euro bisa kamu dapatkan lagi dalam beberapa tahun, tapi jika disita semua asset kamu, memulainya bisa lebih lama daripada kehilangan satu asset terbesar,” analisa Adrian. Rasyid diam mencerna segala kemungkinan yang bisa dia lakukan sebagai penanggung jawab semua ini. Tak sampai hitungan menit dia menemukan ide sedikit gila tapi menurutnya paling mungkin dilakukan. “Tunggu, aku dengar Marques akan bertemu dengan rivalnya jika dia merasa kesal dengan musuhnya itu. Menurutmu apa yang bisa membuatnya kesal?” tanya Rasyid dengan menatap semuanya dan berhenti pada Edgar. Ketiganya diam berpikir tentang apa yang dikatakan oleh Rasyid. Dika yang paham tabiat Rasyid langsung terhenyak. “Bentar, jangan bilang kalo kamu mau bikin dia kesal agar dia muncul di hadapanmu,” tanya Dika membuat semuanya menatap Rasyid. Pengusaha muda itu hanya mengangkat sudut bibirnya dan menyandarkan tubuhnya di sofa. “Maybe yes, depend on what kind things make him angry to me,” kekeh Rasyid. “Elu gila, fix!” umpat Adrian. Dika menatap Rasyid dengan pandangan tak setuju. “Setor nyawa itu namanya,” komentar Dika. Rasyid hanya terkekeh dengan komentar temannya, “Kan masih mungkin, lagipula itu semua tergantung poin apa yang membuat dia marah, jadi kalo aku tak bisa melakukannya ya aku akan buat dia kesal dengan caraku,” kata Rasyid masih santai. “Saya tidak setuju ide itu Bos,” komentar Edgar yang langsung mendapat dukungan dari yang lain. “Selain bisa kehilangan nyawa Bos sendiri, itu akan jadi keuntungan buat Marques karena pesaing terkuatnya sudah tidak ada,” lanjut Edgar. “Setuju sama Edgar,” Dika dan Adrian kompak menjawab hampir bersamaan. Rasyid menggelengkan kepalanya, “Cari tahu dulu apa yang bikin dia marah atau kelemahannya. Kenapa kalian berpikir aku bakal mati,” decak kesal Rasyid. Pria muda itu berdiri dan berjalan ke meja kerja Adrian. Keduanya langsung paham dengan reaksi Rasyid seperti itu, artinya mereka harus kembali pada pekerjaan masing-masing, diskusi sudah selesai. “Jam 4 jangan lupa Ras, aku sudah masukin di jadwal juga,” kata Adrian yang keluar dari ruangan itu. Jika Rasyid sedang tidak ada di Bassil, Adrian memang menempati ruangan ini, tapi ruangannya sendiri bukan di sana, tapi di sebelah Rasyid. Edgar sudah keluar ruangan dan Dika yang hendak menyusul Edgar ingat sesuatu. “Ada urusan apa kamu sama Priandita Sanjaya?” tanya Dika setelah berbalik. Rasyid yang awalnya lupa dengan ucapan Oman sebelumnya, teringat jika ada satu hal yang belum dia cek. “Ga ada, kenapa emangnya?” bantah Rasyid. Dika yang mendengar bantahan Rasyid itu semakin curiga. Rasyid yang mengira Dika akan pergi karena ucapannya tak sadar jika asistennya itu datang mendekat. Saat yang sama dia membuka email dari Oman yang berisi informasi Asmara. “Lalu kenapa kamu bertanya soal Priandita kepada Oman?” selidik Dika tapi matanya jelalatan ke computer Rasyid. Pria itu yang mendapat pertanyaan dadakan dari Dika terlonjak kaget. “Busyet,, elu kaya setan aja mendadak muncul,” komentar Rasyid tapi Dika malah tertawa karena kali ini tulisan di email itu terbaca olehnya. “Bilangnya bukan cinta, tapi masih ada dicariin, muna lu,” cela Dika membuat Rasyid sadar dan menggesser komputernya. “Resek, diem aja lu, ga usah ikut campur,” omel Rasyid. Dika makin terbahak melihat reaksi Rasyid yang panik kaya ketahuan tindak kriminal. Dika menarik kursi yang ada di dekatnya dan duduk menghadap Rasyid. “Jujur deh sama aku sebenarnya apa sih yang bikin kamu bisa so attractive with her,” cecar Dika penasaran. “Attractive, maksudmu tertarik dalam apa?” Rasyid masih mengelak. Dika mencibir, “Masih aja ngeles, udah jelas juga kalo kamu masih pengen tahu soal Asmara, kenapa sih gengsimu yang tak perlu itu menguasai,” sindir Dika. Rasyid menghela napas menyandarkan tubuhnya di kursi kerjanya yang empuk itu. “Jika aku tahu kenapa aku bisa berbuat sebanyak ini, aku bisa kontrol dan bakal stop untuk tahu siapa dia,” ucap Rasyid terdengar serius. Dika yang berniat meledeknya mengurungkan niatnya. Rasyid kembali melanjutkan ucapannya karena Dika tak menunjukkan reaksi apapun. “Tapi banyaknya hal yang bisa aku ketahui dan ketidakadilan hubungannya yang memang bukan urusanku membuatku ingin melibatkan diri dalam hidupnya. Dan bayangan dia menolakku tanpa memberiku kesempatan seakan dia meludah tanpa memasukkan makanan ke dalam mulutnya dahulu,” ucapan Rasyid makin serius. “Okay, aku rasa kamu menggunakan perasaanmu kali ini, tapi aku enggan berkomentar karena bisa saja wajah tampanku ini akan teraniaya,” kata Dika meredam keseriusan dalam diri mereka. Rasyid terbahak mendengarnya, “Harus aku akui aku memang berambisi mengejarnya untuk membuat dia jatuh ke pelukanku dan nantinya akan membuangnya pas lagi sayang-sayangnya,” kekeh Rasyid. Dika menggeleng pelan, “Tega bener lu, anak polos kaya dia jangan digituin lah,” kata Dika. Rasyid hanya mengangkat bahunya santai. “Iya mungkin ga sampai seperti itu, tapi setidaknya dia harus mengakui keberadaanku dulu, baru kita lihat aku bakal lepeh dia juga apa enggak,” kata Rasyid cuek. Dia membalikkan badannya dan menatap layar computer. Dika menunggu di belakangnya dan sesekali mengintip karena ingin tahu. Rasyid sadar tingkah Dika dan berdecak, “Buka emailmu sendiri kan di sana ada,” protes Rasyid. Dika tertawa, “Lebih enak gangguin elu, daripada baca sendiri,” candanya. Rasyid hanya diam tak berkomentar. Dika pikir karena candaannya tak bermutu. Tapi saat Dika hendak berdiri suara bosnya itu mengganggu pergerakannya. “Ada yang ga beres Dik,” lirih Rasyid. Dika menoleh, “Apa itu?” pria itu kembali duduk dan menanti kalimat selanjutnya.   “Priandita jadi salah satu anak buah Marques.”  ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD