CH.11 Little Info

1925 Words
Dika menaikkan satu alisnya mendengar ucapan dari Rasyid. “Urusannya apa kalo emang mereka belum tunangan?” tanya Dika emang ga mengerti. Rasyid hanya menaikkan sudut bibirnya, “Kalo mau bersaing  setidaknya kamu harus tahu seberapa kuat musuhmu itu,” kata Rasyid sok bijak. “Bersaing? Maksudnya kamu mau bersaing sama Devio itu?” tanya Dika lebih tepatnya memastikan apa yang temannya ini pikirkan. Rasyid mengangguk dengan tatapan bangga. “Dari sisi manapun, aku yakin apa yang aku miliki sekarang masih ada di atas Devio. Tapi melihat bagaimana dia bersikap selama ini, pasti ada hal yang tidak aku miliki tapi Devio miliki sampai dia lebih memilih pria itu daripada aku,” urai Rasyid. Dika memijat keningnya dan saling pandang dengan Edgar. “Jadi sebenarnya yang kemarin kamu bilang kalo kamu cuma mau lihat aja, itu lihat apanya?” sindir Dika. “Kenapa kamu jadi bawel gini sih, kaya emak emak rempong,” keluh Rasyid. Pria itu memandang Edgar, “Siapin mobil ya kita naik mobil aja ke sana, sekalian nyobain jalan darat ke sana,” ucap Rasyid santai. Dia berlalu dari hadapan kedua pria kepercayaannya itu dan melenggang santai keluar ruangan. *** Rumah besar dengan pagar berwarna hitam terbuka perlahan, ada seorang penjaga yang usianya sudah tidak muda lagi. Penjaga itu melihat siapa yang datang karena mobil hitam SUV tidak familiar baginya. “Astaga, ini Den Rasyid ya?” kata bapak penjaga itu. Rasyid membuka kacamata hitam yang dia kenakan dan tersenyum samar. “Aldo ada Pak?” tanya Rasyid. Bapak penjaga itu mengangguk dan dia lekas membuka pintu gerbang itu dengan satu tombol yang ada di pos jaganya. Dika membunyikan bel pintu rumah khas Jawa yang dibuat tinggi dan besar. Pintu terbuka dan muncul seorang wanita paruh baya dengan senyum ramah. “Aldonya apa Bik?” tanya Dika. Rasyid sendiri masing memandang halaman rumah luas itu sekalian bernostalgia karena saat mereka kecil, dia dan Aldo selalu main di sini. “Maaf ini siapa?” tanya asisten rumah tangga tersebut. “Saya Dika, ini teman saya Rasyid dan Edgar,” ucap Dika sopan. Rasyid yang mendengar namanya dipanggil balik badan. Meskipun tak terlalu ingat tapi dia yakin jika wanita di depannya ini asisten rumah tangga sejak mereka masih kecil. “Masuk, masuk Den Rasyid, Bibik sampe pangling liat Den Rasyid ganteng banget sudah besar gini,” puji Bibik membuat Rasyid tersenyum. Keduanya ramah tamah dan menanyakan kabar masing-masing karena sudah lama tak bertemu. Mereka duduk di halaman belakang yang sudah disiapkan oleh Aldo sebelumnya. Aldo yang mendengar suara berisik di lantai satu langsung turun dan melihat jika tamu yang mendadak aneh sudah datang. “Kirain becanda kemarin bilang mau ke sini,” sindir Aldo. Rasyid langsung tertawa dan berdiri memeluk Aldo sebagai tanda keakraban mereka. “Masih ingat sama Dika dan Edgar kan?” tanya Rasyid dan Aldo mengangguk. “Iya, dia kan asisten sama pengawalmu, walopun jarang ngobrol sama mereka tapi aku paham lah dikit. Kapan ya kita ketemu terakhir itu kayanya pas pemakaman Nima deh,” celetuk Aldo membuat ketiganya langsung diam. Aldo melihat ketiga pria itu dan merasa jika dia menyebutkan nama seseorang yang tak ingin mereka bicarakan. “Oh, come on, ini sudah dua tahun masa kalian masih aja terbayang dengan sosok Nima gini,” komentar Aldo dan tetap tak memberikan reaksi apapun dari ketiganya. Aldo mengambil minuman yang sudah ada di hadapannya. “Jadi kalo kalian masih terbayang-bayang masa lalu gini, gimana kalian akan menghadapi masa depan,” kata Aldo. Dika menghela napas, “Ada kondisi yang memang membuat kita tak bisa mengikhlaskan gitu aja Bro,” ucap Dika dalam banget. Aldo langsung berdehem, “Soal penyebab kematiannya?” tanya Aldo yang membuat Rasyid langsung menatap sepupunya itu tajam. “Apa kamu mengetahui sesuatu soal kematiannya?” tanya Rasyid penasaran. Aldo menggeleng santai, “Pake logika kamu Ras, jika memang Nima tak ingin dia berada dalam bahaya dia pasti akan minta bantuan kamu, dan tentu saja kamu pasti akan mencari siapa yang berani membuat dia dalam bahaya. Tapi kenapa Nima melakukan semua ini? Jawabannya hanya satu karena dia ga mau kamu jadi orang jahat yang melibatkan diri dalam tindakan bahaya,” kata Aldo. Diam. “Aku tak menyalahkan kamu yang ingin tahu kebenaran dari kematian Nima, tapi jika memang itu hal yang disengaja, tanpa kamu mencarinya, hal itu pasti akan terungkap dengan jelas,” pesan Aldo bijak. Dika dan Edgar paham kondisi itu, sedangkan Rasyid masih diam dengan ekspresi yang tidak bisa diartikan. Aldo yang melihat hal itu menghela napas dan kembali berkomentar. “Kamu tidak perlu melupakan Nima, cukup tempatkan dia di ruang hatimu dengan baik. Dan bukalah sisi hatimu yang lain untuk menerima kehadiran orang lain yang bisa membuatmu memiliki tujuan hidup jadi lebih baik, bukan untuk ambisimu, kekuasaanmu atau kekayaanmu,” urai Aldo. “Nah, bener itu, setuju!” celetuk Dika keras membuat semuanya menoleh. “Apa?! Bener kan kamu harus mencari seseorang yang bikin kamu punya tujuan hidup,” komentar Dika yang mendapat pelototan tajam dari seorang billionaire muda. Aldo tertawa melihat interaksi keduanya, “So, jadi tujuanmu kemari untuk tujuan hidup apa tujuan kekuasaan,” sindir Aldo. Dan kembali Dika yang berkomentar, “Semoga jadi tujuan hidup. Amiin,” kata Dika cepat. “Perasaan dari tadi elu nyolot mulu kaya api kena bensin, gue bakar juga lu baru tahu rasa,” kesal Rasyid tapi asistennya itu malah tertawa. “Elah, baper dia Al, gegara dicuekin satu cewek doank, dia jadi kebakaran,” tawa Dika. Aldo yang mendengarnya mengerutkan dahinya, “Siapa yang cuekin Rasyid? Cewek beneran apa jadi-jadian,” komentar Aldo yang mendapat tawa dari Dika tapi pelototan dari Rasyid. “Bukan cuekin, tapi kita belom kenal aja makanya dia cuek,” bela Rasyid. Tapi bagi Aldo ini terdengar tak biasa. “Siapa dia? Aku kenal ga?” tanya Aldo. Rasyid menggeleng, “Kalo ceweknya kamu ga kenal, tapi cowoknya kamu mungkin pernah tahu dan ada kaitannya juga sama kamu,” kata Rasyid. Aldo menaikkan alisnya, “Cowoknya, maksudmu cewek yang kamu lagi incer itu punya cowok, dan sekarang kamu mau jadi pihak ketiga gitu? Keren ini sih,” ucap Aldo antusias. Rasyid berdecak keras mendengar itu sedangkan Dika terbahak mendengarnya. “Nah kan, kata siapa kamu ga boleh jadi pihak ketiga, Aldo aja oke kok, ya kan,” komentar Dika. Aldo melakukan high five dengan Dika.  “Aku ga berniat jadi pihak ketiga, jangan sok mengambil kesimpulan. Aku cuma penasaran doank, puas lo pada!” seru Rasyid membuat keduanya tertawa kompak. “Namanya Asmara, dia punya cowok namanya Devio mantan pacarnya Sinta, istrimu. Dan kedatanganku kemari mau nanyain soal Devio itu dan hubungannya sejauh apa sama Sinta,” kata Rasyid. Dika menatap temannya ini aneh, “Kenapa jadi repot datang kemari kalo cuma nanyain mantan pacar Sinta,” ujar Dika. Aldo yang mendengar itu juga mengangguk setuju, “Aku setuju sama Dika, kenapa kamu mesti repot ngurusin hal kaya gitu, sedangkan mereka udah jadi mantan,” timpal Aldo. Rasyid menyandarkan tubuhnya di sofa, dilihat dari sisi mana saja itu memang tidak perlu, tapi jika dia ingat apa yang Asmara katakan, ada dorongan yang membuatnya ingin tahu kenapa wanita itu memaksakan diri kepada lelaki yang tidak dia cintai. “Lagipula hubunganku dengan Sinta karena perjodohan yang diatur oleh Ibu, jadi aku tak terlalu mengenal dia termasuk siapa saja mantannya,” ucap Aldo pelan tapi sepertinya ada yang dia tahan. “Apa pernikahan kalian baik-baik saja?” tanya Rasyid yang membuat suasana jadi serius kali ini. Aldo menarik senyum dan menggeleng, “Tidak bisa dikatakan baik, kita sudah pisah rumah sejak beberapa minggu lalu,” kata  Aldo. Keduanya langsung menunjukkan raut wajah simpati. Aldo tahu apa yang ingin disampaikan kedua orang itu. “Sudahlah, jangan terlalu drama, aku sudah bisa mengira hal ini, tenang aja kalian. Ini bukan hal yang menyedihkan buatku, tapi pada akhirnya kedua orang tuaku tahu bagaimana Sinta itu sebenarnya,” jelas Aldo. Perbincangan itu akhirnya berakhir dengan candaan dan ledekan mereka kepada Rasyid yang mendadak jadi stalker dadakan. Karena hari masih sore, Aldo meminta mereka untuk beristirahat di kamar yang sudah dia sediakan. Bangun dari tidur sorenya, Rasyid melihat Aldo duduk di gazebo dan pandangannya lurus ke arah kolam renang belakang rumahnya, dekat dengan tempat duduk yang sebelumnya mereka gunakan. Rasyid kembali ke pantry milik Aldo dan melihat isi kulkas. Dia menemukan soda dan bir. Rasyid memutuskan untuk mengambil masing-masing dua kaleng. “Kalo ngelamun gini, ga ada minumnya kurang pas,” ucap Rasyid meletakkan dua kaleng soda dan dua kaleng bir. Aldo menoleh dan terkekeh mendengar ucapan sepupunya itu. “Ada rencana mau jalan malam?” tanya Aldo dan Rasyid menggeleng. “Bosen,” jawab Rasyid singkat dan dihadiahi tawa terbahak oleh Aldo. “Karena Asmara?” sindir Aldo dan Rasyid berdecak. “Enggak lah, ga ada kaitannya,” balas Rasyid cepat. “So, tell me, apa yang bikin kamu sampai seantusias ini mengetahui soal dirinya. Kita memang jarang ngobrol kalo ga ketemu gini, tapi sejak kapan kamu mulai peduli dengan urusan wanita kaya gini,” tanya Aldo penasaran. “She the only one woman who isn’t interested in my charms and she dares  to look at me full of anger,” ujar Rasyid sambil membayangkan tatapannya malam itu. Aldo menaikkan alisnya dan terkekeh, “Jadi dia tak tertarik dengan semua kuasa dan ketampanan yang kamu miliki ini,” Aldo kembali memastikan dan Rasyid mengangguk. Keduanya membuka kaleng soda di hadapan mereka. Setelah meneguk soda dan merasakan sensasinya di mulut, Aldo kembali melanjutkan rasa penasarannya. “Just curious, not love or admire her?” tanya Aldo dan Rasyid mengangguk cepat. “Cuma penasaran, ga ada perasaan lain. Aku cuma mau tahu tipe pria macam apa yang bisa bikin dia bertekuk lutut,” kata Rasyid. “Karena itu kamu tanya soal Devio sama aku?” selidik Aldo dan Rasyid mengangguk mantap. “Bukan karena aku penasaran dengan sosok Devio, karena aku sudah tahu wajahnya. Tapi ucapan Asmara yang tak sengaja aku tahu, informasi dari berbagai sumber yang membuatku penasaran,” kata Rasyid. “Sound interesting,” ucap Aldo dan Rasyid terkekeh. “Very interesting Brother,” timpal Rasyid. Aldo menunggu cerita yang akan diucapkan oleh Rasyid. “Mereka akan menikah tahun ini dan hal yang menarik adalah Asmara tak mencintai Devio, bukan karena mereka dijodohkan, tapi wanita itu yang tak bisa membuka hati untuk pria itu,” kata Rasyid dan Aldo menggelengkan kepala. “Akan jadi apa pernikahan mereka kalo kondisinya kaya gitu?” ucap Aldo tak percaya dengan apa yang dia dengar. “Itulah maksudku, apa yang ada dalam pikiran wanita itu sampai dia mau mengorbankan masa depannya demi pria yang entahlah seperti apa di matanya dan hidupnya,” komentar Rasyid. “Ada fotonya ga?” tanya Aldo penasaran. Rasyid mengeluarkan ponselnya dan dia mengakses file yang tersimpan di dalam ponselnya untuk melihat data soal Asmara. Aldo kembali meneguk soda yang dia pegang sambil menunggu sepupunya. “Apa menurutmu itu karena balas budi? Misalnya Devio sudah melakukan hal besar kepada Asmara jadi dia merasa hutang budi dan menyerahkan hidupnya kepada pria itu,” kata Aldo. Rasyid menggeleng, “Aku ga  yakin kalo kaya gitu, karena dari data keuangan, catatan masa lalu, hubungan keluarga, besaran biaya hidup bulanan yang dia miliki, tak menunjukkan catatan yang buruk atau tanda jika dia memiliki hutang budi,” jelas Rasyid. “Ini Bro,” ucap Rasyid menunjukkan foto Devio. Aldo merebut ponsel itu dan mengamatinya dengan seksama. “Geblek, kenapa mesti lelaki ini sih,” umpat Aldo yang menarik minat Rasyid. “Kamu kenal sama lelaki ini?” tanya Rasyid. “Dia lelaki yang bikin Sinta kabur dari rumah.” ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD