Walaupun dia hanya mengucapkan satu kalimat, dan tidak ada ekspresi khusus di wajahnya, Ratih merasa mulutnya menjadi kering, seolah ada tekanan tak kasat mata yang menekannya.
Itulah auranya. Aura pria ini sangat kuat, begitu kuatnya sehingga dia hanya ingin melarikan diri.
Intuisinya mengatakan bahwa dia tidak mampu menyinggung orang seperti itu.
"Tentang apa yang terjadi tadi malam... Aku minta maaf. Melihat bahwa kamu tidak menderita kerugian apa pun... mari kita berpura-pura tidak terjadi apa-apa!" Ratih berkata dengan suara gemetar.
Setelah dia selesai berbicara, dia merasakan tatapan dingin pria itu menyapu sekujur tubuhnya, menyebabkan hawa dingin merambati tulang punggungnya.
Namun, lelaki itu memang tidak senang. Ia menatapnya dengan dingin dan bibirnya terkatup rapat. Sekali lihat saja, dia tahu bahwa dia sedang marah, dan seluruh tubuhnya terasa dingin.
Ratih mengerutkan bibirnya, dan dia tidak dapat menahan diri untuk mengepalkan tangannya di bawah selimut. Tatapan mata pria itu sangat dingin. Meskipun dia tidak menatap matanya, dia masih bisa merasakan tatapannya. Dia terus menatapnya, tetapi tidak mengatakan apa pun. Udara terasa membeku dan terasa menyesakkan.
Untungnya, di tengah perasaan menyesakkan ini, tiba-tiba terdengar suara sumbang di ruangan itu, yang memecah kebuntuan.
Itu suara telepon.
Namun, dia tahu itu bukan miliknya.
Benar saja, pria itu berdiri dan berjalan ke tempat tidur. Ratih sangat takut hingga menundukkan kepalanya. Ia baru bisa bernapas lega saat merasakan pria itu mengambil sesuatu dan pergi.
"Baiklah, aku mengerti. Aku akan segera kembali," kata lelaki itu dengan suara rendah.
Setelah menelepon, dia mulai melepas jubah mandinya dan mengenakan pakaiannya.
Ratih tanpa sengaja mengangkat kepalanya, dan dari sudut matanya, dia melirik tubuh rampingnya. Dia tidak bisa menahan rasa herannya. Tubuh pria ini terlalu bagus. Tidak ada lemak di tubuhnya, tetapi dia tidak kurus. Dia jelas tipe orang yang terlihat kurus saat mengenakan pakaian, tetapi gemuk saat menanggalkan pakaian.
"Apakah kamu menyukainya?" Pria itu tiba-tiba berhenti dan menatapnya dengan dingin.
Ratih tersadar dan wajahnya langsung memerah. Dia menundukkan kepalanya karena malu dan berkata,
"Aku ... aku minta maaf."
"Aku akan memberimu kompensasi."
"Kompensasi?" Ratih terkejut. Tanpa sadar dia mendongak untuk menatapnya.
Tengku Ammar melihat ekspresi bingungnya dan merasa lucu. Apakah itu reaksi karena terlalu gembira?
Namun, masih tidak ada emosi di wajahnya. Dia berkata dengan ringan,
"Aku harus segera pergi sekarang. Anda dapat terus beristirahat di sini selama yang Anda suka."
"Aku... aku tidak butuh kompensasimu." Ratih akhirnya bereaksi dan menggelengkan kepalanya.
Apa yang terjadi kemarin adalah sebuah kecelakaan. Jika dia tidak minum segelas anggur itu, hal itu tidak akan terjadi. Dia bahkan tidak mengenal pria ini. Dia bahkan tidak tahu siapa namanya. Bagaimana mungkin dia membiarkan pria itu bertanggung jawab?
Dia tidak sabar untuk keluar dan melupakannya. Dia tidak ingin berhubungan dengan orang ini lagi.
Tengku Ammar menatapnya dengan dingin, seolah tidak menyangka dia akan mengatakan bahwa dia tidak perlu bertanggung jawab.
Ratih memalingkan mukanya dengan canggung dan berusaha untuk tidak menatap matanya. Dia berkata sambil tersenyum pahit,
"Kemarin adalah sebuah kecelakaan. Aku ditipu. Itulah sebabnya ini terjadi. Namun, itu bukan salahmu. Kita berdua sudah dewasa, jadi biarkan saja! Aku tidak butuh kamu untuk memberikan kompensasi.”
"Tetapi jika kau pernah berada di tempat tidurku, maka kau milikku."
Ratih melompat dan menatapnya dengan kaget. Logika macam apa ini?
Dia dijual oleh majikannya kepada orang asing dan dia berhasil melarikan diri meski kehilangan kesuciannya. Itu tidak seburuk kehilangan nyawa.
Ponsel Tengku Ammar berdering lagi. Dia mengerutkan kening dan menutup telepon. Dia menatapnya dan berkata dengan tidak sabar,
"Aku tidak punya waktu untuk berbicara denganmu sekarang. Katakan namamu. Aku akan datang menemuimu setelah aku selesai."
"Ah, tidak perlu. Kau tidak perlu mencariku." Ratih menggelengkan kepalanya.
Ekspresi wajah Tengku Ammar menjadi semakin tidak sabar. Dia tiba-tiba membungkuk dan mencondongkan tubuhnya ke arahnya.
Dia tampak seperti hendak menciumnya.
Ratih sangat takut hingga hampir mati lemas. Dia menahan napas dan menatapnya dengan mata berkaca-kaca, penuh kepanikan.
Tengku Ammar menunduk dan bertanya lagi dengan suara rendah dan serak,
"Katakan padaku namamu."
"Aku …?"
"Hmm?"
Tengku Ammar mendekatinya lagi, hampir menyentuh wajahnya.
Ratih menatap matanya yang dalam, yang seperti kolam air dalam dengan daya isap. Dia tidak bisa menahan diri untuk tidak tersedot saat menatap matanya.
Dia buru-buru mengalihkan pandangan karena panik, dan jantungnya berdetak begitu cepat hingga hampir melompat keluar dari tenggorokannya.
Dia tanpa sadar menggigit bibir merahnya dengan giginya dan berpikir,
Sepertinya lelaki ini harus segera pergi. Jika Ratih tidak memberitahukan namanya, dia tidak tahu kapan pria ini akan pergi.
“Namaku Nur,” jawab Ratih singkat.
Bagaimanapun, ini adalah nama yang umum. Bahkan jika dia mencarinya, ada begitu banyak orang bernama Nur di negara ini. Di mana dia bisa menemukannya?
"Siapa namamu?" Tengku Ammar memutar nama itu di mulutnya dan sedikit mengernyit. Nama ini terlalu umum, tetapi dia tidak meragukannya.
Namun, saat dia melihatnya menggigit lembut bibir merahnya, dia tak dapat menahan diri untuk tidak memperdalam pandangannya.
Tiba-tiba dia membungkuk dan mencium bibirnya.
Ratih begitu takut hingga matanya terbelalak dan mulutnya terbuka sedikit.
Dia tidak tahu betapa menggodanya dia ketika dia terlihat seperti binatang kecil yang polos. Tengku Ammar sedikit mengangkat sudut bibirnya, lalu tiba-tiba membungkuk dan mencium bibir dan lidahnya, seolah ingin membangkitkan seluruh dunianya.
Ratih merasa hampir mati lemas. Segala sesuatu di depannya berwarna putih, dan dia tidak tahu harus berbuat apa.
Akhirnya, ketika dia merasa akan mati lemas, Tengku Ammar melepaskannya dan berkata di telinganya dengan suara serak,
"Tunggu aku."