"Aku …"
Ratih tidak tahu bagaimana menjelaskannya, karena semua itu hanya tebakannya, dan mengatakannya hanya akan membuat satu orang lagi mengkhawatirkannya.
"Tidak apa-apa, Lina, aku minta maaf. Aku hanya gelisah karena... Aku menghadiri pernikahan p*****r itu hari ini. Sekarang sudah tidak apa-apa, jangan khawatir.”
Ia memilih merahasiakan bagian paling kelam dalam hidupnya itu.
"Ratih, kamu harus kuat. Ini hanya masalah cinta dengan monyet. Aku akan mentraktirmu makan barbekyu besok. Tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan dengan makanan enak. Kalau tidak bisa diselesaikan, kita makan dua porsi saja."
Dua hari berlalu dalam ketakutan, tetapi Tengku Ammar tidak muncul, seolah-olah hal itu tidak pernah terjadi. Ratih menghela napas lega. Tampaknya semua kekhawatirannya tidak berdasar.
Jadi dia mengesampingkan masalah ini dan mulai bekerja keras untuk menghasilkan uang, dengan harapan dapat memperoleh lebih banyak uang untuk biaya ibunya.
Kantor Lina kebetulan membutuhkan petugas kebersihan, jadi Ratih segera menerimanya. Pekerjaan ini juga tidak mengganggu jadwal kuliahnya yang sudah di semester lima.
Semangat! Hanya tiga semester lagi.
"Perhatian semuanya, ada Bos besar yang datang hari ini. Jadi, bersihkan Lantai ekslusif. Semua orang harus berusaha bersikap baik di hadapan pemilik perusahaan.”
Pagi-pagi sekali, sang manajer memanggil mereka untuk rapat dan mengarahkan petugas kebersihan untuk membantu mereka.
Ratih berbisik kepada Lina,
"Apakah orang ini sangat bersih? Bukankah kantor ini sudah terlihat sangat bersih?"
"Orang ini menurut informasi sangat dingin dan kejam, dia tidak suka melihat secuil debupun di ruangannya. Kamu harus bekerja keras.” Bisik Lina.
“Aku terbiasa bersih-bersih, jangan khawatir." kata Ratih dengan suara rendah, dengan sedikit kegembiraan dalam suaranya. Ratih membersihkan lantai itu secepat yang dia bisa dan menata pengharum ruangan dan bunga segar agar ruangan ini tampak nyaman.
"Dia sudah datang, Ayo."
Semua orang berdiri di pintu dan menunggu. Akhirnya, mereka mendengar teriakan penuh semangat dari sang manajer. Ratihpun ikut menyambut, itu bak penyambutan sultan.
"Selamat datang." Dua baris pekerja dan petugas keamanan semuanya membungkuk hormat untuk menyambut rombongan mereka.
Sedangkan untuk Boss besar, dia masuk tanpa ekspresi dan wajah dingin. Dia bahkan tidak melihat mereka. Dengan pengawal yang mengikutinya di belakangnya, aura di sekelilingnya saja sudah cukup untuk menindas orang.
Baru pada saat itulah Ratih percaya bahwa itu benar-benar Boss besar. Mungkin dia benar-benar seorang penguasa paling berkuasa di Kota ini. Dia sedikit bersyukur bisa di terima bekerja disini meski hanya sebagai petugas kebersihan.
"Tengku Ammar, ini adalah ruangan anda. Apa yang Anda butuhkan?" Manajer datang sendiri dan matanya menyipit sambil tersenyum.
Tengku…Tengku Ammar?
Dia segera mengangkat kepalanya dan menatap pria itu. Siapa lagi kalau bukan Tengku Ammar? Tidak semua orang punya wajah yang tampan. Jelas itu adalah pria yang pernah tidur dengannya tempo hari.
Dia segera menundukkan kepalanya. Berusaha membuat tidak terlihat sehingga pria itu tidak bisa melihatnya.
"Ratih, kemarilah." Manajer itu tiba-tiba berteriak pada Ratih.
Pikiran Ratih meledak. Mengapa manajer memanggilnya? Apakah dia akan memecatnya di depan umum karena ruangan itu tidak sesuai ekspektasinya?
Meskipun dia bekerja dengan hati-hati, hasilnya bagus. Ruangannya sudah bersih dan harum, ah mengapa dia sial sekali?
"Ratih, manajer memanggilmu. Cepatlah." Lina menyodoknya dan mengingatkannya.
Ratih mengerutkan bibirnya. Wajahnya pucat dan tubuhnya sedikit gemetar. Namun, dia tetap berjalan selangkah demi selangkah.
“Manajer, mengapa Anda memanggil saya?” Ratih bertanya dengan suara gemetar.
Manajer itu tersenyum dan berkata,
"Ratih, Anda beruntung. Tengku Ammar meminta Anda untuk merapikan ruang kerja pribadi dikantor pusat. Bersikaplah baik dan jangan membuat Tengku Ammar tidak senang.”
“Hah?” Ratih mengangkat kepalanya dan menatap manajer itu dengan tatapan kosong.
Membantu membersihkan ruang kerja pribadi? Dikantor pusat? Apa bisa bahkan petugas kebersihan pun terkena mutasi?
Pria ini begitu pemilih!
Manajer itu mengernyit sedikit. Mengapa gadis ini begitu konyol hari ini?
Dia mengulurkan tangannya dan menariknya ke samping Tengku Ammar, lalu menyerahkannya kepada Tengku Ammar.
“Ikut aku!” kata Tengku Ammar perlahan.
Dia masih tanpa ekspresi, seolah-olah dia tidak mengenal Ratih sama sekali. Seolah ini adalah pertama kalinya mereka bertemu.
Otak Ratih tidak cukup waras, tetapi etika profesionalnya segera membuatnya tenang.
Dia berkata “terima kasih” kepada Tengku Ammar dan mengikuti pria itu ke kantor pusat.
Yang lain menatapnya dengan iri. Faktanya, tidak ada yang mengenali identitas Tengku Ammar. Akan tetapi, sekalipun dia seorang penipu, mereka tetap akan bersedia mengikuti pria setampan itu.
Kantor utama itu agak jauh dari kantor cabang, jadi mereka menggunakan mobil untuk menuju kesana.
Karena trem itu memiliki dua baris, Ratih meminta Tengku Ammar untuk duduk di baris pertama. Dia langsung duduk di baris kedua untuk menghindari kontak dekat dengan Tengku Ammar.
"Kamu duduk di belakang. Di mana pengawalku akan duduk?" Tengku Ammar berkata dengan dingin.
Ratih tertegun. Ia kemudian menyadari bahwa ada dua pengawal yang mengikutinya. Mereka berdiri di belakang mobil, menatapnya.
Dia pikir hanya ada dua orang, jadi dia memilih trem yang hanya bisa menampung empat orang. Dia tidak menyangka bahwa sopir Tengku Ammar juga akan ikut.
Pada saat ini, jelas mustahil bagi Tengku Ammar untuk keluar dari mobil dan berganti ke mobil yang lebih besar.
Ratih berkata dengan lemah,
"Boss, bagaimana kalau... biarkan salah satu dari mereka duduk di depan!"
Tengku Ammar tidak berkata apa-apa. Meskipun dia hanya bisa melihat bagian belakang kepalanya, Ratih masih bisa merasakan ketidaksenangannya.
Dia menggigit bibirnya, turun dari mobil, dan duduk di depan.
Dia mencondongkan tubuhnya ke samping sebisa mungkin, berusaha untuk tidak terlalu dekat dengan Tengku Ammar. Awalnya, kursi itu akan berjarak selebar satu meter dari mereka berdua, tetapi dia tidak menyangka bahwa Tengku Ammar akan dengan cepat menyesuaikan posisinya dan langsung menempel padanya.
“Ah.” Saat mereka berdua sudah berada di samping satu sama lain, Ratih terkejut.
Tengku Ammar meliriknya dan bertanya dengan samar,
"Ada apa?" “
“Tidak ada.” Ratih menggelengkan kepalanya cepat, dan pipinya merah.
Tengku Ammar menatapnya dingin dan tidak berkata apa-apa, ia menatap ke depan tanpa ekspresi.
Ratih mengenakan pakaian formal karena belum mendapatkan seragam petugas kebersihan, rok hitam pendek di atas lututnya. Duduk seperti ini, lebih dari separuh kakinya yang telanjang terekspos.
Kulitnya yang putih dan lembut tampak berseri-seri memerah dan teksturnya sangat halus. Hampir tidak ada pori-pori yang terlihat.
Dan kaki Tengku Ammar berada di sebelahnya, meskipun dipisahkan oleh kain celana. Namun, Ratih masih bisa merasakan panas dari pahanya. Panas itu membakar pahanya, menyebabkan jantungnya berdebar kencang.
Namun, dia tidak punya tempat untuk bersembunyi. Dia hanya bisa menundukkan kepalanya dengan wajah memerah, dan berdoa dalam hatinya agar mobilnya segera sampai ke kantor pusat.
Jaraknya hanya dekat, tetapi sekarang terasa begitu jauh.