Chapter 5

1074 Words
Satu bulan kemudian. “Ratih, Mariam dan Abdul ada di sini.” Rekannya Lina berjalan mendekat dan berkata kepada Ratih dengan ekspresi aneh. Ratih mengerutkan kening. Ini rumah sakit tempat dia mejaga nenek, ada banyak teman-teman satu kampung disini. Lagi pula dia sudah pindah ke apartemen Lina yang juga datang ke kuala lumpur untuk kuliah. Karena orang tuanya kaya sementara orangtua ratih miskin, Lina mendapat biaya tambahan untuk mengontrak apartemen. Untuk apa gadis itu mencarinya? "Apa yang kalian lakukan di sini?" Ratih bertanya dengan dingin. Beberapa waktu lalu Ratih pergi menemui Abdul untuk menjelaskan, tetapi bukan saja Abdul tidak mendengarkan, dia bahkan keluar dari kamar tidurnya bersama Mariam yang hanya mengenakan lingere. Pada saat itu, dia tahu bahwa hubungannya dengan Abdul sudah berakhir. "Kakak, jangan bersikap dingin begitu. Aku dan Abdul akan menikah. Kamu pernah bekerja dirumah kami dan sudah dianggap seperti keluarga sendiri, tentu saja aku ingin kamu menghadiri pernikahan kita." Dia bersandar pada Abdul dengan malu-malu dan tersenyum bangga. Ratih mencibir dan berkata dengan nada sinis, "Keluarga? Kamu ingin aku menghadiri pernikahanmu?Apakah ada yang salah dengan kepalamu?" "Kakak, kamu kejam sekali!" Mariam bertanya dengan sedih bertingkah seperti orang yang dianiaya. Abdul mengerutkan kening dengan kesal dan berkata kepada Mariam dengan wajah dingin, "Sudah kubilang jangan mencarinya." "Abdul, aku tidak ingin dia membenci kita setelah kita menikah.” Ucap Mariam dengan nada memelas. Ada cukup banyak orang di luar, meskipun mereka berdiri di posisi yang sedikit lebih jauh. Meskipun mereka berdiri di tempat terpencil, tidak mudah bagi suara Mariam untuk tidak terdengar. Maka sejumlah orang pun langsung mengerumuni mereka dan menyaksikan mereka bergosip. Ia tidak ingin ibunya dikampung menerima kabar miring penuh gossip seperti ini. Ratih sangat marah hingga wajahnya memerah. Mariam melakukannya dengan sengaja. Dia segera memarahi miriam, "Mariam, kamu sungguh tidak tahu malu. Kau menyakitiku seperti ini, dan kau masih berani datang untuk pamer." Meski Miriam anak majikannya, namun Ratih sama sekali tidak takut. Dia ingin melapor ke kedutaan bahwa ada praktik trafficking namun buktinya sulit untuk di dapat. Abdul berkata dengan wajah muram, "Ratih, Aku akhirnya melihat watak aslimu. Aku benar-benar bersyukur kita putus.” Lina bergegas melewati kerumunan dan berdiri di depan Ratih. "Kamu laki-laki yang pintar tapi bahkan tidak bisa menyadari trik bodoh apa yang sedang di mainkan gadis ini. Sungguh memalukan!” Lina mengupat dengan marah, mereka semua berteman di universitas sejak semester awal, jadi Lina tidak bersikap sopan meski Abdul adalah anak konglomerat di Trengganu. "Hmph," Abdul mendengus dingin ke arah Ratih sambil menggertakkan giginya, lalu berbalik dan pergi bersama Mariam. Ratih sangat marah hingga seluruh tubuhnya gemetar. Dia dan Abdul sudah saling kenal selama satu tahun. Kelembutan dan kemanisan masa lalu masih terbayang jelas di benaknya. Siapa yang mengira akan ada pemandangan seperti ini? “Ratih, kamu baik-baik saja?” Lina bertanya dengan cemas melihat wajah merah padam sahabatnya. Ratih menggelengkan kepalanya. Dia tidak bisa bekerja di rumah sakit ini lagi. Dia meminta Lina untuk membantunya mengajukan pengunduran diri. “Tapi kamu masih butuh biaya untuk pengobatan ibumu di kampong?” Tanya Lina. Ratih menghela napas berat. “Aku harus segera mencari pekerjaan baru.” “Begini saja, biar ku bicarakan ini dengan Manager personalia di kantorku, barangkali ada posisi yang cocok untukmu.” Hibur Lina. Mata Ratih berbinar, ia mengangguk setuju. Ibunya tertabrak mobil saat menjemput adiknya dari sekolah sebulan lalu. Sejak saat itu, ia koma dan terbaring di ranjang rumah sakit dalam kondisi vegetatif. Karena itulah dia tidak punya pilihan selain bekerja di rumah Nyonya Aziz dan tinggal bersama mereka sebagai perawat ibunya nyonya aziz yang sudah terbaring di rumah sakit. Waktu itu mereka menawarkan bayaran yang lumayan besar. Dia tidak menyangka akan bertemu Nyonya Aziz saat hendak keluar dari rumah sakit. “Apakah Miriam mencarimu hari ini?” Nyonya Aziz bertanya dengan dingin. Ratih mengira Nyonya Aziz ada di sini untuk meminta maaf. Namun siapa sangka Nyonya Aziz akan berkata, "Dia dan Abdul akan menikah dalam beberapa hari. Jangan menimbulkan masalah baginya. Dia hanya menikah satu kali seumur hidupnya, dan aku tidak ingin melihatnya kecewa." Ratih berkata dengan marah, "Aku tidak peduli urusan orang lain." "Lagipula aku ingin mengundurkan diri sebagai perawat nenek," sambung Ratih lagi. Nyonya aziz tertawa terbahak bahak. “Tahukan kamu bahwa ketika ibumu kecelakaan sebulan lalu, pamanmu meminta pinjaman pada agen tenaga kerja untuk biaya operasi ibumu. Dan agen tenaga kerja menagih biaya itu pada kami.” Mata Ratih terbelalak kaget. Dia tidak tahu kapan itu terjadi. “Jika kamu menolak untuk percaya, tanyakan pada agenmu.” Ratih sangat marah hingga dia ingin muntah darah. Dulu dia terlalu bodoh dan naif. Meski baru bekerja sebentar, hanya setahun, kinerjanya sudah luar biasa. Namun, kinerjanya luar biasa dan gajinya tidak rendah, tetapi dia dengan bodohnya menyimpan sebagian kecil gajinya dan memberikan sisanya kerumah. Ibu berkata bahwa dia akan menyimpan uang itu untuknya. Sebagian akan membantu mengembangkan usaha ibunya, dan sisanya akan menjadi mas kawinnya saat dia menikah. Seharusnya biaya itu bisa digunaka untuk biaya pengobatan ibunya, mengapa harus mengajukan pinjaman lain ke agen? "Baiklah, aku akan mencari pekerjaan lain dan membayarmu," kata Ratih sambil menggertakkan giginya. “Tidak masalah, namun passportmu aku tahan sampai kamu melunasinya.” Nyonya Aziz pergi dengan perasaan puas. Karena ancaman itu, Ratih terpaksa harus datang ke pesta pernikahan itu agar Nyonya aziz tidak membuat masalah. Ratih naik taksi ke hotel bintang lima paling terkenal di kota Trengganu. Dia menyerahkan undangan pada petugas dan masuk. Di pintu, ada foto pernikahan Abdul dan Mariam, dan ada kata-kata emas yang mengucapkan selamat atas pernikahan mereka. Ratih merasa sangat ironis ketika melihat semua ini, dan hotel ini adalah hotel yang sama tempat dia dijebak hari itu. Tampaknya semuanya sudah ditakdirkan. Dia masuk untuk menemui Nyonya Aziz dan Tuan Aziz Sam terlebih dahulu dan memberi tahu mereka bahwa dia hadir di sana dengan niat baik. Keduanya bersikap acuh tak acuh. Orang tua Abdul sedikit kesal saat melihatnya. Ratih harus tersenyum pahit dan berkata setenang mungkin, "Aku masih ada urusan di kampus. Bantu aku memberi tahu kedua pengantin baru itu bahwa aku mendoakan pernikahan mereka yang bahagia. Aku pergi dulu." “Pergilah!” kata Azizah segera. Abdul pernah membawa Ratih ke keluarga ini sebelumnya, jadi Azizah tentu mengenalnya. Akan terasa canggung jika bertemu dengannya lagi sekarang, jadi wajar saja jika Azizah tidak ingin dia ada disini. Ratih diam-diam menghela napas lega. Saat hendak mencapai pintu, tiba-tiba dia melihat sekilas sosok yang dikenalnya dari sudut matanya. Ketika dia melihat orang itu, wajahnya langsung pucat dan tubuhnya tak kuasa menahan gemetar. Mulutnya kering.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD