Bab 5: Aturan Dibuat Untuk Dilanggar

1202 Words
Aku bangun keesokan paginya dengan tekad untuk melupakan 'mimpi' misterius semalam. Aku bekerja untuk Alaric sekarang, dan aku harus tetap bersikap profesional. Aku segera bersiap-siap, lalu sepintas kusempatkan diriku untuk sekali lagi mengendus aroma pakaian yang ia siapkan untukku. Mau tak mau harus ku akui bahwa aku merasa ketagihan menghirup aromanya. Ketika aku berbelok keluar dari kamar, aku tidak sengaja mendengar perbincangan dua orang anggota staf. "Alpha adalah pria yang baik, tapi aku tidak mengerti kenapa ia membawa seorang penyihir masuk ke dalam kawanan?" ucap salah satu dari mereka. "Aku juga berpikir demikian. Ini pasti akan berakhir buruk. Penyihir adalah makhluk licik yang tidak bisa dipercaya, "jawab yang lain. Suara mereka terdengar semakin menjauh lalu aku keluar saat mereka berdua sudah tidak terlihat lagi. Harus kuakui apa yang kudengar barusan membuatku sakit hati. Dugaanku benar bahwa mereka tidak akan pernah bisa menerima kehadiranku. Aku meneruskan langkahku dengan tegak berusaha untuk tetap terlihat percaya diri. Takkan kubiarkan ucapan mereka mempengaruhiku. Aku turun ke bawah menuju kantor yang ditunjukkan Alaric tadi malam. Aku mengetuk pintu dengan cepat dan terdengar suara beratnya dari dalam mempersilahkan aku masuk. "Kau terlambat," katanya. Aku melihat jam dan sekarang sudah pukul 09:02. Aku menggerutu pelan tanpa menanggapi ucapannya. Dia bangkit dari mejanya dan berjalan ke arahku. "Apakah kamu baru saja diam-diam mengolokku?" tegasnya dengan geram. Aku memberinya tatapan tajam, menolak untuk mundur. Dia sangat tinggi sehingga aku harus mendongak keatas untuk melakukannya, tapi aku menegakkan bahuku dan menatap tetap di matanya. "Tidak pernah sekalipun terlintas dalam benakku membuat kesalahan bodoh dengan menghina seorang Alpha yang amat berkuasa," jawabku dengan nada manis yang jelas dibuat-buat. Matanya seolah akan melompat keluar mendengar apa yang baru saja aku ucapkan, tampak urat-urat mulai menonjol di dahinya. Kena kau sekarang, pikirku. "Apakah kita perlu membahas aturannya lagi, Raven?" dia bertanya padaku dengan suara rendah dan berbahaya. "Kau tidak pernah memberitahuku aturan yang ketiga. Dan aku yakin kita telah sepakat untuk tidak setuju pada yang kedua, "kataku dengan cerdas. Sudut mulutnya sedikit berkedut hingga aku hampir tidak menyadarinya. Sekilas sempat terlintas di benakku bahwa mungkin arogansi dan dominasinya hanyalah sebuah pencitraan belaka. Dia menyipitkan matanya dan aku berusaha untuk tidak tampak gemetar saat ia menatapku. "Yang ketiga adalah: jika ragu-ragu, kembali pada aturan kedua," katanya datar. Dia begitu dekat sehingga aku bisa merasakan napasnya di bibirku dan jantungku mulai berdegup kencang. Ingatan tadi malam membuat mulutku kering sesaat tapi aku segera kembali tersadar. "Kau terbiasa mendapatkan apapun yang kau inginkan, bukan?" tanyaku dengan rasa ingin tahu. "Ya," jawabnya. Nada suaranya yang ketus seperti tidak memberi ruang bagiku untuk bertanya lebih lanjut, tapi aku terus maju. "Jadi, apakah kau akan selalu marah tiap kali aku menanyaimu?" Tanyaku lagi. "Apakah kau selalu mengajukan begitu banyak pertanyaan?" dia menjawab dengan kesal. "Ya," jawabku sambil berusaha menahan senyum. Aku bersorak senang dalam hati telah berhasil memancing emosinya; terasa seperti mendapatkan kembali sedikit kekuatanku. Tapi kepuasanku hanya sebentar ketika dia meraih lenganku dengan erat. "Kau benar tentang satu hal. Aku adalah seorang Alpha. Jadi, kau harus selalu menghormatiku dan menjaga mulut lancangmu itu" geramnya. Saat dia mengucapkan kata-kata itu, matanya menatap mulutku dengan lapar. Sifat buas dalam dirinya membuatku merasa takut dan b*******h di saat yang sama. Aku tahu bahwa ia sedang menahan amarahnya, tapi terlihat jelas bahwa ia tak pandai menyembunyikannya. Aku hanya diam menatapnya dengan tatapan yang angkuh. Dia balik menatapku sejenak dan kemudian melepaskanku. Aku berusaha menyeimbangkan diriku setelah barusan keluar dari cengkeramannya. Dia berjalan kembali menuju mejanya dan menatap ke luar jendela, terlihat tenggelam dalam pikirannya. Lalu dia tiba-tiba berbalik menghadapku lagi dengan tatapan yang tenang. "Aku sebenarnya berencana mengajakmu berkeliling dan berkenalan dengan seluruh anggota kawanan hari ini. Tapi karena kau sedari tadi menunjukkan suasana hati yang tidak bersahabat, kupikir lebih baik kita tunda saja," dia memandangku dengan dingin. "Jadi, kau akan menghukumku hanya karena aku mengajukan beberapa pertanyaan padamu?" Tanyaku dengan angkuh. "Tidak. Aku tidak sedang menghukummu. Kau dapat menghabiskan waktumu dengan menjelajahi seisi rumah, tetapi kau harus tetap di dalam. Untuk sekarang kau kuistirahatkan, "katanya lalu berbalik pergi. Dia membuatku kesal, sungguh kelewatan. Sekarang dia menghukumku, dan menahanku di sini. Seharusnya kuterima saja hukuman dari Lavinia. Sedari tadi aku hanya berdiri mematung memikirkan apa yang harus kuperbuat, aku sungguh marah dengan perlakuan kasarnya. Sesaat kemudian dia melihat ke arahku dan mengayunkan tangannya seolah-olah sedang mengusirku. Ini semua sudah kelewatan. "Kau tidak bisa terus menahanku seperti... penjahat!" Protesku. Dia mengangkat alisnya dengan sinis padaku, menunjukkan sikap yang kurang bersahabat. "Tapi kau dengan dinginnya baru saja membunuh seorang pria," katanya dengan tenang. Ketenangan yang tidak sedikitpun mengurangi rasa sakit hatiku. "Aku melakukan apa yang seharusnya kulakukan! Aku hanya berusaha membela diri!" seruku. Dia sama sekali tidak terpengaruh oleh ledakanku. "Namun faktanya, jika aku tidak membawamu kesini, keadaanmu pasti akan lebih buruk. Setidaknya bersyukurlah," jawabnya. "Bersyukur?! Untuk apa? Kehilangan kebebasanku? Diperintah oleh binatang... arogan!" aku berteriak. Sejenak aku kehilangan kemampuan untuk tetap berlaku profesional dan aku segera menyesali apa yang baru saja keluar dari mulutku. Walaupun aku merasa ia layak menerima itu semua. Tanpa kusadari dalam sekejap mata ia telah mencengkeramku, mendorongku ke rak buku. Aku bisa merasakan rak kayu keras membentur punggungku dan sesuatu yang lebih keras lagi berada hadapanku. Aku sedikit terkesiap saat merasakan tubuhnya menempel di tubuhku. Semua kemarahan dan emosi dalam otakku tiba-tiba saja lenyap, kecuali satu hal. Aku menginginkannya. "Biar kuperjelas. Kesabaranku ada batasnya dan menguji batas itu bukanlah ide yang baik. Kau bekerja untukku. Aku tak perlu berulang kali menjelaskan hal itu padamu. Keputusanku sudah bulat, jadi sebaiknya kau membiasakan diri untuk aku 'perintah'," katanya, dan kemudian menambahkan, "Jika sekali lagi kudengar kau menyebutku binatang, kau akan menerima konsekuensinya." Dia mengatakan semua ini dengan suara yang rendah, perlahan namun jelas. Mataku berkedip dan dia terlihat lengah sejenak. Aku bisa merasakan tenaga yang perlahan berkumpul dalam diriku. Mataku berubah menjadi ungu cerah dan bersinar lebih terang saat sebuah emosi memicu kekuatanku. Aku tidak bisa menjelaskan bagaimana ia bisa membuatku merasakan perasaan semacam ini, dan itu membuat kekesalanku semakin memuncak. "Konsekuensi seperti apa?" aku berbisik. Tangannya mulai bergerak menyentuh lenganku, lalu pinggangku dan hampir menyentuh bokongku. "Aku terpaksa harus memberimu pelajaran," jawabnya, dan seketika hawa panas terasa mengalir di sela-sela kakiku. Aku tersinggung atas ucapannya, namun juga merasa terangsang pada saat yang sama. "Apakah aku terlihat seperti anak kecil yang pantas dihukum?" Tanyaku. "Tidak, Raven. Kelakuanmu memang kekanak-kanakan, tapi penampilanmu sedikitpun tidak terlihat seperti seorang anak kecil, "katanya. Dia menjilat bibirnya lembut seolah-olah dia akan segera menciumku. "Ini terakhir kalinya aku mengizinkanmu menghinaku," balasku tegas. Dia mengangkat tangannya keatas dan menempatkan jari-jarinya disekeliling leherku seolah sedang mencekiknya, namun dengan lembut. Dia tidak menyakitiku sedikit pun, tapi ancamannya jelas. "Dan ini adalah terakhir kalinya aku akan mentolerir kekurangajaranmu," jawabnya dengan geraman. Saat aku menatap matanya dalam-dalam, aku merasa kesadaranku sejenak hilang. Sesaat kemudian aku dapat melihat potret masa kecilnya sedang berteriak ketakutan dan menangis penuh penyesalan. Dia melewati cukup banyak hal berat di masa lalunya, untuk sesaat aku dibuat merasakan simpati yang mendalam. Aku mencoba memastikan apakah dia tahu bahwa aku sekarang sedang bermain-main dengan memorinya, namun sepertinya dia tidak sedikitpun menyadari. Ibu jarinya terangkat untuk membelai rahangku dan aku merasa sekujur tubuhku bergetar saat disentuhnya. Dia menundukkan kepalanya, mulutnya bergerak ke arahku. Sebelum bibirnya sempat menyentuh bibirku, terdengar suara ketukan di pintu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD