Matahari telah keluar dari peraduannya sedari tadi. Akan tetapi Phiro baru terbangun, ketika hari telah beranjak siang. Ketika Matahari telah menampakan keperkasaannya di langit biru. Memancarkan panas dan sinarnya di langit tanpa batas.
"Apakah Aro sudah datang ke rumah ini ya?" tanya Phiro di dalam hatinya, sambil beranjak dari peraduannya, dengan malasnya.
"Sepertinya belum, kalau Aro datang. Pasti ia sudah menghampiriku. Apakah ia lupa dengan janjinya itu?" ucap Phiro di dalam hatinya, lalu melangkahkan kakinya. Menuju ke arah jendela kaca, untuk melihat halaman rumah itu. Untuk mengetahui Pharo telah datang apa belum.
Phiro pun tak melihat kehadiran kembarannya gaibnya, di halaman rumah itu.
"Sepertinya aku harus melakukan telepati lagi dengan Aro," kata Phiro masih di dalam hatinya, lalu memejamkan matanya untuk melakukan telepati dengan kembaran gaibnya itu.
"Aro, apakah kau mendengar suaraku?" tanya Phiro di dalam telepati nya.
"Ya, aku mendengar suaramu ...," jawab Pharo, dengan nada yang datar.
"Kau itu, ingat dengan janjimu itu atau tidak sih?" tanya Phiro, dengan penuh selidik.
"Ya, aku ingat. Aku akan menuju ke tempat di mana kau berada sekarang. Tentu dengan cara manusia sejati, aku akan datang ke rumahmu. Itu yang kau ingin ucapkan?" sahut Pharo, dengan nada tajam.
"Ya, dan ingat jangan bertingkah aneh. Atau menggunakan sihirmu di dalam rumahku, atau dengan orang-orang yang ada di dalam rumahku," ujar Phiro, memperingati kembaran gaibnya itu.
"Ya, aku mengerti. Dan jangan banyak bicara lagi, aku sudah ada di depan gerbang rumahmu," ujar Pharo, lalu menghentikan kontak telepati nya.
Belum sempat Phiro membuka matanya. Tiba-tiba saja terdengar suara bel dari luar pintu gerbang rumah yang dihuni olehnya.
"Pasti itu Aro, baguslah kalau ia tidak asal muncul di hadapanku," kata Phiro, di dalam hatinya. Lalu melangkahkan kakinya, keluar dari kamarnya, untuk menuju ke arah pintu gerbang yang telah dibuka oleh satpam penjaga rumah itu. Yang menyangka, bila Pharo adalah Phiro.
Saat pintu gerbang itu terbuka. satpam itu pun tersenyum ke arah Pharo, dengan penuh keramahannya.
"Mas Phiro, kapan keluarnya dari rumahnya? Ko bisa ada di luar rumah tanpa sepengetahuan saya?" tanya Satpam itu, dengan ramahnya. Tetapi dijawab kurang sopan oleh Pharo.
"Aku ini Pharo, bukan Phiro, bodoh!" timpal Pharo, yang membuat Satpam itu hanya dapat terperangah mendengar jawaban ketus dari Pharo, yang seakan tak memiliki tata krama. Sangat berbeda dengan Phiro, yang ia kenal selama ini.
Apalagi saat Phiro menghampiri mereka berdua. Satpam itu pun menjadi bertambah bingung. Melihat 2 orang yang benar-benar serupa. Nyaris seperti pinang dibelah dua. Hanya cara berpakaian dan bicara mereka yang berbeda, ada di dua sisinya secara bersamaan.
"Maafin ucapan kembaran saya yang kasar ya, Pak. Maklumlah anak metropolis, jadi agak tidak sopan," ujar Phiro dengan lembutnya kepada satpam itu.
Nampak Satpam itu masih bingung. Melihat Phiro dan Pharo yang ada di antara dua sisinya itu.
"Tapi sebelumnya tidak pernah ada yang cerita, tentang kembaran Mas Iro. Apa saya yang sedang bermimpi ya?" ucap Satpam itu, dengan penuh kebingungannya.
"Tidak, Pak Slamet tidak sedang bermimpi. ini sebuah kenyataan. Sekarang sebaiknya Pak Slamet tutup kembali pintu gerbangnya. Aku dan Aro, akan masuk ke dalam rumah," ujar Pharo, lalu mengajak Pharo masuk ke dalam rumah itu. Sedangkan satpam rumah itu segera menutup kembali pintu gerbang rumah itu.
"Kenapa gaya rambutmu, mengikuti gaya rambutku?" tanya Phiro kepada Pharo. Ketika berjalan menuju ke pintu masuk rumah itu, dengan penuh selidik kepada kembaran gaibnya itu.
"Bukannya aku ingin mengikuti gaya rambutmu. Tapi ini gara-gara dirimu, yang tanpa kompromi terlebih dahulu. Sebelum kau potong rambutmu itu ...," timpal Pharo, yang melirik ke arah tukang kebun. Yang menatap heran ke arah mereka berdua. Yang tak dipedulikan oleh mereka berdua. Dengan penuh keheranannya, karena melihat Phiro membawa orang yang sama persis dengan dirinya.
"Loh, memang apa hubungannya dengan diriku. Jangan mengarang cerita di depanku. Karena aku adalah si pembuat cerita. Jadi jangan bercerita yang mengada-ada dengan diriku," sahut Phiro, yang mulai memasuki rumahnya, dan menuju ke arah kamarnya yang diikuti oleh Pharo dari belakang.
Mereka terus berjalan beriringan secara perlahan. Hingga mereka pun tiba di dalam kamar Phiro.
Mereka berdua lalu masuk dan menutup kembali pintu kamarnya itu. Phiro lalu duduk di atas sofa yang ada di dalam kamarnya itu.
"Aku ini bukan dirimu, yang suka mengarang cerita. Perlu buktikan?" ujar Pharo. Lalu mencabut sehelai rambut Phiro, yang sedang duduk di atas sofa itu.
"Aduh!" teriak Phiro spontan, tak menyangka bila Pharo yang berdiri di hadapannya itu. Akan melakukan hal itu. Dan bersamaan dengan helai rambut Phiro yang tercabut dari akarnya. Sehelai rambut itu pun jatuh ke lantai, yang disaksikan oleh Phiro.
"Ini buktinya, di tanganku ada rambutmu. Sedangkan yang di lantai itu adalah rambutku. Coba kau ambil rambutku ini," ujar Pharo, dan Phiro pun lalu mengambil rambut Pharo yang ada di lantai kamar Phiro.
"Sekarang coba kau bandingkan. Panjang, warna dan bentuk rambut ini, samakan?" kata Pharo dengan entengnya.
Phiro pun lalu mengamati 2 helai rambut itu. Lalu ia pun menganggukkan kepalanya.
"Sulit dipercaya, tapi ini adalah sebuah kenyataan yang pasti dan nyata. Oke! aku percaya dengan semua ucapan mu itu," tutur Phiro, dengan lepasnya.
"Tapi masalahnya, kenapa kau memilih model rambut seperti ini? Yang tidak aku suka pada awalnya!" ujar Pharo dengan sedikit keras.
"Sori! ini bukan keinginanku. Potongan rambut seperti ini merupakan rekomendasi dari Om Bram, jadi ini bukan salahku. Tapi sekarang kau sudah suka dengan potongan rambut seperti inikan? Jujur saja pada awalnya aku pun tidak suka dengan potongan rambut seperti ini. Tapi lama kelamaan, karena aku sudah terbiasa dengan model rambut seperti ini. Aku pun menjadi nyaman dan merasa cocok," tutur Phiro, dengan pembelaannya itu. Yang membuat Pharo tersenyum dengan lebarnya.
"Ya, aku akui aku pun awalnya seperti itu. Tapi kini aku pun telah terbiasa, dengan potongan rambut seperti ini," sahut Pharo.
"Tapi kenapa ya, diriku ini bisa mempengaruhi dirimu. Padahal kita ini tidak sama?" tanya Phiro, dengan penuh kebingungannya.
"Dasar bodoh! walaupun jiwa kita ini tidak sama. Tapi aku ini tercipta dari ari-ari mu, yang diselubungi oleh sihir ayah. Jadi biar bagaimanapun, aku ini pernah menjadi satu dengan tubuh dan dirimu," ujar Pharo dengan panjang lebarnya.
Phiro hanya terdiam mendengar penjelasan dari kembaran gaibnya itu. Tak ingin berkomentar apa pun lagi.
"Sekarang, apa yang bisa aku bantu untuk dirimu?" tanya Pharo, langsung kepada pokok permasalahannya itu.
Phiro pun terdiam sejenak. Untuk menjawab pertanyaan itu. Seakan sedang berpikir panjang saja.