Ingin Rujuk

1336 Words
Pagi-pagi melihat Surti mengerjakan pekerjaan rumah menjadi pemandangan mengasyikkan bagi Sari. Wanita tua itu selalu mengeluh dan diam saat Fikri atau Selvi lewat. Lalu mulai mengoceh panjang lebar. Padahal dulu ia hanya asyik selonjoran atau menggosip dengan tetangga. Sekarang ia merasakan sendiri lelahnya mengurus rumah. "Punya anak bukannya membuat orang tua bahagia, malah menyusahkan. " "Kalau saja dia bukan pengusaha, sudah pasti aku jambak rambutnya karena membuatku melakukan pekerjaan seperti ini." Sari pun tidak ambil pusing. Dia menikmati cemilan sambil melihat Surti yang bersih-bersih. Sari bersikap acuh tak acuh seperti yang Surti lakukan saat ia dulu melakukan pekerjaan ibu rumah tangga. Tentu saja ada sesuatu yang ia tunggu selain menikmati Surti yang kelelahan, yaitu tukang ojol yang membawa pesanannya. Ketika tukang ojol tiba, Sari melengos pergi begitu saja setelah mengambil pesanan makanan dari ojol, lalu kembali ke sofa di depan tv. Pokoknya yang Sari pesan hanyalah makanan favorit Surti. "Dasar pelit," cibir Surti. Sari kembali tidak mengrubis. Ia masih menikmati makanannya di depan tv. Ia juga ingin melihat seperti apa Selvi pada Surti. Apakah ia memang sebaik yang Surti banggakan. Beberap menit kemudian, Fikri menggandeng Selvi dengan penuh cinta. Pria itu memperlakukan Selvi seperti ratu. Sesuatu yang tidak pernah ia lakukan. "Sayang, sini aku pakaikan sepatu mu. Lihat ini, kaki mu sangat cantik. " Pujian Fikri nampaknya membuat Selvi bahagia. "Iya donk, aku tidak burik seperti yang di sana itu kan?" tunjuk Selvi ke arah Sari. "Jauh donk. Kamu jauh lebih cantik, lebih seksi, lebih kaya, pokoknya lebih dari dia." "Sudah - sudah. Pujiannya nanti saja. Antarkan aku bekerja dulu. Jangan sampai kesiangan. " "Siap." Sebelum mereka pergi, Surti mencegah keduanya. "Nak, ibu kehabisan uang belanja. Ibu minta uang ya?" Surti menyodorkan tangan ke arah Selvi. "Lho, kok minta ke aku. Ke Mas Fikri donk Bu," protes Selvi. "Mas kan belum gajian. Kamu beri ibu dulu ya. Di dompet Mas cuma ada buat pegangan." 'Katanya pengusaha, dimintai uang saja pake berdebat, ' batin Sari. Dengan wajah kesal, Selvi memberi uang sejumlah dua puluh ribu. "Ini, jangan boros - boros Bu." Setelah itu ia melenggang ke arah Sari. "Duh, jadi janda. Kasihan ya, masih cinta sama suami ku ya? sampai tidak mau pindah. Alasan hutang segala, kalau aku sih gengsi tinggal bareng sama orang yang membuangku." "Kalau aku lebih malu mengambil suami orang." "Salah kamu sendiri tidak mau dandan, dan jaga suami. Jadi diembat yang lain dech. " "Kalau wanita itu tahu malu, dia pasti akan jaga jarak sama suami orang. Tapi maklum saja, pelakor kan otaknya uang. Waktu suami kaya, dia pasti nempel terus, waktu suami miskin, pasti langsung cari lain lagi. Yah maklum, lubang obralan." "Kau!" Selvi melihat ke arah Fikri. "Mas, usir dia donk. Aku tidak mau melihat dia di rumah lagi." "Mimpi, uang saja dia tidak punya. Memangnya mau dapat uang dari mana dia?" Selvi masih tidak terima. "Mas, kamu kan manajer. Pinjam kantor mu dulu pasti bisa kan!?" "Me-mereka belum ACC karena aku baru menjabat, Selvi. Lebih baik kamu saja yang bayar ya?" "Tidak perduli. Pokoknya aku mau dia cepat pergi dari rumah. Uangku untuk gaji karyawan ku!" Selvi yang marah akhirnya meninggalkan rumah dan membawa mobil sendiri. Hal itu membuat Fikri pusing. "Sari, tolong pergi dari sini. Aku akan mencicil uang mu. Apa kamu tidak bosan dihina ibu dan istriku." "Boleh, tapi kalau Mas tidak mencicil bulan depan, maka aku akan menggadaikan sertifikat rumah ini." Fikri menghela nafas panjang. Istrinya yang dulu selalu tersenyum dan manis, berubah menjadi dingin dan keras. Tentu saja ia tahu semua akibat ia mentalak dan menikah lagi. "Iya, jadi aku mohon pergilah. Kita kan bukan lagi suami istri." " Tenang saja. Aku akan pergi." "Assalamualaikum, Permisi." Percakapan mereka terpotong saat beberapa gadis masuk. "Sari! Ya ampun aku kangen." "Ih kamu kok tambah imut sih!" pekik Rara. " Kangen dech!" Fitri, Heni, Rara menghampiri Sari. Mereka berpelukan seolah meniru teletubies. Fikri pun menjauh, sedangkan Surti hanya mendengus kesal. "Ayo duduk, kalian mau melihat tas yang aku jual itu ya?" tanya Sari. "Iya, mumpung kamu jual murah. Tapi Sari, kenapa kamu tinggal di rumah seperti ini sich?" Heni melempar pandangan tidak suka ke arah rumah yang ia anggap kecil. "Pengen saja. Sebentar, aku ambil tas itu dulu ya?" Sari sedikit berlari menuju ke kamarnya. Lalu mengambil lima buah tas yang dibuang Surti kemarin. "Tas kw saja dijual," cibir Surti yang masih didengar oleh Sari. Namun Sari hanya menggelengkan kepalanya. 'Sebentar lagi ibu akan pingsan saat tahu harga tasnya.' Sari pun menjajar tas di atas meja. Tentu saja hal itu disambut antusias oleh Fitri, Heni dan Rara. "Wah, ini kan keluaran terbaru! yakin kalau mau jual harga segitu." "Iya bawel." "Ya sudah aku transfer ya?" ucap Heni. "Jangan, kalian transfer di yayasan ini saja. Aku sudah minta nomor rekening yayasan panti asuhan kok." Sari menunjukkan rekening yayasan yang ia temui waktu belanja. "Okey." "Tas kw kok kalian banggain," celetuk Surti. Ketiganya menoleh dengan mulut menganga. "Apa!? Kw hahaha...Dia mantan mertuamu ya Sar? pantesan tidak tahu barang bagus. Eh Bu, ini aslinya harga tiga ratus juta. Makanya kami senang lihat Sari jual separuh harga. " "Apa!?" Surti terbelalak. Fikri yang mendengar juga ikut terkejut dan mendekat. "Benar Bu. Tas yang ibu buang kemarin asli. Karena ibu tidak mau ya aku jual saja buat amal ke yayasan," celetuk Sari. "Enak saja. Itu tas ku. Kalian tidak boleh mengambilnya!" Surti berusaha mengambil tas di meja. Tapi ketiga orang itu lebih cepat. "Ini tas aku ya. Aku sudah bayar," geram Fitri yang langsung pergi dari rumah. "Dasar orang tua aneh." Langkahnya diikuti oleh Heni dan Rara. "Berhenti! kembalikan tas ku dasar maling!" Fitri yang geram langsung menoleh ke arah Surti. " Sekali lagi ibu ngomong gitu aku akan minta suamiku menangkap ibu dengan tuduhan fitnah dan tindakan tidak menyenangkan ya. Asal ibu tahu kalau suamiku perwira polisi." "Bu, sudah. Kita jangan sampai berurusan dengan hukum," Fikri memperingatkan ibunya. Sari pun ikut-ikutan menyindir Surti. "Ibu ini aneh, padahal kemarin melempar tas itu dan jijik. Kok sekarang malah kayak gini. Nyesel ya? sayangnya sudah terlambat." Sari pun masuk ke kamarnya. Dia mengeluarkan tas besar untuk mengemas pakaiannya. Di rumah ini ia memang tidak memiliki banyak baju demi mendukung aktingnya. Fikri mulai merasa aneh dengan Sari. Ia mulai memikirkan kembali tiga tahun terakhir saat ia menikah dengan Sari. Dia sama sekali tidak pernah kekurangan uang meski dia jatah dua juta. Padahal rumah ini memakai AC. Bahkan AC rumah ini juga dibeli oleh Sari. Saat itu Fikri memang tidak pernah mempertanyakan masalah itu. Namun sekarang ia ingin bertanya langsung pada Sari. "Tas harga ratusan juta ibu melayang Fikri. Wanita mandul itu menjualnya..." Surti mulai meratap. "Ini salah ibu. Siapa suruh membuang tas itu." Dengan kesal Fikri menuju ke kamar Sari. Dia melihat mantan istrinya sibuk mengemas koper. "Sari, apa selama ini kamu bekerja?" Gerakan Sari berhenti sejenak tapi berlanjut setelah ia menghela nafas kesal. "Bukan urusan mu. Kita bukan siapa- siapa. Apalagi besok ikrar talak harus kamu bacakan di pengadilan Agama." "Andai saja kamu mengatakan kalau bekerja, aku pasti tidak akan menceraikan mu!" "Aku justru bersyukur tidak mengatakannya karena bisa tahu kalau kamu hanya laki- laki picik yang gila harta. Demi wanita kaya kamu menceraikan ku," balas Sari. Air matanya hampir menetes karena rasa sakit yang pria ini torehkan. " Kita kan bisa rujuk. Aku akan mencabut gugatan ceraiku!" " Jadi kamu mau kehilangan istri seorang pengusaha? Ingat Selvi pasti akan meminta cerai juga jika kamu tidak mau menceraikan ku." Fikri terdiam, ia juga berat melepaskan Selvi yang seorang pengusaha. Namun, jika Sari bekerja maka beban biaya rumah tangga bisa dipegang Sari. "Aku akan membujuk Selvi menerima mu." "Huh, aku tidak sudi kembali padamu. Kalau sampai kamu membuat proses cerai sulit, maka aku akan membuatmu dipecat, sertifikat rumah akan aku gadaikan. Lagi pula aku memiliki pengacara agar bisa bercerai dengan mu," ancam Sari. "Lihat saja, prosesnya cepat kan? tidak sampai satu bulan, kita sudah ada di tahap proses ikrar talak." Fikri bungkam. Memang benar, proses pengadilan biasanya lama. Fikri pun semakin penasaran dengan identitas Sari. Semakin ke sini, ia semakin merasa kalau Sari bukan wanita biasa. Tbc.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD