Dengan kecepatan yang di luar batas Kelvin mengemudikan mobilnya, dia yang sedang berada di kelas harus meminta izin kepada dosen yang mengajar untuk pulang, karena ayahnya yang seharusnya berangkat keluar negeri hari ini tiba-tiba berada dirumah dan meminta dia untuk segera menemuinya.
Pikiran Kelvin mulai menerawang ke berbagai hal, mulai dari uang dari ayahnya yang selalu habis dalam sesaat, hingga ada pengaduan dari penjaga rumah jika Kelvin selalu pulang pagi.
Perasaan nya berkecamuk. Ada perasaan ingin marah sehingga Kelvin memukul-memukul stir mobil dengan sangat keras. Berkali-kali Kelvin mengeluarkan klakson mobil yang sangat panjang saat berada di lampu merah. Kelvin selalu marah kepada orang yang menghalangi jalanya. Dia bahkan berteriak sehingga mengatakan perkataan-perkataan kotor sambil membuka kaca mobilnya.
Hingga di komplek perumahan Kelvin memperlambat laju mobilnya, dia ingin ayahnya melihat ia datang dalam keadaan yang baik-baik saja. Kelvin mengambil nafas dalam-dalam agar agar sedikit tenang. Dia sungguh berharap tidak akan ada hal buruk terjadi. Setibanya di depan rumah, tepat di depan pagar rumahnya, Kelvin berhenti sambil menunggu satpam membukakan pagar untuknya.
Kelvin memasukan buku-buku yang berantakan di dalam mobilnya ke dalam tas ranselnya. Sesekali dia bercermin untuk memastikan dia dalam keadaan baik-baik saja. Setelah berkemas pagar tak kunjung di buka kan, satpam yang biasanya bertugas membukakan gerbang tak juga kelihatan. Akhirnya dia memutuskan untuk membuka gerbang sendiri dan memasukan mobil kedalam garasi.
Begitu hening dan sepi, begitulah keadaan rumah Kelvin yang kelihatan dari luar. Biasanya saat dia pulang, satpam selalu memutar musik dangdut favoritnya dengan volume yang cukup besar. Si mbok yang bekerja membersihkan rumah biasanya datang membukakan mengucapkan salam ketika dia keluar dari mobil. Kali ini sungguh aneh, ada yang berbeda. Keheningan apa ini? Apakah sesuatu yang baik, atau sesuatu yang buruk??
Dengan langkah berat Kelvin memberanikan diri untuk melangkahkan kaki membuka pintu rumah, sebelum membuka pintu, dia sempat menempelkan telinganya ke pintu, berharap dapat mendengarkan sesuatu dari dalam rumah. Tapi dirumah sungguh sepi dan seperti tiada kehidupan.
Kelvin masuk kerumah, berjalan menuju ruangan makan yang berada di bagian belakang rumah. Di ruangan itu biasanya para pekerja yang ada di rumahnya berkumpul.
Memang benar pak satpam dan si mbok berada disana. Tertunduk dan membisu, begitulah keadaan mereka saat pertama kali Kelvin melihatnya.
"Bapak ada di kamar Mas, beliau menunggu disana." Pak Karto melihat Kelvin dengan raut wajah sedih. Ingin membantu tetapi tidak tahu harus seperti apa karena bagaimanapun beliau hanya orang luar yang bekerja di rumah ini.
Kelvin yang masih membisu, belum mengeluarkan sepatah kata pun, sudah mendapatkan perintah untuk segera ke kamarnya dari pak satpam.
Pikiran Kelvin yang masih menerawang ke berbagai hal, membuat dia tetap terdiam dan langsung melangkahkan kakinya ke arah kamar tanpa menanyakan sesuatu kepada Pak Karto.
Kelvin berjalan dengan tertunduk, dengan penuh ketakutan. Dia menelusuri tErik menuju ke lantai dua rumahnya. Dia berjalan tertunduk sambil melihat setiap kilauan yang terpancar dari anak tErik yang terbuat dari keramik itu. Satu persatu anak tErik dilalui Kelvin dengan sangat lambat. Setiap satu anak tErik yang dilalui Kelvin menambah rasa takut yang ada di dadanya. Kelvin merasa tak sanggup untuk menghadapi apa yang akan terjadi sesaat lagi.
Kelvin melihat pintu kamarnya sudah terbuka, itu berarti ayahnya memang berada di dalam. Saat sudah sangat dekat dengan kamarnya, dia sempat menghentikan langkahnya. Dia melihat kamarnya yang sungguh berantakan, seperti telah di obrak abrik. Pintu-pintu lemari terbuka, baju-baju berserakan di lantai. Buku-buku tak lagi di posisi semula.
"Kemana saja kamu Kelvin? Kenapa lama sekali?"
Saat Kelvin termenung memikirkan kemungkinan terburuk yang terjadi, tiba-tiba saja sang ayah berteriak dari dalam kamar.
Kelvin masuk kedalam kamar, dan melihat muka ayahnya yang penuh dengan kemarahan. Dia mendekat ke ayahnya. Tanpa ada satu patah kata pun ayah Kelvin langsung melayang tamparan ke wajahnya.
Kelvin yang sebelumnya hanya tertunduk dengan terpaksa mengangkat wajahnya karena tamparan itu. Sekali lagi dia melihat wajah kemarahan ayahnya, bahkan kali ini dari dekat.
"Sejak kapan?" Ayah menarik kerah baju kerah Kelvin dengan cukup erat. Kelvin sangat merasakan kesakitan akibat tindakan ayahnya.
"Maksudnya?" tanya Kelvin tidak mengerti.
"Kamu jangan pura-pura bodoh anak gila, sejak kapan kamu pakai ini?"
Pak Erik selaku ayah Kelvin mengeluarkan bungkusan kecil. Kelvin langsung pucat pasi. Kakinya mendadak mati rasa, tidak ada pembelaan sama sekali.
"Jawab Kelvin! Sejak kapan?"
Pak Erik menampar Kelvin secara tiba-tiba dan mengeluarkan darah dari sudut bibirnya.
"Ini semua karena Ayah, kalau Ayah dan Ibu masih mau peduli, aku nggak akan melakukan hal gila kayak gini!"
Kelvin akhirnya bisa mengeluarkan segala rasa yang terpendam sejak lama.
"Oh kamu mau nyalahin Ayah, kamu anak bodoh nggak berguna. Malu-maluin keluarga! Seharusnya kamu membanggakan seperti sepupu-sepupu kamu yang lain."
Selalu saja begini, Kelvin sampai muak karena selalu dibanding-bandingkan. Siapa yang membuat dia menjadi seperti sekarang? Seharusnya sang ayah tahu dengan jelas.
"Saya menyesal punya anak seperti kamu!"
Hati yang sudah terluka parah kembali ditaburi garam karena ucapan sang Ayah. Kelvin manusia biasa, dia berharap dalam hati agar mati saja sekarang. Tidak ada lagi gunanya dia hidup didunia ini.
Kelvin mengepalkan tangannya sampai bergetar dengan hebat. Ia menatap tajam sang Ayah seakan-akan apa yang ia rasakan selama ini tidak tertahankan lagi.
"Lo nyesel punya anak kayak gue?" tanya Kelvin penuh penekanan. Ia mulai mengubah tata bicaranya sendiri.
Tentu saja Erik kaget dengan perubahan bahasa yang digunakan sang anak.
"Dan asal lo tau gue juga nyesel jadi anak lo. Kalau gue bisa minta sama tuhan, maka gue nggak mau lahir di keluarga gila ini," lanjut Kelvin lagi. Matanya sudah berkaca-kaca.
Kelvin sudah tidak mampu mengontrol emosi. Kebencian terhadap ayahnya semakin membesar.
"Kamu melawan sama ayah kamu sendiri?"
"Ayah?" Kelvin membeo, kata ayah tidak ada lagi di hidupnya sejak beberapa tahun yang lalu. Kelvin tertawa penuh kesedihan.
Emosi Pak Erik tidak terbendung lagi, ia memang punya temperatur emosi yang tinggi. Maka jangan heran jika sejak kecil Kelvin mendapat perlakukan yang tidak baik dari sang Ayah.
Pal Erik melayangkan tamparan, tetapi kali ini Kelvin tidak tinggal diam. Ia langsung memegang pergelangan tangan sang Ayah. Tatapan keduanya bertemu, kali ini tidak ada lagi sosok ayah dan anak.
"Asal lo tau gue udah pakai ini 2 tahun yang lalu. Haha seharusnya sekarang lo serangan jantung dan mati,"ujar Kelvin.
"Kamu anak kurang ajar!"
Pak Erik langsung melepaskan cengkraman tangan anaknya.
"Kamu seharusnya bangga punya ayah seperti ini, semua kebutuhan kamu saya berikan. Ta-tapi kenapa kamu jadi gini?"
Pak Erik luar biasa marah dengan anak satu-satunya itu.
Lagi-lagi Kelvin tertawa, hidupnya memang lucu. Apa semua luka fisik dan psikis bisa disembuhkan dengan uang? Jika memang tidak mungkin ada orang kaya yang gila diluaran sana.
"Gue nggak butuh!"
Pak Erik memanggil beberapa orang bawahannya untuk memegang Kelvin karena dia memberontak.
"Anak kurang ajar!" tamparan ketiga
"Anak tak tau diuntung" tamparan keempat.
"Anak gila!" tamparan kelima mendarat di wajah mulus Kelvin.
Darah mengalir, muka merah, ada beberapa sobekan di ujung bibir dan ujung mata Kelvin. Sakit yang Kelvin rasakan tidak ada apa-apanya dibanding sakit akibat ucapan ayah sendiri.
"Lo gak tampar lagi? sekalian ambil pisau dan lo tusuk gue. Bunuh aja gue sekalian," lirih Kelvin yang sudah kehabisan tenaga.
Pak Erik tidak ada rasa penyesalan sedikitpun melakukan kekerasan terhadap anaknya. Para bawahan pak Erik yang memegang Kelvin sudah sangat kasihan dengan tindakan bosnya itu.
"Cih, tangan ini nggak mau bunuh tubuh kamu yang busuk itu. Mulai detik ini kamu bukan anak saya lagi. Anak saya sudah mati!" pak Erik menyiram wajah Kelvin yang terluka dengan air.
Kelvin menahan perih akibat air yang mengenai lukanya itu. Bukan ini yang Kelvin mau. Dia berharap tuhan detik ini juga mencabut nyawanya. Ini terlalu tidak adil untuknya.
"Kalian bawa sampah ini keluar dari rumah ini. Kemasi semua barang-barangnya dan antar kan dia jauh dari rumah ini!"
Itu adalah perintah pak Erik. Bawahannya langsung mematuhi dengan mengemasi barang-barang Kelvin. Ternyata pak Erik masih memiliki hati untuk memberikan beberapa lembar uang didalam barang-barang Kelvin.