“Demi apa, lo tadi sama Kak Gian, Ki?!” Haura berseru heboh. Dia menggoyang-goyang tanganku, membuat perhatian beberapa orang tertuju ke kami. Masih ada lima belas menit lagi sebelum perkuliahan dimulai, jadi koridor sedang ramai-ramainya. Aku sampai meringis malu, nggak enak jadi bahan perhatian. “Kok bisa? Bukannya dia nggak ada kelas hari ini?”“Nanti aku jelasin, Ra,” bisikku pelan, lalu menyeret Haura menuju kelas kami. Sudah banyak yang datang, sampai jejeran belakang dan tengah penuh. Dengan terpaksa aku dan Haura menempati barisan depan, sebenarnya ini nggak menyenangkan mengingat terlalu dekat dengan meja dosen. Tapi nggak ada pilihan lagi. “Kalau aku ngomong, kamu pokoknya jangan potong. Nanti aja, setelah selesai.”
“Setuju!”
Melihat Haura mengangguk mantap, tiba-tiba aku menelan ludah gugup. Sedikit. Pasalnya dia pasti bakal syok, mengingat nggak ada angin dan hujan, tiba-tiba mendapati aku diantar kuliah oleh Kak Gian. Haura nggak tahu kalau aku mengagumi kakak cowok itu. Yang dia tahu cuma, Kak Gian senior yang populer. Digilai mahasiswi seangkatan, maupun yang di bawah angkatan.
Setelah menyandarkan tas di kaki kursi, aku menegakkan punggung dengan tangan bertaut di atas paha. Haura menatapku saksama, kentara penasaran juga menunggu. Bibirnya bungkam, dengan netra menyorot intens. Mungkin sekarang nggak akan kujelaskan secara spesifik hubungan kami, tapi nggak akan menutupi juga kalau antar aku dan Kak Gian sedang pendekatan.
“Jadi, dia datang ke rumah buat anterin aku kuliah,” jelasku pelan-pelan. “Kak Gian itu anak dari teman sekaligus rekan bisnis ayah. Dulu kami pernah ketemu, tapi aku lupa karena masih belasan tahun. Sekarang ketemu lagi pas makan malam keluarga. Eyang sama opa-nya Kak Gian mau kami dekat ...”
“Terus kalian setuju? Wah, gila-gila! Beruntung banget lo, Ki. Asli beruntung banget!” Untuk kesekian kalinya Haura heboh, membuatku terpaksa membungkam mulutnya karena anak-anak mengernyit aneh ke arah kami. Mataku agak melotot ke arah Haura, menegurnya secara nggak langsung supaya bersikap lebih kalem. Untungnya Haura lekas mengangguk, membuatku melepaskan bekapan. “Kayak n****+ romantis. Nanti kalian menikah, punya anak banyak, happy ending.”
Sontak aku mengetuk kening Haura, membuat dia ngakak nggak berdosa. Bibirku mengerucut, merasa khayalannya terlalu jauh. Baru juga hari ini kami resmi memulai, Haura malah sudah membayangkan ke arah sana. Meskipun nggak dipungkiri jantungku deg-degan memikirkan apa yang Haura bilang. Pasti rasanya beruntung sekali ada ikatan, saling memiliki rasa, punya anak bersama laki-laki yang diinginkan.
“Kamu tahu sendiri, aku nggak pernah bisa bilang enggak sama eyang. Terlebih, aku nggak pernah dekat sama cowok manapun, jadi nggak ada salahnya mencoba.” Nada bicaraku dibuat sebiasa mungkin, supaya Haura nggak menangkap adanya binar antusias di sana. Intinya aku ingin rasa kagum tersebut hanya Tuhan dan aku yang tahu. “Kak Gian juga nggak nolak. Jadi, seperti yang kamu lihat, kami ... pelan-pelan mencoba saling mengenal satu sama lain.”
“Pantas tiap kali ada yang nyatain perasaan, Kak Gian selalu nolak. Ternyata udah punya calon sendiri, dipersiapkan keluarga maksudnya.” Kemudian Haura mendesah, menatapku memelas. “Irinyaaaaaa. Andai gue elo, nggak pake pendekatan juga langsung tancap gas nikahan. Cowok kayak Kak Gian itu limited edition, lambat dikit bakal ketikung. Yang mau dia banyak.”
“Doain aja semuanya lancar, Ra.” Aku tersenyum tipis, kemudian mulai acuh dengan mengeluarkan binder, pulpen dan tipe-x dari dalam tas. Dosen sebentar lagi masuk, benda-benda ini penting sebagai alat penunjang selama perkuliahan berlangsung. Aku nggak mau kehilangan konsentrasi ataupun kelewat mencatat materi. Karena risih kalau semuanya nggak sempurna. “Udahan aja pembahasannya. Aku capek ngomong banyak ke kamu.”
“Kia nggak asik! Padahal gue mau tau banyak hal, seperti kayak apa rasanya duduk di belakang Kak Gian. Dia wangi apa. Pundaknya enak nggak buat senderan. Atau, badannya enak nggak pas dipeluk. ‘Kan kesan pertama itu penting. Karena ini pertama kalinya lo dijemput, otomatis lo udah punya penilaian sendiri, dong.”
“Enggak kayak gitu. Kak Gian sopan, mana mungkin aku balas dengan sikap bar-bar. Lagipula ada jarak, karena ini masih baru. Aku naik motor tanpa pegangan, tanpa deketan. Untungnya Kak Gian nggak ngebut. Mungkin dia ngerti, aku bakal jatuh kalau dia buru-buru. Lagipula jalanan tadi cukup lenggang, kok.”
“Duh, kalian berdua polos banget. Greget!”
Aku nggak lagi menanggapi Haura, lebih-lebih Pak Arfan masuk dengan tas laptopnya. Beliau menyapa ramah, bertanya kabar kami semua yang langsung dijawab “baik-baik saja!” secara serentak. Lalu setelah duduk belaiau menyerahkan lembar absensi, kemudian kelas dimulai di detik selanjutnya. Baik aku maupun Haura nggak lagi bersuara, karena kami fokus menatap depan, juga mendengarkan penjelasan Pak Arfan.
***
Eyang paling antusias di sini. Beliau makin memperhatikan kami–maksudnya aku dan Kak Gian. Bertanya bagaimana rasanya setelah melewati hari pertama bersama, juga berhasilkah menanggalkan kecanggungan satu sama lain saat memulai komunikasi. Karena nggak ingin ada yang ditutupi, aku menjawab semuanya dengan jujur.
Nggak perlu kenal lebih jauh, semua orang pasti tahu Kak Gian itu ramah. Jadi, dia nggak pernah kehilangan bahan untuk memulai pembicaraan. Seperti yang sudah diperkirakan, Kak Gian jauh lebih santai padaku. Hanya aku yang gugup setengah mati, hampir terbata setiap menjawab kata-katanya. Mau gimana lagi, aku nggak pernah bisa menahan diri untuk nggak salah tingkah. Crush yang kuidam-idamkan dalam hati sekarang sedekat ini. Padahal sebelumnya dalam mimpi sekalipun aku nggak pernah berani membayangkan.
Kak Gian memintaku untuk jangan sungkan. Katanya kapanpun aku menghubungi, dia usahakan untuk membalas. Dia juga mau antar jemput, atau pergi bareng kalau kebetulan jadwal kuliah kami sama. Di pembicaraan kami kemarin, Kak Gian harap semuanya berjalan secara kasual. Ingin aku nyaman, ingin keluarga kami senang. Sehingga tujuan mempererat tali silaturrahmi tersebut berhasil.
Aku tahu Kak Gian tipe yang mengutamakan orang-orang, untuk itu aku kagum dengan apa yang dia utarakan. Dia juga bilang, akan sesekali mengajakku ke luar. Entah untuk jalan-jalan biasa, sekadar makan berdua, atau mengajak bertamu ke rumahnya mengingat Tante Rima begitu antusias ingin mengenalkan keluarga mereka lebih jauh padaku.
“Eyang percaya Gian, untuk itu tidak apa pulangnya lewat dari jam sepuluh,” kata Eyang di sela merapikan rambutku yang dicepol tinggi. Ini malam keempat setelah jemputan Kak Gian untuk pertama kali. Jadi rencananya malam ini aku diajak ke rumah keluarga Harun, karena Tante Rima yang punya ide tersebut. “Sampaikan salam Eyang ke Opa Tara, juga keluarga yang lain.”
“Iya, nanti Kia sampaikan, Eyang.”
Setelah beberapa menit memerhatikan penampilanku, akhirnya Eyang selesai dengan anggukan puas. Kami-pun beranjak ke luar, menuju ruang tamu di mana Kak Gian sudah menunggu. Di sana ada Ayah, sementara Bunda menemani Azka belajar di kamarnya. Entah apa saja yang sudah mereka bicarakan, intinya aku melihat Kak Gian mengangguk dengan ekspresi tenang.
Kak Gian langsung berpamitan pada Eyang dan Ayah. Dengan sopan dia bilang ingin mengembalikanku sebelum pukul sembilan malam, membuat Eyang yang mendengar menyunggingkan senyum lebar-lebar. Jangankan Eyang, aku saja merona mendengar betapa menjanjikannya kata-kata yang ke luar dari mulut Kak Gian, tapi aku berusaha menundukan pandangan supaya nggak terlihat mupeng yang berakhir mempermalukan diri sendiri.
Dia membawa mobil, lalu bertindak manis membukakan pintu penumpang untukku. Saat tangan kami nggak sengaja bersentuhan, Kak Gian lekas menarik kemudian menggumamkan maaf dengan raut bersalah. Aku kaget, tapi tersenyum sambil menggelengkan kepala. Dadaku menghangat mendapati dia begitu berhati-hati dan menjunjung tinggi persetujuan kedua belah pihak.
Selama belasan menit perjalanan, mobil hanya diisi keheningan. Aku terlalu gugup memulai pembicaraan, sementara Kak Gian terlalu menikmati perjalanan. Hingga nggak terasa mobil mulai memasuki halaman yang luas, membuatku mengerjapkan mata untuk memastikan apa yang kulihat nggak salah.
Keluarga Harun ternyata lebih dari yang kubayangkan. Nggak heran kalau mereka termasuk salah satu orang berpengaruh di kota ini. Ada perasaan familiar yang muncul saat aku menatap bangunan bergaya aristokrat itu lama-lama, tapi mendadak nggak yakin lagi apakah aku sudah pernah ke sini atau belum. Intinya nggak merasa asing sama sekali, semacam mencongkel kenangan lama, namun belum ditemukan.
“Kia?”
Panggilan ringan tersebut menyadarkanku dari lamunan. Lekas aku menoleh, manik kami langsung bertemu membuatku menelan ludah perlahan. Semoga Kak Gian nggak mendengar detak jantungku, karena kalau sampai terjadi, aku akan kehilangan muka karena terlalu malu. Demi apa pun ini hanya pertanyaan ringan, tapi semua responku selalu norak hanya karena yang melakukannya adalah Kak Gian.
“Bisa buka sabuk pengamannya?”
“Eh? I-iya bisa, Kak.”
“Kalau begitu, kita langsung masuk. Mama menunggu di dalam.” Setelah meloloskan satu senyuman tipis, Kak Gian ke luar lebih dulu. Dia memutari mobil, kemudian membuka pintu di sampingku. Membuatku bergegas melepaskan sabuk pengaman, lalu mengangguk canggung karena mati gaya.
Kami berjalan beriringan masuk ke dalam. Kedatanganku disambut oleh pekikan senang Tante Rima, beliau bahkan memeluk erat, juga mencubit pipiku karena gemas. Saat dituntun menuju ruang tamu, aku menyalami Opa Tara dan Om Sajad. Paper bag yang kubawa langsung diserahkan pada Tante Rima. Beliau berterimakasih mengetahui aku membuat brownies kesukaan beliau.
Pembicaraan berlangsung hangat. Ditemani teh bunga krisan, aku mendapat pertanyaan seputar kuliah dari Opa Tara. Om Sajad bertanya apa rencanaku setelah lulus kuliah nanti, kemudian menyarankan untuk sering berdiskusi dengan Kak Gian karena kami satu jurusan. Nggak lupa Kak Gian andil memberi tips untuk magang dan skripsi yang akan kuambil pada beberapa bulan mendatang.
Semuanya berlangsung menyenangkan, sampai tiba-tiba terjeda oleh kedatangan seseorang. Kami semua kompak menoleh, lalu aku mendengar omelan dari Tante Rima tentang nggak menyukai sikap anak keduanya yang sering melewatkan makan malam bersama. Yang membuatku diam-diam menggerutu adalah, Mas Danu dengan tampang nggak bersalah mengedipkan mata pada mamanya. Berkata kalau dia bukan anak kecil lagi, jadi nggak perlu ditunggu untuk makan.
Tadinya kupikir Mas Danu akan berlalu begitu saja, menilik dari penampilan yang masih berbalut stelan kantor lengkap dan dia butuh mandi untuk terlihat lebih segar. Tapi mendadak langkahnya terhenti, itu detik di mana pandangan kami bertemu. “Ternyata ada tamu. Kecil sekali, sampai-sampai hampir tenggelam ditelan sofa.”
Bibirku langsung merapat, menahan untuk nggak berdecak maupun mencibiri Mas Danu. Heran saja, kayaknya dia nggak menyukaiku. Buktinya sejauh ini, Mas Danu selalu mempermasalahkan hal-hal yang nggak perlu. Padahal aku nggak bermaksud menarik perhatiannya, kalaupun demikian, itu pasti terjadi karena nggak disengaja.
“Makan yang banyak, supaya cepat besar. Dengan tubuh seperti ini, orang-orang tidak akan menyangka kamu calon istrinya Gian.”
“Mas, jangan gangguin Kia.”
“Nanti dikira Gian menikahi anak TK, Ma.”
Mataku mendelik protes. Dengan alis menekuk garang, aku memberi tatapan penuh permusuhan pada Mas Danu. Selang beberapa detik, dia justru tertawa geli sambil menggeleng-gelengkan kepala. Selanjutnya Mas Danu mengedipkan mata padaku, lalu beranjak dengan tampang nggak berdosa.
Kenapa dia semenyebalkan itu?!
***