-13-

4862 Words
Sore menjelang. Aku mengajak Agatha untuk mengunjungi taman kota lagi. Agatha sudah mencium gelagatku. Dia tahu laki-laki yang kemarin mengganggu pikiranku setiap saat. Makanya aku penasaran dan mengajaknya sembari agak merengek untuk datang ke taman kota lagi. “Ah sudah aku duga. Kamu bakalan ngajak aku ke sana lagi.” Agatha meledekku. “Aku hanya ingin menikmati pemandangannya saja. Kan aku sering ke sana.” Aku mencoba menutupi kemerah-merahannya pipiku. Kenapa aku bisa salah tingkah terus begini. Ah aku tidak pernah merasakan perasaan yang seperti ini sebelumnya. Antara penasaran dan bayangan laki-laki itu terus menghantui ke mana pun diriku pergi. “Sudahlah tidak perlu berbohong. Aku juga pernah merasakan seperti itu. Malah sudah lebih dulu. Jadinya tahu kamu berbohong atau tidak.” Agatha tersenyum dan lagi-lagi menggodaku. “Tidak semua yang kamu tebak itu benar, Agatha. Aku tidak sedang mencari atau memikirkan seseorang. Percayalah.” Aku mencoba menegaskan diri untuk bersikap biasa saja. Bayangan wajah laki-laki kemarin aku coba tepis. Namanya yang berkumandang terus-menerus di gendang telingaku, mulai aku tepikan. Aku tidak ingin dia mengganggu pikiranku saat ini. Kami terus berjalan menelusuri jalan kemarin ketika kami bertabrakan karena saling mengejar pencopet yang mencopet tas ibu-ibu. “Aleksia. Ada laki-laki itu.” Agatha menepuk pundakku. Seketika refleks aku langsung celingak-celinguk mencarinya. “Mana? Di mana laki-laki itu? Tidak ada. Ada di bagian mana sih?” Aku terus mencarinya ke seluruh penjuru. Agatha menutup mulut karena menahan tawanya. Aku masih kebingungan. Namun beberapa saat aku baru sadar, kalau Agatha hanya mengujiku. Aduh sialan kenapa aku sampai kelupaan sih kalau aku sedang menguatkan diriku kalau aku tidak sedang memikirkan Jason. “Kenapa kamu ketawa?” Aku berpura-pura ketus. Padahal pipiku memerah kali ini. “Mau bagaimana pun kamu mengelak, aku akan tahu gelagatmu. Katanya tidak mencari, baru aku goda begitu sudah kayak ibu yang kehilangan anaknya bertahun-tahun lalu diberi tahu keberadaan anaknya.” Agatha tertawa sembari mencubit hidungku. Aku menimpuk wajahnya dengan tisu. Sialan dia menggodaku sepanjang jalan. Cara yang sama dia lakukan. Kadang aku juga tertipu karena dia tampak seperti beneran. Aktingnya aku akui sangat hebat. Hampir lima kali aku tertipu dan dia menertawaiku. “Sudahlah akui saja kalau kamu datang ke taman itu hanya modus biar bisa bertemu lagi, kan?” Agatha tertawa lagi. Meskipun orang-orang di sekitar melihatnya, dia tampak tidak peduli. “Tidak. Aku tidak mencari dia.” Aku masih menyembunyikan hal itu pada Agatha. Kami akhirnya sampai di taman itu. Agatha semakin curiga ketika aku tidak mau diajak membeli ice cream yang menjadi ciri khas taman kota ini. “Pasti sudah tidak sabar, sampai-sampai ice cream favoritnya tidak dibeli.” Ah sialan, aku mengumpat dan akhirnya menuruti saja keinginan dia. Aku berdiri menunggu ice cream dengan gelisah. Sesekali aku angkat kepalaku dan menengok ke bukit itu. Banyak orang berkerumun di taman kota ini. Jadinya aku tidak bisa melihat Jason. “Sudahlah. Kamu beli dulu saja. Pasti ketemu kok.” Agatha menarik pundakku dan memintaku melihat tukang ice cream membuatkan ice creamku. “Non mau rasa apa?” Tukang Ice cream menanyaiku seperti biasa. “Rasa cinta.” Entah mengapa bicaraku ngelantur. Agatha seketika tergelak. Tawanya pecah. Tukang Ice Cream yang lumayan tua tertawa kecil sembari mengelap keringatnya dengan handuk kecil yang melilit di lehernya. Agatha terus menggodaku. Aku memegangi kepalaku karena tidak sanggup. Entah mengapa aku bisa mengatakan hal itu tanpa sadar. Wajahku merona dan keningku dilapisi keringat. “Rasa cokelat dan stawberry, Pak.” Aku menggeleng dan mencoba fokus sembari menunju rasa ice cream yang aku pesan. “Kalau cinta saya cuma buat istri saya dek sayangnya.” Penjual Ice Cream menggodaku. Aku menatap dia dengan tatapan agak jijik. Bahku aku angkat sedikit. Bola mataku menatapnya aneh. Aku mengode Agatha untuk segera pergi. Agatha membayarnya dan kami pergi menuju bukit. Jalanku diselimuti kegelisahan. Aku berjinjit, untuk menengok apakah laki-laki itu ada atau tidak. Rasa-rasanya aku ingin menggunakan kekuatanku. Tetapi itu tidak mungkin. Mereka akan lari dan tidak akan pernah kembali lagi ke taman ini. Aku malah akan dirajami rasa bersalah karena membuat pengunjung setia ini ketakutan. “Aku rasa dia tidak ada, Aleksia.” Agatha berkata agak serius kali ini. Aku menatapnya dengan tatapan kesal. Tetapi aku mencoba bersikap biasa. Aku datang kemari bukan untuk mencarinya. Tetapi untuk melihat pemanangan yang ada. Ketika kami sampai di bukit, benar. Dia tidak ada. Aku sempat kecewa. Wajahku yang ceria berubah jadi murung. Aku tidak lagi bersemangat dan berpura-pura bahagia meskipun berat. “Kalau kamu ingin pulang, aku tidak masalah lo. Aku tahu kamu pasti kecewa. Jangan kamu simpan sendiri, Aleksia. Aku ini sahabatmu. Aku tahu kok kapan bercanda dan kapan tidak. Kalau kamu mau cerita, aku tidak akan meledekmu. Tenanglah.” Agatha langsung memelukku. Dia dekatkan tubuhku ke tubuhnya. Aku sandarkan kepalaku ke pundaknya. Ini hal belum pernah aku rasakan sebelumnya. Kecewa karena orang yang aku cintai tidak ada. Padahal sejak tadi aku mencari-carinya. “Dia ke mana ya, Agatha? Apa hanya kemarin pertemuan pertama dan terakhirku dengannya?” Aku sudah menepikan rasa maluku. Harus aku akui memendam perasaan ini sendirian memang sulit. Aku harus menceritakan hal ini padanya. “Tidak Aleksia. Dia akan bersamamu. Karena aku yakin auramu dengan auranya sudah menyatu.” Agatha membuatku mengangkat wajah. Dia mengangguk.  [][][][][][][][][][][][][][][][][][][][][][]  24. Dandelion tersadar. Dia menatap kami dengan tatapan bingung. Tubuhnya masih hitam legam karena terbakar oleh petir miliknya sendiri. Kami memberi waktu padanya agar kesadarannya pulih sempurna. Matanya tak lekat dari tubuhnya yang gosong. Tangannya menyentuh-nyentuh tubuhnya sendiri. Lalu menatap kami. “Kenapa tubuhku menjadi gosong seperti ini?” Kami terkejut karena dia tidak ingat apa-apa. Padahal sebelumnya aku dan dia terlibat pertarungan hebat. “Apa kamu lupa dengan pertarungan tadi?” aku menatapnya heran. Dandelion menggelengkan kepala. Aku memintanya untuk berusaha mengingatnya lagi. Tetapi dia tidak bisa. Kepalanya terlalu pusing apabila dipaksa untuk mengingat tentang pertarungan tadi. Aku mengedarkan pandangan ke mereka satu per satu. “Apa mungkin dia lupa ingatan?” Alex berbisik lirih padaku. “Bisa jadi. Katanya kepalanya terlalu pusing untuk mengingat semua. Jika memang lupa ingatan, kita bisa memanfaatkannya.” Aku tersenyum jahat. Alex mengedipkan mata tanda setuju. Aku memberinya minum. Lalu baru aku akan memintanya untuk mandi menghilangkan bekas gosong di tubuhnya itu. Mungkin dengan agak licik aku akan mencoba mencuci otaknya. Aku ingin dia melupakan semuanya tentang VENOM. “Kenapa tubuhku menjadi gosong seperti itu tadi?” usai memakan masakan yang kami suguhkan, dia mulai bertanya lagi. “Tadi kamu membantu kami menyerang musuh yang hendak mencoba menghancurkan desa ini. Desa ini adalah tanah kelahiranmu, Dandelion. Makanya kamu bertaruh nyawa menyelamatkan desa ini.” Pergerakkan awal mulai aku gencarkan. Rencana yang matang sudah aku susun di dalam otakku. Dandelion menatapku bingung. Aku berusaha terus menceritakan cerita yang aku reka-reka agar dia percaya. Matanya semakin redup karena memang mungkin ingatannya bersebrangan dengan apa yang aku ceritakan. Tetapi dia belum mampu mengingat semuanya. “Aku mengingat siapa kalian. Tetapi aku tidak ingin peristiwa apa yang terjadi sebelum ini. Tetapi tentunya aku sangat berterima kasih pada kalian karena telah menyelamatkan kami. Kalau tidak, mungkin aku sudah mati karena tubuhku gosong semua.” Dandelion mengangguk ke kami. Aku tersenyum dan tanganku menyentuh Alex, memberi isyarat kalau kami berhasil mempengaruhinya. Sore kian menghilang. Malam mulai tiba. Aku membawa Dandelion ke rumah untuk bisa beristirahat. Dandelion tertidur pulas sedangkan aku tidak. Sore baru saja pergi dan mungkin sepanjang sore tadi, Aleksia mencariku di taman kota. “Ah mana mungkin, itu hanya pikiranmu saja.” Diriku sendiri pun tidak mempercayaiku. Aku hanya tersenyum. Mungkin benar, itu hanya pikiranku saja. Perempuan secantik dia mana mungkin mau menghabiskan waktu hanya untuk mencariku di taman kota. Entah mengapa, Aleksia terus datang ke pikiranku. Merebut tempat hampir semuanya. *** Kami kembali agak malam karena benar, senja bisa menghilangkan sedikit kesedihan. Mulanya aku tidak pernah percaya akan keindahan senja seperti anak cinta. Tetapi kini aku sendiri yang terjebak olehnya. Agatha senantiasa menghiburku. Dia mencari cara agar aku bisa tersenyum setelah kesedihan merenggut senyumku sepanjang sore tadi. “Kamu belum melanjutkan ceritamu tentang laki-laki yang kamu cintai.” Aku ingat kalau Agatha belum sepenuhnya menceritakan ceritanya karena waktu itu kami sudah mengantuk. “Selalu saja kamu ingat. Ah iya karena sekarang sahabatku ini lagi mengenal cinta. Makanya apa pun yang berkaitan dengan cinta tampak menarik untuknya.” Agatha tertawa kecil ketika meledekku. Aku tersipu malu. Memang sejak dulu aku selalu keras perihal cinta. Banyak orang yang ingin menceritakan cintanya padaku, tetapi aku tidak mau dan merasa bodo amat dengan cinta. Bahkan aku sempat mengatakan kalau cinta tidak akan pernah ada. Salah satunya, Agatha. Aku selalu muak acapkali dia ingin bercerita soal cinta. Waktu itu aku lebih suka bertarung dan yang lain, yang membuatku sangat bahagia. “Terkadang keinginan seseorang itu berbeda-beda, Agatha. Kadang mempunyai keinginan bertarung saja, kadang mempunyai keinginan tentang cinta. Jadi tidak ada salahnya kan?” Aku mencoba membela diri. “Halah. Dulu saja selalu bilang kalau cinta itu hanya omong kosong dan tidak pernah ada. Sekarang mah tidak akan mungkin bilang seperti itu lagi.” Agatha mendengus kesal dan membuatku kembali tertawa. Ketika kami melewati jalan yang setiap malam selalu ramai karena ada semacam pertunjukkan jalan, pedagang kaki lima, kami melihat ada anak kecil sedang berupaya mengambil barang orang lain. Aku melirik ke arah Agatha. “Kita kejar saja anak itu. Siapa tahu dia disuruh orang.” Aku mengajak Agatha. “Baiklah. Mungkin malam ini tanganku akan berguna lagi. Sudah hampir satu bulan tangan ini menganggur.” Agatha mengepalkan tangannya. Gadis kecil itu berhasil mengambil barang-barang targetnya. Aku berjalan mengikutinya. Dia berjalan dengan sangat tenang, berbelok gang menuju tempat yang sepi. “Sepertinya dia mencuri perhiasan dari ibu tadi.” Aku yang mengajak Agatha memakai kekuatan menghilang dapat melihat apa yang gadis itu bawa. “Dia mirip dengan kita waktu kecil ya.” Agatha tersenyum-senyum sendiri membayangkan masa kecilnya dulu yang nyaris sepertiku. Dugaan kami benar. Anak itu memang disuruh oleh lima laki-laki berperut buncit yang memakai jaket hitam. Dia menyerahkan perhiasan itu ke mereka. “Ah anak baik. Terima kasih banyak.” Laki-laki itu tertawa merasa puas karena sudah mendapatkan perhiasan itu. “Lah bagianku mana, Om?” Anak itu tidak mendapat bagian dari mereka. Bukannya memberi mereka malah memarahi dan menendang anak itu. Seketika amarahku memuncak aku segera mencegat mereka. Agatha juga sudah tidak sabar ingin memberi mereka bogem mentah. “Kembalikan perhiasan itu. Itu bukan milikmu.” Aku yang muncul dari belakangnya, membuat mereka terkejut. Bukannya takut mereka malah menertawai kami karena menyadari yang datang adalah seorang perempuan. “Aduh bikin kaget saja. Ternyata Kakak-kakak cantik. Kenapa malam-malam begini lewat di gang sepi seperti ini. Nanti diculik lho. Apalagi kalian cantik banget.” Laki-laki berperut buncit itu tersenyum m***m ke arah kami. Tangannya mengelus-elus dagunya berkali-kali. “Kembalikan perhiasan itu ke anak ini.” Aku tidak mau menanggapi godaannya. Mereka malah menertawai kami. Katanya kami mereka minta untuk pulang atau kalau tidak kami akan mereka culik. “Kalau kami culik nanti bakalan enak. Kalian bisa enak-enakan melayani kami.” Mendengar pelecehan itu, Agatha berlari dan memukul wajah mereka semua secara bersamaan. Mereka gelagapan karena Agatha berlari dengan sangat cepat. Wajah mereka seketika berubah menjadi tidak karuan. “Sakit banget, Bos. Pukulannya. Memangnya mereka siapa sih.” Mereka mengaduh sembari memegangi wajahnya. Aku yang juga kesal menghajar mereka lagi. Kepala mereka aku tendang dan perhiasan itu aku ambil paksa. Wajah mereka dipenuhi darah karena hidung mereka patah dan kulitnya mengelupas. “Bawa ini ayo ikut denganku.” Aku memberikan perhiasan itu pada gadis kecil yang sejak tadi menangis. Kami membawa gadis itu ke toko perhiasan. Para pelayan melayani kami dengan baik. Karena merasa ada yang kurang, aku mengambil beberapa perhiasan yang ada di sini untuk tambah-tambahan buat bekal gadis kecil ini. “Berapa harga semua ini?” Aku menyerahkan perhiasan yang begitu banyak. Agatha melirikku sembari menutup mulutnya karena berusaha menahan tawanya. Aku memintanya diam dengan meletakkan telunjukku ke bibir. Mereka memberikan uang pada kami dan aku meminta kantong plastik. Aku berikan semua uang itu padanya. “Terima kasih, Kak.” Gadis itu mengangguk. “Jaga baik-baik uang ini. Kamu simpan di tempat yang aman. Gunakan semua untuk keperluan sehari-harimu. Sekarang kamu bisa makan enak.” Aku mengusap rambutnya. Dia mengangguk. Aku dan Agatha kembali melanjutkan perjalanan pulang. Malam semakin menderas menyajikan gelapnya. *** Setibanya kami di markas, aku mendengar Ayah sedang marah-marah. Otomatis kami langsung mendatanginya. Ketika aku ada di depan ruangannya, aku melihat si tua bangka sedang dimarahi Ayah. “Kenapa lagi Si tua bangka itu?” Agatha melihatnya dengan serius di balik kaca pintu. Aku hanya bisa menggelengkan kepala. Karena aku rasa tidak ada yang menarik, aku mengajak Agatha pergi dan kembali ke kamar. Malam ini aku sangat lelah. Sepanjang sore tadi kami berjalan tanpa menggunakan kekuatan istimewa kami sehingga kami benar-benar lelah. “Aku mandi dulu. Gerah.” Agatha menyambar handuk yang tergantung di depan pintu ke kamar mandi lalu masuk. Sembari menunggu dia mandi, aku sejenak memejamkan mata. Kembali Jason mendatangi diriku melalui mimpi. Dia memegang tanganku dan menatapku dengan penuh kasih sayang. Dadaku berdegup agak kencang. “Jason.” Aku memberanikan diri mengangkat wajahku setelah sekian lama tadi hanya menunduk. “Aleksia. Kamu tampak begitu cantik.” Tangannya membelai rambutku. Namun tiba-tiba aku terkejut ketika mendengar suara teriakkan. Seketika aku gelagapan bangun dan melihat di sana ada si tua bangka yang tidur di sampingku. Mataku seketika melotot dan tubuhku memerah. “Dia mencoba memperkosamu, Aleksia. Aku terkejut ketika keluar kamar mandi dia sedang membelai rambutmu.” Agatha menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Tanpa perlu menunggu lama, aku memukul wajahnya dengan kekuatan super. Matanya keluar dari wajahnya dan hidungnya masuk ke dalam. Aku menyeretnya keluar dari kamar. Kegaduhan ini mengundang banyak orang. Ayah juga ikut keluar. Dia hanya menggelengkan kepala karena melihat ulah Dalot yang sudah berkali-kali diingatkan. “Dia sudah berani hendak memperkosaku. Untung saja ada Agatha kalau tidak mungkin aku sudah diperkosa olehnya, Ayah.” Tanpa ampun lagi aku memotong tubuhnya hingga menjadi beberapa bagian lalu membakarnya dengan api. Api membulat-bulat di depan markas. Tubuhnya seketika menjadi abu api kemarahanku. Semuanya hening tidak ada yang berani memandangku. Seketika kerumunan bubar. Agatha menyusul karena tadi dia lebih dulu memakai baju karena habis mandi. Ayah mendekatiku dan meminta maaf. “Bukan Ayah yang salah tetapi bangkotan tua itu yang salah. Seharusnya bukan Amanda yang mati, tetapi dia. Aku akan menghidupkan Amanda dan menggantikan tugas si tua bangka ini.” Aku mengacungkan tangan masih dalam keadaan marah. Ayah tersenyum. Tampaknya guratan bahagia terlukis di wajahnya saat ini. Aku kembali masuk ke kamar meninggalkan mereka. Untuk menghidupkan Amanda lagi, akan aku lakukan besok. Bukan dia yang salah selama ini tetapi si tua bangka itu. “Kita sebaiknya makan dulu, Aleksia. Kamu lapar.” Agatha menawariku makan ketika kami melewati ruang makan. “Aku tidak sedang lapar, Agatha. Kalau kamu makan boleh kamu makan sendiri di ruangan itu.” Aku mengangguk dan mempersilakan Agatha makan. Agatha mengangguk. Dia berhenti dan kembali ke ruang makan tadi. Aku memilih masuk ke kamar. Emosiku masih belum stabil. Aku tidak ingin karena amarahku ini, ada orang yang tidak punya dosa apa-apa denganku menjadi korbannya. Ketika aku usai mandi, aku melihat di meja kamar ada makanan tertata rapi. Aku terkejut mlihat semua makanan itu. Agatha membuka pintu, membawakan sisa makanan. “Makanan sebanyak ini untuk siapa, Agatha?” Aku bertanya keheranan sembari mengeringkan rambutku yang tergerai panjang. “Untuk kita. Aku lapar dan aku rasa kamu lebih lapar. Karena marah bisa membuat tingkat kelaparan seseorang meningkat.” Agatha tersenyum. Aku menghampirinya dan tiba-tiba perutku menjadi lapar. Aku menduga kalau Agatha yang membuat perutku terasa lapar secara mendadak. “Kamu menggunakan kekuatanmu agar perutku lapar ya?” Aku bertanya menyelidik. “Tidak. Tidak mungkin. Mana bisa aku membuat orang merasa lapar secara mendadak. Kan tadi aku sudah bilang, selepas marah. Tingkat kelaparan seseorang meningkat dengan cepat.” Agatha menggelengkan kepala. Aku menjadi merasa aneh sendiri. Ah yasudahlah mungkin aku benar-benar lapar. Aku pun melahap beberapa piring yang tersedia. Sebelum itu aku berterima kasih karena Agatha mau menyediakan semua ini untukku. *** Aku membawa Dandelion ke markas aparat. Mungkin dengan ini aku bisa menambah amunisi untuk mewujudkan misiku. Tetapi sialnya, dia sama sekali tidak mengingat perihal VENOM. Andai saja dia mengingat, maka akan mudah mencari tahu soal VENOM darinya. “Ada anggota baru yang ingin bergabung dengan kita.” Aku serahkan dia pada Gareth. Gareth tampak bahagia. “Silakan masuk. Akan aku tanyai beberapa pertanyaan.” Gareth kegirangan dan dia letakkan semua pekerjaannya. Aku menunggu dia diwawancarai oleh Gareth. Sembari menunggu aku datang ke dapur membuat secangkir kopi untuk aku minum. Pagi ini aku sudah mempunyai rencana ingin mendatangi taman kota nanti sore meskipun aku tahu, dia tidak mungkin datang lagi. Jika tidak ada, aku tidak akan memaksa diriku untuk menemuinya. Karena waktu itu aku terlalu larut dalam obrolan yang menyenangkan hingga aku lupa bertanya tentang dirinya. “Dandelion akan ada di divisi perang sepertimu, Jason.” Gareth seketika membuyarkan lamunanku. Aku menatapnya tidak suka. Gareth salah tingkah. “Maksudku aku tidak memerintahkanmu tetapi dia ingin bergabung denganmu, begitu.” Jawabnya kikuk. Karena sesuai perjanjian, aku tidak akan pernah suka diatur bagaimana pun juga. Bahkan kata-kata yang aku rasa itu adalah kata-kata perintah, aku tidak akan menyukainya. Aku memintanya agar dia ada di sini. Aku akan keluar. Ada urusan penting. Gareth menggangguk. Aku pergi dari markas ini dan meninggalkan mereka berdua. *** Semua sudah bersiap datang ke belakang markas. Ayah membawa mayat Amanda di hadapan kami semua. Mereka semua terdiam ketika aku memberi sedikit pencerahan. “Sebenarnya aku mengumpulkan kalian di sini bukan untuk memamerkan kekuatanku. Tetapi untuk memberitahu kalian kalau sebaiknya tidak perlu saling menyerang, iri, atau dengki dengan yang lain. Kita ini satu keluarga, jangan saling mencelakakan. Mengerti?” Semua mengangguk. Aku meminta Ayah untuk meletakkan mayat Amanda di tengah-tengah kami. Beberapa orang yang hadir di sini aku minta untuk melingkar. Mereka menurut saja. Aku tidak tahu mengapa mereka hanya menurut saja. Tetapi menurut kabar yang aku dengar, mereka semua takut akan kekuatan yang aku miliki. “Amanda. Bangunlah.” Aku meletakkan tanganku di kening Amanda. Wajah Amanda yang sudah diutuhkan kembali oleh Ayahnya kini dengan mudah aku hidupkan. Aku memanggil roh Amanda yang sedang berjalan-jalan di alam lain untuk kembali ke tubuhnya. Mulanya Amanda bersujud-sujud padaku. Tetapi aku melarangnya. Aku bukan Tuhan yang patut untuk disembah. Aku hanya ciptaan-Nya. Tanganya aku gandeng untuk kembali menuju ke tubuhnya. Amanda menurut. Rohnya sudah masuk dan bersemayam di tubuhnya. “Kenapa dia belum juga hidup?” Ayah bertanya khawatir. Aku memintanya untuk tenang. Rohnya baru menyesuaikan dengan tubuhnya lagi. Tiba-tiba tangan Amanda bergerak sendiri. Lalu matanya terbuka. Dia langsung memelukku dan meminta maaf atas kesalahan yang selama ini dia perbuat. “Aku berjanji untuk tidak mengulanginya lagi, Aleksia. Aku akan menuruti semua keinginanmu.” Amanda menangis sejadi-jadinya. “Sudah jangan menangis begitu. Aku sudah memaafkanmu. Sekarang kamu aku beri kekuatan. Karena tujuanku menghidupkanmu untuk menggantikan tugas Dalot.” Aku mengangguk. Begitu pula dengan Amanda.   25. Ketika aku hendak mencari makan di luar, aku menerima kabar dari Gareth kalau markas aparat diserang secara mendadak. Aku katakan kalau aku akan datang setelah makan. “Baiklah. Kami tidak mau memaksamu untuk datang kemari. Datanglah sesukamu, Jason.” Pesan terakhir Gareth dengan nada khawatir. Aku segera mendarat di tempat sepi yang di dekat situ ada yang berjualan bubur ayam. Satu porsi aku pesan. Tukang bubur menyiapkan dengan agak lambat. Aku memintanya untuk agak cepat. “Baik Pak. Akan saya siapkan. Bapak terburu-buru mau ke kantor ya?” Tukang bubur itu mempercepat gerakkan tangannya. Mendengar pertanyaan itu aku tersenyum geli, kantor mana. Kantor adalah tempat main. Begitulah rumus hidupku. Aku tidak ingin terikat oleh siapa pun. Ke kantor harus datang pagi sesuai dengan perintah atasan. Mana mungkin bisa aku seperti itu. Aku ini bebas, aku merdeka. “Ini, Pak. Selamat menikmati buburnya.” Aku berterima kasih usai tukang bubur meletakkan sepiring bubur dan secangkir teh hangat. Aku melahapnya dengan agak cepat. Meskipun aku tidak diminta untuk datang ke markas, entah mengapa perasaan kasihan hinggap di diriku. Apa mungkin kedewasaan ini membuat perasaan suka seenaknya mulai berkurang dari dalam diriku? “Mungkin yang dinamakan menjadi dewasa itu membosankan. Selalu saja ada perasaan bersalah karena diberi tanggung jawab yang besar.” Aku menggelengkan kepala. Seporsi bubur ayam habis hanya dalam hitungan menit. Tukang bubur sampai terkejut karena aku bisa memakan bubur ayam yang panas secepat itu. “Wah kalau Bapak ikut lomba cepat-cepatan makan mungkin Bapak menang.” Tukang bubur itu mengajakku bercanda. “Bapak juga. Kalau Bapak masak untuk perlombaan mungkin mereka akan sama-sama menang. Karena masakan bapak yang enak ini membuat semua ingin segera melahapnya dan bahkan merasa kurang.” Aku tertawa dan membalasnya dengan candaan juga. Aku langsung pergi menuju markas usai membayarnya. Tukang bubur itu celingak-celinguk mencariku karena aku menggunakan kekuatan menghilang ketika dia sedang sibuk mencuci piringnya. “Siapa yang berani menyerang markas kita?” Aku bertanya pada penjaga markas yang sedang ngos-ngosan. Sepertinya dia habis bertarung, batinku. “Aku tidak tahu Bos. Mereka dipimpin oleh seorang perempuan. Wajahnya cantik tapi sadis orangnya.” Mendengar itu seketika aku teringat Aleksia. Tetapi ingatan itu aku buang cepat-cepat. Mana mungkin Aleksia menyerang markas ini. Memangnya dia manusia sepertiku. Ah tidak mungkin, dia terlihat lembut dan menyenangkan mana mungkin bisa sesadis itu. Aku merangsek masuk. Sudah ada puluhan anggota dari wanita itu yang menghadangku. Dengan satu pukulan saja, mereka semua tergeletak. “Jason.” Dandelion memanggilku ketika melihat kedatanganku di markas ini. Wanita yang lagi menyerang Gareth, menoleh ke arahku. Aku mengangguk. Benar juga. Wanita itu memang cantik. Hampir mirip dengan Aleksia. Gareth terjatuh karena serangannya sangat kuat. Mereka semua kewalahan karena wanita ini memiliki kekuatan yang luar biasa. “Ternyata kalian mengundang teman untuk melawanku ya?” Wanita itu tertawa sombong. “Tapi percuma saja. Kalian tidak akan bisa menang dariku.” Wanita itu melanjutkan kesombongannya. Aku mendekatinya. Dan menatapnya agak lama. Nyaris seklias aku melihat wajahnya mirip dengan Aleksia. Apa mungkin dia Aleksia? “Siapa namamu?” Aku spontan menanyakan namanya. Dia kembali tertawa. “Apa perlu sebelum berperang kita saling mengenal nama kita masing-masing ha?” Aku buat gertakkan sedikit untuk dia. Jari telunjukku aku angkat ke atas lalu aku arahkan ke anggotanya. Semua anak buahnya terpelanting karena serangan itu. “Memangnya dengan menggertakku seperti itu, aku akan ketakutan?” Tawa wanita itu malah semakin menggelegar. “Aku tidak butuh kamu takut atau tidak. Aku hanya ingin tahu namamu saja.” Aku tersenyum karena wanita ini juga sama uniknya dengan Aleksia. Apa mungkin dia adiknya? Gareth menyentuh pundakku dan bertanya maskud dari tindakkanku saat ini yang malah menanyai namanya ketimbang menyerangnya. Aku meminta diam kalau tidak, aku malah akan pergi meninggalkan markas ini. Gareth mengangguk panik lalu mundur. “Namaku Amanda. Memangnya kenapa? Aku anggota dari VENOM. Puas ha?” Aku mendapatkan serangan darinya secara mendadak. Tetapi aku bisa menangkapnya. Dia melemparku bola api. Seketika dia terkejut karena bola api itu dengan mudah aku tangkap. “Namaku Jason. Tidak etis jika aku tidak mengenalkan namaku.” Aku tersenyum. Tetapi senyumku dia balas dengan meludah. Amanda kembali menyerangku. Aku bisa mengimbanginya. Kami terlibat dalam pertarungan yang seru. Aku meminta semua untuk menepi. Biar Amanda yang aku urus. Mereka semua berlarian entah ke mana ketika aku meladeni pertarungan ini. Amanda sangat kuat, kekuatannya bahkan sulit aku tebak. Kadang beberapa senjata bisa menjadi tiga bayangan hingga yang asli mengenai lenganku. “Bagaimana? Apa kamu masih mau merasakan lagi seranganku?” Amanda tersenyum. Aku membalasnya dengan melempar bola-bola api yang aku tiru caranya. Membuat bola api itu menjadi tiga bayangan. “Aku tidak mau kalah. Seru juga bertarung denganmu.” Aku tersenyum. Tangannya mencoba memukulku. Tetapi aku tangkis. Dia begitu tangkas, cepat, dan susah ditebak. Meskipun aku juga bisa melukainya sangat banyak, namun aku masih saja kewalahan dengan serangannya. Amanda lebih kuat dan sakti dari Dandelion. Aku tidak menyangka, akan mendapatkan lawan yang sepadan. “Rasakan petir ini.” Aku mencoba membuat gumpalan petir yang besar. Tetapi petir itu bisa dia tangkap dengan mdah. “Apa hanya itu kekuatanmu?” usai menangkap petir itu, dia menghilang dan tiba-tiba muncul di belakangku. Aku terkejut, untung saja aku bisa menghindar dengan cepat. Kalau tidak, pisau tajam itu bisa menancap di tubuhku. Aku segera berbalik badan dan menyerangnya kembali. Dia menghilang lagi. Tubuhnya tidak terlihat. Aku terdiam. Mencoba memejamkan mata dan membuka mata hatiku agar dapat melihat gelagatnya. Nah aku menemukannya. Ternyata dia bersembunyi di bawah pohon. “Ini aku beri air.” Aku melemparinya ombak air. Dia terkejut dan gelagapan mendapatkan seranganku. “Bagaimana bisa kamu mengetahuiku.” Amanda mengumpat dan menyerangku lagi dengan kecepatannya. Ah sialan. Lenganku kian lebar lukanya karena sayatan pisaunya kembali mengenainya. Kekesalanku memuncak. Aku tidak mau bermain-main lagi. Aku keluarkan kekuatanku yang sesungguhnya. Dia gelagapan dan tubuhnya berkali-kali terkena seranganku. “Mundur... mundur.” Dia mengajak anak buahnya mundur usai d**a bagian kanannya terkena seranganku. “Tunggu.” Aku mengejarnya. Aku ingin mengetahui sebenarnya siapa dia, kenapa wajahnya mirip dengan Aleksia. Aku terus mengejarnya. Dia mempercepat larinya. Aku pun juga. Bagaimana pun aku harus berhasil menangkapnya. Tetapi sayangnya, di tengah perjalanan ada bayangan bergerak cepat menabrakku. Aku terpental jatuh ke tanah lapang yang untung sepi tidak ada orang di sana. Sialan dia bisa mengeluarkan bayangan untuk menghalangiku. Aku mengumpat karena aku kehilangan jejaknya. “Aku harus bisa mencaritahu siapa sebenarnya dirinya itu. Kenapa wajahnya mirip dengan Aleksia?” aku beranjak dari lapangan itu dan kembali ke markas. *** Ayah bercerita tentang mengapa dia marah-marah kepada Dalot sebelum kejadian itu. Kata Ayah Dalot tidak bisa bekerja dengan benar. Acapkali Ayah mengirimnya, Ayah selalu menuai kegagalan. “Makanya kemarin waktu kamu membunuhnya. Aku membiarkan saja. Karena hidup pun dia tidak berguna sama sekali. Selalu saja laporan yang kami terima tentang kekalahannya. Tidak pernah ada kemenangan yang dia kabarkan untuk kami.” Ayah menggelengkan kepala. “Dia juga sudah kurang ajar dengan Aleksia, Ayah. Makanya parasit seperti dia setuju kalau Aleksia bunuh kemarin.” Agatha menambahi. Kami pun membahas lain. tentang Amanda yang menjalankan tugas pertamanya. Kami bertiga setuju kalau tugas pertama Amanda setelah hidup kembali adalah menyerang markas aparat yang katanya dibentengi oleh LIGHTBORN. “Apa kamu yakin Amanda akan mampu mengalahkan mereka?” Ayah sendiri yang ragu dengan kekuatan Amanda karena memang sejak kecil Amanda tidak pernah dibekali kekuatan oleh Ayah. “Aku yakin mereka akan berhasil, Ayah. Ada beberapa kekuatan yang aku berikan padanya. Mungkin dengan kekuatan yang aku berikan itu dia berhasil menang. Kecuali ada lawan yang lebih kuat darinya. Karena kekuatan itu untuk sekelas sama-sama bawahan aku rasa bisa mengalahkannya.” Aku tersenyum. Namun tiba-tiba Amanda datang dengan beberapa luka di tubuhnya. Aku terkejut dan seketika mengambil langkah pengobatan. Agatha membantu Amanda berjalan mendekatiku. Tanganku dengan cepat mengobati lukanya. Ayah beranjak dari kursinya dan ikut mendekat. Ayah melihat bagaimana kekuatanku berhasil menyembuhkan luka yang ada di tubuh Amanda dalam sekejap. “Amanda bagaimana keadaanmu?” Agatha meringkuh tubuhnya. Amanda menatap Agatha. “Aku sudah membaik. Terima kasih semuanya.” Amanda berdiri. Tubuhnya kembali normal seperti semula. Amanda menceritakan yang terjadi padanya. Mulanya dia menang melawan beberapa orang yang ada di markas itu, tetapi tak berselang lama ada seorang laki-laki datang. Dia mempunyai kekuatan yang luar biasa. “Aku tidak bisa mengimbangi kekuatannya. Awalnya kami bisa seimbang. Namun ketika laki-laki itu kesal, dia langsung mengeluarkan kekuatan yang mengejutkanku. Aku tidak kuasa menahan dan menangkis kekuatannya. Tubuhku terkena serangannya bertubi-tubi dan aku meminta yang lain untuk mundur.” Amanda menggelengkan kepala. “Laki-laki itu tua atau seumuran kita?” Spontan aku menanyakan perihal laki-laki itu. “Dia seumuran dengan kita, Aleksia. Tetapi kekuatannya, mungkin hanya kamu yang bisa mengalahkannya.” Amanda menunjukku. Agatha menatapku. Aku menggelengkan kepala. Aku tahu maksud dari tatapannya, dia bertanya apa mungkin laki-laki yang dimaksud adalah Jason. Tentu saja aku menolak. Mana mungkin Jason itu sama dengan diri kami. Dia hanya laki-laki biasa. “Anehnya lagi. Dia malah mengajakku berkenalan.” Amanda mengejutkan kami. Saat pikiran kami berkecamuk, kata-katanya sehabis hening ini membuat pikiran kami semakin kacau. “Maksudnya mengajakmu berkenalan itu bagaimana?” Aku penasaran dengan apa yang barusan dia katakan. “Dia mengajakku berkenalan. Aku menyebutkan namaku, dia menyebutkan namanya. Kalau tidak salah namanya Jason.” Seketika bibirku menganga mendengar jawaban dari Amanda. Bola mataku bergerak ke kiri, melirik Agatha yang juga sama-sama terperangah. Aku menggeleng tidak percaya. Apa benar Jason adalah anggota dari musuh VENOM? “Kalian kenapa jadi bengong seperti itu?” Amanda bertanya bingung dan curiga. “Ah tidak. Aku akan membantumu jika kamu ingin menyerang lagi.” Agatha tanpa aku suruh langsung mengusulkan diri. “Wah suatu kebanggaan kalau kamu bisa membantuku. Kalau denganmu, laki-laki itu tidak ada apa-apanya Agatha.” Amanda menepuk pundak Agatha. Amanda pun meminta izin pada Ayah. Ayah menunjukku. Aku mengerlingkan mata. Amanda bersimpuh padaku dan meminta izin. “Berdirilah jangan seperti itu. Baiklah kalian boleh pergi. Nanti kalau kalian butuh bantuan jangan pergi, aku akan datang ke sana membantu kalian.” Aku tersenyum. Amanda bersorak hore sembari memeluk Agatha. Semenjak dia dihidupkan lagi, dia berubah menjadi Amanda yang jauh lebih baik. Kesombongannya hilang. Dia bersahabat dengan kami semua. “Tetapi kapan kita akan menyerang balik?” Agatha bertanya-tanya. “Bagaimana kalau nanti sore.” Amanda mengusulkan. Seketika aku mencergahnya. “Jangan. Jangan nanti sore. Tadi kamu sudah berperang. Makanya perlu istirahat untuk mengoptimalkan tenagamu, Amanda.” Agatha tersenyum jahat. Dia tahu apa yang aku inginkan. Makanya dia tidak berkata apa-apa dan hanya menurut saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD