"Tuan, mobil anda sudah siap," ujar Dandy-supir pribadi Brian.
"Ya. Aku segera turun," jawab Brian tanpa menoleh. Dia sedanh berkemas di ruang kerjanya. Brian berangkat ke kantor lebih awal pagi ini.
Ting.
Notifikasi ponsel milik Brian menampilkan pesan singkat dari sang kakek. Pria tampan itu menghela nafas kasar. Pasti kakeknya semakin gencar menjodohkannya setelah penolakannya kemarin.
Terkadang usia bisa membuat seseorang lelah dikejar deadline pernikahan. Apalagi untuk seorang Brian Halligan yang dituntut memiliki keturunan sebagai penerus dari keluarga Aditama. Dia mulai membaca pesan dengan enggan.
Kakek : Kau harus bertemu dengannya nanti saat makan siang. Aku sudah mengatur kencan untukmu. Di resto dekat kantormu, jangan sampai mengecewakan Elmira. Kalau kau tidak datang, aku akan melompat dari gedung apartemen tingkat 11. Ingat itu!
"CK. Kekanakan sekali," decak Brian tersenyum miring menyangsikan betapa sang kakek sangat gemar mengancamnya. Dia selalu mencak-mencak jika keinginannya tidak dituruti. Persis seperti anak kecil.
Brian kembali meletakkan ponselnya dan berkemas memasukkan semua dokumen yang ia perlukan.
Sesampainya di kantor, Kepala manajer segera menyambutnya. Brian menuju langsung ke ruangannya, namun dia tidak sengaja berjalan melewati kubikel tempat Ayana bekerja dan mendapati wanita itu sedang melamun.
"Ini berkas-berkas yang anda perlukan, Direktur. Silahkan anda baca ulang. Beritahu saya jika ada kesalahan," ujar Pak Handy saat Brian telah mendaratkan pantatnya di kursi kebesaran.
"Ya, Aku akan membacanya setelah ini," jawab Brian sembari mengecek satu-persatu laporan itu sekilas.
"Kalau begitu saya permisi dulu," sahut Pak Handy membalikkan badannya.
"Tunggu dulu." tahan Brian.
"Ya, Direktur." Pak Handy menghentikan langkahnya.
"Soal pegawai teladan yang katamu banyak prestasi-" Brian menjeda kalimatnya.
"Maksud anda Ayana?"
"Benar, apa dia benar-benar unggul dalam memberi inovasi baru untuk perusahaan?"
"Tentu saja, Direktur. Selama ini dia selalu memberi strategi pemasaran yang berbeda sehingga PT. Sinar Laksana mampu bersaing di tengah banyaknya perusahaan baru," terang Pak Handy dengan antusias.
"Lantas kenapa dia sering melamun di saat jam kerja?" tanya Brian mencoba mengorek informasi.
"Mungkin dia masih bersedih karena kepergian orang tuanya yang tiba-tiba. Kabarnya kedua orang tuanya mengalami tabrak lari dan tewas seketika di tempat. Bukan hanya itu, saya dengar rumor dari para karyawan di sini jika suaminya juga ketahuan selingkuh dengan adiknya sendiri," jelas Pak Handy panjang lebar.
"Dan sekarang dia tengah menjalani proses cerai?" tanya Brian.
"Anda tahu dari mana Ayana dalam proses cerai?" Pak Handy tampak terkejut Brian juga mengetahuinya.
"Ah, sudahlah itu tidak penting. Jawab saja pertanyaanku," elak Brian mengibaskan tangannya.
"Be-benar, Direktur," jawab Pak Handy tergagap.
"Baiklah kau boleh pergi sekarang."
Pak Handy mengangguk dan keluar dari ruangan Brian. Sedangkan pria tempat itu menunjukkan aura gelapnya.
"Pantas saya aku kau jadikan pelampiasan mu, A-Ya-Na."
***
Jam makan siang telah tiba. Kembali Brian mendapat pesan singkat dari sang Kakek jika dia harus segera menemui Elmira. Karena gadis itu telah menunggunya sejak tadi.
Brian menghela napas panjang. Jika tidak segera dituruti, Brian yakin sang Kakek justru akan semakin berisik dan menelfonnya setiap lima menit sekali.
Menuju ke Resto Holycow yang disepakati, Brian berjalan dengan malas begitu melihat sosok cantik melambai ke arahnya dengan senyum lebar. Elmira, putri konglomerat ternama yang bergerak di bidang properti.
"Mau minum apa?" tawar Elmira begitu Brian baru datang, sembari tangannya melambai ke salah satu pelayan.
"Apa saja," jawab Brian singkat.
"Baiklah kalau begitu aku saja yang pesankan ya?" jemari Elmira dengan lentik memindai seluruh menu yang tercantum di daftar.
"Terus kamu mau makan apa?"
"Tidak. Aku masih kenyang," jawab Brian langsung.
"Ini kan jam makan siang. Kamu harus makan, supaya tidak-"
"Langsung saja, Elmira. Tidak perlu basa-basi," sela Brian membuat Elmira mengatupkan bibirnya. Wajahnya berubah masam seketika.
"Baiklah. Gold capuccino dua ya?" ujar Elmira dengan muka ditekuk pada pelayan. Akan tetapi dia tetap berusaha menunjukkan senyumnya di hadapan Brian.
"Bagaimana dengan jabatan barumu?" tanya Elmira membuka percakapan.
"Lancar," balas Brian singkat.
"Kata ayahku kita bisa menjalin bisnis yang sama-sama menguntungkan. Jadi kedua perusahaan akan semakin naik pamornya," terang Elmira bersemangat.
"Untuk mencapai kemajuan apa harus melakukan pernikahan terlebih dahulu?" Ekspresi wajah Brian tampak mengejek.
Elmira pun tertawa pelan. "Kenapa nada bicaramu seperti tidak suka dengan keputusan ini?"
"Aku tidak menyukainya, tentu saja," jawab Brian berterus terang.
"Kita berdua adalah pewaris terkaya saat ini. Jadi kalau kita bergabung tentu saja perusahaan kita akan semakin besar dan kuat," lanjut Elmira meyakinkan.
Brian tersenyum simpul mendengar pernyataan Elmira. Wanita ini begitu ambisius. Tidak cocok jika bersanding dengannya. Brian lebih menyukai wanita penurut.
"Maksudmu menikah karena bisnis? Lalu bagaimana dengan Cinta? Bukankah setiap wanita menginginkan hal itu ketika menikah?" tanya Brian memancing.
"Ah, tidak masalah. Cinta bisa tumbuh kapan saja kan? Yang penting kita menikah saja dulu. Kau sangat tampan dan karirmu cemerlang. Aku menyukaimu," aku Elmira tanpa malu sedikitpun.
Brian berdecak pelan. "Terimakasih telah memujiku, tapi sayang sekali, aku tidak menyukaimu."
"Lebih tepatnya belum kan? Seperti yang kukatakan tadi. Kita bisa memulainya setelah menikah. No problem jika saat ini kau belum bisa menyukaiku," jawab Elmira dengan penuh percaya diri.
"Tentu saja tidak untuk satu hal. Aku tidak mau melahirkan seorang anak. Menurutku sebuah pernikahan adalah murni hak masing-masing orang. Tidak harus memiliki anak. Lagi pula aku tidak rela kalau sampai tubuhku rusak karena melahirkan. Apalagi harus menanggung sakitnya, ih. Cuma orang kuno yang beralasan menikah harus ada keturunan." panjang lebar Elmira tidak memberi jeda sedikitpun pada perkataannya.
"Jadi maksudmu kakekku termasuk kuno?" sela Brian dengan cepat.
"Apa? Bukan begitu maksudku," sanggah Elmira serba salah.
"Secara tidak langsung kau sudah mengatakannya."
Brian beranjak dari tempat duduknya dan berkata dengan tegas. "Maaf sepertinya obrolan kita hari ini sudah cukup. Aku sedang tidak ingin menikah. Silahkan kau cari laki-laki lain yang bisa membantu ayahmu membuat perusahaan semakin maju."
Elmira begitu terkejut mendapati respon Brian. Selama ini tidak ada satu pun lelaki yang menolaknya. Tentu saja dia tidak terima ditinggalkan dengan keputusan sepihak.
"Tunggu dulu. Kenapa kau menolak rencana ini? Aku cantik dan juga mapan. Sama sepertimu. Bahkan dibanding wanita manapun aku yang paling cocok menjadi pasanganmu," potong Elmira mengunggulkan dirinya sendiri. Membuat Brian semakin muak.
Brian menatapnya dengan tajam. Wajah sangarnya tampak begitu dingin tanpa keramahan. Tidak ada senyum sedikitpun yang melengkung di sudut bibirnya.
"Karena aku sangat benci wanita ambisius sepertimu. Kau akan meninggalkanku seandainya perusahaanku bangkrut suatu saat. Dari pada aku menyesal di belakang. Lebih baik aku mencari wanita lain yang tidak keberatan menemaniku apapun kondisiku."
Brian pergi meninggalkan Elmira yang masih mematung ditempat. Dia merutuki dirinya sendiri yang mau repot-repot datang ke tempat ini hanya untuk buang-buang waktu saja. Gara-gara sang Kakek, dia justru menanggapi wanita menyebalkan macam Elmira.
Langkah Brian terhenti ketika mendengar suara tamparan keras yang ditujukan pada seorang pria yang ada di halaman resto, saat ia hendak kembali ke kantor.
Wanita yang menamparnya begitu marah dengan mata melotot dan napas memburu, sedangkan si pria memegangi pipinya sambil menahan emosi dengan wajah merah padam. Apa mereka tidak malu ribut di depan umum begini. Tunggu dulu, sepertinya Brian mengenal wanita itu.
"Bukankah dia Ayana?" gumamnya.
Bersambung…