10.

1668 Words
Belum apa-apa aku sudah merasa mati kutu ketika akhirnya aku berada di depan teman-teman Ian. Aku tanpa sadar berusaha menyembunyikan diri di balik punggung Ian yang tengah menyapa mereka semua. Ada 3 orang pria di sana selain Ian. Kulihat betapa akrabnya Ian dengan para pria itu saling menyapa, hingga akhirnya tiba saatnya Ian memperkenalkan diriku. “Kalian semua, perkenalkan ini adalah Alea. Dia teman kecilku,” ucap Ian yang menyingkirkan badan untuk menunjukkan diriku pada mereka. Seketika aku melihat semua atensi beralih pada diriku dan membuatku tegang. “Hai, namaku Alea, salam kenal,” sapaku dengan canggung. Sesuai arahan Ian, aku berusaha melempar senyum senatural mungkin agar mereka tidak memandangku buruk. “Hei, bukankah dia gadis yang selalu bersamamu itu?” tanya salah satu teman Ian menunjuk diriku. “Luar biasa, kau akan memperkenalkannya pada kami?” seru teman Ian yang lain nampak antusias melihatku. “Jangan berpikir macam-macam ya! Aku memperkenalkan Alea bukan untuk menjadi buruanmu. Awas kau!” ancam Ian dengan jenaka sembari menunjukkan kepalan tangannya pada pria itu. Seketika disambut tawa yang lainnya. “Hai, namaku Dimas. Salam kenal, Alea,” sapa salah satu pria yang berada tidak jauh dariku. Aku menoleh ke arahnya. Dia pria yang tampan dengan mata hijau. Ah, mungkin pria ini yang ingin Ian kenalkan padaku saat di perpustakaan dulu. Aku melihat pria itu dengan lekat. Dia terlihat baik dan senyumnya memang menarik. Ada tahi lalat di sudut matanya yang cantik, membuat dia semakin terlihat menarik. Pantas saja banyak gadis yang langsung jatuh hati kepadanya. Aku pikir dia yang paling tenang di antara para pria itu. Tapi jika diingat-ingat, sepertinya aku pernah melihat pria ini. Bukankah dia pria yang pernah menabrakku di depan kantin saat itu? Mataku beralih pada uluran tangannya yang ingin mengajakku untuk bersalaman. Tidak ingin menunggu lama dan membuatnya canggung, aku membalas uluran tangan itu dan merasakan tangan besarnya yang hangat menggenggam tangan kecilku dengan mantap. “Salam kenal,” balasku dengan pelan. Senyum Dimas kulihat semakin melebar menatapku. “Hai Alea, kenalin aku Ramadika. Panggil aja Dika,” sahut pria di sebelah. Dika juga mengulurkan tangan padaku dan membuat aku melepaskan tautan tanganku pada Dimas. Aku membalas uluran tangan Dika. Dia terlihat antusias ketika melihatku sejak awal. Bahkan pria itu juga menggoyangkan tautan tangan kami seolah menunjukkan bahwa dia senang berkenalan denganku. “Aku Angga. Kau lucu sekali ya. Pantas saja Ian tidak ingin mengenalkanmu pada kami hahaha,” tawa pria itu yang langsung disambut tawa Dika dan senyum Dimas yang mendengarnya. Sementara aku juga membalas uluran tangan pria itu untuk sejenak. “Tentu saja! Mana mau aku memperkenalkan orang penting pada pemangsa seperti kalian,” balas Ian dengan senyum penuh bangga. Seketika Ian mendapat cibiran dari mereka semua. Walau begitu tetap saja kuakui bahwa atmosphere di antara mereka terasa hidup dan menyenangkan. Itu cukup membuatku merasa lebih lega. Setidaknya aku tidak akan membuat suasana menjadi canggung, karena sesuai yang Ian katakan, mereka semua pintar untuk mencairkan suasana. Aku mulai mengerti kenapa Ian mencoba memperkenalkanku pada mereka, dan bukannya pada gadis lain. Mungkin karena berteman dengan laki-laki lebih mudah dibanding dengan perempuan. Ian mengambil tempat duduk dan menyuruhku untuk duduk di sampingnya. “Lea, kau ingin pesan apa? Biar aku pesankan,” tanya Ian. Aku langsung berpikir dengan cepat. Jika Ian yang memesan, maka dia akan meninggalkan aku dengan teman-temannya. Aku tidak ingin berada di posisi canggung. “Oh? Biar aku saja yang pesan,” tawarku dengan sigap. Lebih baik aku yang pergi untuk menyelamatkan diri. “A... a... tidak. Biar aku yang pergi,” tolak Ian. Nampaknya Ian menyadari pikiranku saat ini sehingga dia mencoba memperingatiku lewat tatapan matanya yang menyipit tajam berlagak seolah dia tengah marah. Mau tidak mau aku hanya bisa mengiyakannya dengan pasrah. “Ka—kalau begitu, samakan denganmu saja,” jawabku dengan lemas. Ian tersenyum dengan puas. Pria itu bangkit berdiri sembari mengacak puncak kepalaku dengan gemas, sebelum dia pergi meninggalkanku dengan teman-temannya. Selepas kepergian Ian, seketika aku terdiam membisu menundukkan kepala, bahkan tidak berani bergerak dengan bebas. Aku merasa semua orang tengah memerhatikan diriku dengan intens dan itu membuatku merasa gelisah. “Jadi, sejauh mana hubunganmu dengan Ian, Alea?” “Ha?” Aku sontak mendongak menatap mereka karena tidak menyangka dengan pertanyaan itu. Dika yang baru saja melempar pertanyaan itu nampak menanti jawabanku yang didukung dengan Angga. Angga sendiri melempar senyum penuh kecurigaan tentang hubungan kami berdua. Membuatku merasa heran sendiri akan keantusiasan mereka atas hubunganku dengan Ian. “Kami hanya teman masa kecil,” jawabku dengan singkat. “Teman masa kecil? Hanya itu? Kau yakin?” sahut Angga yang terlihat tidak puas dengan jawabanku. “Benar, hanya itu,” balasku. “Tidak mungkin~ Kalian tidak seru sekali. Yang aku tahu, biasanya teman masa kecil akan memiliki suatu hubungan percintaan. Jadi apa kau punya rasa dengan Ian, hm?” Angga mengerling nakal kepadaku sembari memasang telinga dan memajukan tubuh, menanti jawaban dariku. Tidak jauh berbeda dengan Angga, Rama pun juga terlihat tertarik dengan jawaban apa yang akan kulontarkan atas pertanyaan itu. Melihat mereka semua terlihat begitu fokus kepadaku, diam-diam aku merasa tidak nyaman. Aku merasa mereka tengah mencoba mengulik kehidupan pribadiku, dan aku yang pada dasarnya tidak mengenal mereka, wajar bukan jika merasa seperti itu. Ditambah lagi, selama ini aku tidak pernah memikirkan begitu dalam akan hubunganku dengan Ian, selain kami hanyalah teman kecil yang sangat dekat. Aku tidak pernah berpikir akan memiliki perasaan lebih dari itu. Aku hanya ingin berteman dekat dengan Ian hingga nanti. Hingga kemudian Dimas tiba-tiba menarik kedua pria itu kembali menjauh dariku. “Hentikan. Kalian membuat Alea takut,” tegur Dimas. “Ah, kami kan hanya merasa penasaran,” gerutu Angga pada pria itu. “Itu benar. Kau tidak menyenangkan, Mas,” sahut Dika yang langsung diiyakan oleh Angga. Dimas hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah kedua pria itu. Diam-diam aku menghela napas dengan lega. “Jadi, namamu Alea kan? Apa kau ingat kita pernah bertemu sebelumnya?” tanya Dimas kepadaku. “Huh?” Aku terkejut dengan pertanyaan itu sehingga membuatku refleks melongo menatap dirinya. Terlebih ketika Dimas menatap padaku sembari tersenyum manis seperti itu. Sejujurnya aku mengakui ketampanan Dimas detik ini juga. Dia terlihat seperti seorang Pangeran karena wajah tampannya serta pembawaannya yang tenang, manis, dan dewasa. Sekali lagi, pantas saja Dimas langsung menjadi idola di sekolah ini. “Apa maksudmu? Kau pernah bertemu dengan Alea?” seru Dika yang kembali menunjukkan ketertarikan akan cerita itu. Dimas menyeringai menatap temannya itu seolah dia merasa bangga karena pernah bertemu denganku lebih dulu. Setelahnya Dimas kembali fokus padaku. “Kau ingat? Saat itu aku pernah menabrakmu di depan kantin. Aku menabrakmu begitu keras sampai kau hampir jatuh, dan aku menangkapmu. Saat itu aku melihat hidungmu nampak memerah mungkin karena benturan itu. Apa kau ingat?” jelas Dimas sedetail mungkin. “Apa ini, apa ini? Jadi kau yang menabrak Alea saat itu?” Aku langsung menoleh ke arah suara yang berasal dari Ian. Pria itu membawa dua piring nasi dan dibantu ibu kantin membawa dua gelas minuman ke meja kami. Ian langsung menyamankan diri duduk di sebelahku setelah semua makanan siap. “Hei apa kau tahu betapa merahnya hidung Lea saat itu? Aku pikir asetku akan patah,” lanjut Ian menggerutu kesal. Aku menjadi panik. Apa Ian tidak menyadari apa yang telah dikatakannya? Ian mengatakan aset seolah hidungku adalah miliknya di depan teman-temannya. Jika begitu, mereka mungkin bisa salah paham. “Aset?” “Hei, apa Alea itu milikmu huh?” Nah kan? Mereka bersikap seperti yang kubayangkan. Mereka terlihat bingung dan curiga karena ucapan Ian tersebut, dan itu membuatku panik tanpa sebab. “Milikku atau bukan, bagaimana bisa kau menabrak hidungnya hingga memerah seperti itu? Apa kalian tidak lihat betapa menggemaskannya hidung Alea ini? Itu adalah aset yang berharga. Apa kau pikir aku akan membiarkannya dilukai dengan mudah huh?” “Ian!” tegurku seketika dengan suara mencicit tanpa sadar saking malunya mendengar ucapan pria itu. Ian berkata seolah aku adalah aset berharga yang perlu dilindungi. Jika orang mendengar tentu mereka akan berpikir Ian terlalu berlebihan. “Hei, kau berkata seperti kau seorang maniak saja,” celetuk Angga sembari melempar tatapan aneh pada Ian. “Kau benar. Alea, apa kau baik-baik saja berteman dengan Ian? Lebih baik kau bersama kita saja,” sahut Dika yang semakin membuat suasana menjadi panas. Terlihat sekali mereka sengaja ingin membuat Ian menjadi lebih marah. Aku hanya bisa menundukkan kepala karena rasa malu. “Apa yang kau katakan? Alea akan tetap bersamaku. Mana bisa aku membiarkan dia bersama serigala seperti kalian, dasar!” balas Ian tidak terima yang sontak membuat mereka tertawa lepas bersama. Walau mereka terlihat saling adu mulut, namun tetap aku merasa ada keakraban di antara mereka. Mungkin memang seperti ini gaya pertemanan para lelaki. Diam-diam aku merasa lebih santai berada di sana. “Ya, aku tahu aku bersalah. Sebenarnya aku ingin meminta maaf padamu tapi kau langsung pergi saat itu, dan aku tidak berani memanggilmu. Jadi ... tolong maafkan aku ya, Alea,” ucap Dimas. Aku tertegun mendengarnya. Dimas terlihat tulus meminta maaf kepadaku dan justru itu membuatku merasa canggung. Terlebih ketika perhatian semua orang juga kembali fokus padaku. “Kau mau memaafkan aku?” tanya Dimas lagi yang terlihat menunggu jawabanku. Aku menatap ke arah Ian yang juga menoleh ke arahku, lalu kembali mengalihkan pandang pada Dimas, dan akhirnya menganggukkan kepala. “Ya. Aku juga minta maaf karena menghalangi jalanmu, Dimas,” ucapku balas meminta maaf. “Tidak. Kau tidak salah Alea. Aku sendiri yang tidak melihat jalan di depanku,” balas Dimas sekali lagi. “Baiklah. Lanjutkan saja sinetron ini di lain waktu,” celetuk Ian kemudian dengan raut wajah malas memerhatikan kami berdua. Dika dan Angga langsung tertawa sementara Dimas nampak tersipu malu dengan menggaruk belakang kepalanya, dan aku hanya bisa tersenyum canggung. Ian benar-benar membuatku malu. Aku merasa gemas sendiri dengan pria itu. Selanjutnya kami melanjutkan perbincangan bersama dengan lebih santai. Lebih tepatnya aku menikmati waktu sendiri dengan melihat interaksi di antara Ian dan teman-temannya sembari menghabiskan makananku yang dipesan Ian tadi. Benar kata Ian, aku rasa berteman dengan mereka terasa tidak buruk juga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD