Aku termenung sambil menatap jalanan yang dilewati taksi. Kesal dan marah itulah yang aku rasakan. Aku sempat berpikir, mungkinkah Elly mengajakku hanya untuk mempermalukanku serta memperlihatkan jika dia lebih baik dariku. Namun, aku pun mencoba menepis pikiran itu dan berhenti memasukkan semua sikap dan ucapan teman-teman Elly dari hati.
“Kenapa dia harus mengajakku bertemu bersama teman-temannya yang seperti itu? Apa maksudnya itu?” Aku menggerutu karena tidak bisa meluapkan emosiku dan hanya bisa aku pendam sendiri.
Begitu taksi sampai di depan rumah, aku pun membayar ongkos taksi dan keluar dari taksi. Aku berjalan dari gerbang menuju rumah, hingga mendengar suara Elly yang memanggilku. Ternyata Elly ikut pulang dan mengejarku.
“Alea!” panggil Elly begitu keras.
Aku baru saja menginjakkan kaki di teras, lantas memilih berhenti dan menoleh ke belakang di mana Elly berjalan ke arahku dengan tatapan kesal dan wajah begitu suram karena marah. Salah apalagi aku kepadanya, kenapa Elly harus bersikap demikian.
Saat itu aku melihat papa yang ada di garasi, papa ikut mendekat karena melihat Elly yang datang dengan memasang wajah marah. Papa menatapku tidak suka, kutebak jika dia pasti langsung menganggapku bersalah tanpa tahu permasalahannya.
“Kamu keterlaluan dengan pergi langsung dan meninggalkanku sendirian!” amuk Elly begitu sampai di hadapanku.
“Ada apa ini?” tanya papa saat melihatku memang sampai di rumah terlebih dahulu dan baru Elly yang menyusul. Belum lagi Elly langsung memakiku.
“Aku hanya pulang terlebih dulu,” ujarku menjelaskan.
“Alea sangat tidak sopan, Pa!” Elly menunjukku dengan rasa kesal, mengadukanku ke papa dan bisa aku tebak apa yang akan papa lakukan kepadaku.
“Apa yang sudah kamu lakukan lagi, hah? Apa kamu tidak bisa bersikap baik saja meski hanya sehari?” Papa membentakku tanpa bertanya atau tahu apa yang sebenarnya terjadi.
“Aku bisa jelaskan, Pa.” Aku berusaha membujuk papa agar tidak marah, meski tahu jika itu akan sia-sia. Rasanya lelah jika terus disalahkan, sedangkan aku tidak salah.
“Jelaskan apa? Sudah jelas kamu meninggalkan kakakmu di belakang!” amuk papa.
Sudah kuduga pasti aku yang akan dimarahi dan terkena marah, meski semua bukan murni kesalahanku.
“Alea mempermalukanku, Pa. Kurang apanya aku ke dia, aku sudah berbaik hati mengenalkan teman-temanku kepadanya, mengajaknya belanja dan melakukan kegiatan lain, tapi Alea malah bersikap kasar dan berani ke teman-temanku, sampai akhirnya mereka menyalahkanku karena mengajak Alea.”
Benar dugaanku, Elly mengadukanku ke papa padahal tahu dengan jelas masalah yang sebenarnya terjadi, kenapa Elly tidak bisa sedikit saja membelaku karena aku tidak salah jika mereka tidak memulainya.
“Mereka yang menghinaku duluan,” ujarku membela diri.
“Tapi kamu juga ga usah nyolot kayak tadi, bisakan diam dan terima saja. Toh apa yang mereka katakan juga benar, kamu memang ga tahu apa-apa,” sergah Elly sambil berkacak pinggang dan menatapku seolah aku memang salah.
Aku tidak percaya jika Elly lebih membela teman-temannya daripada aku. Sudah tidak heran, meski itu rasanya menjengkelkan.
“Kamu ini memang keterlaluan, Lea! Sudah bagus kakakmu mengenalkanmu ke teman-temannya, tapi kamu malah tidak tahu sopan santun!” bentak papa membuat mataku panas dan kini berair.
“Kamu memang anak tidak tahu diuntung!” amuk papa sampai menunjuk keningku dan mendorong hingga aku memundurkan kepala.
Selalu saja aku yang disalahkan, meski sebenarnya aku tidak salah sepenuhnya. Kenapa papa selalu begini, membenciku serta tidak mau mendengar penjelasanku. Kenapa papa selalu bersikap kasar kepadaku, padahal aku berusaha bersikap baik dan mengikuti keinginannya.
“Tapi aku beneran tidak salah, Pa. Mereka yang memulai menghinaku.” Aku terus saja berusaha membela diri, meski tahu jika itu akan sia-sia.
“Salah ya salah saja. Gara-gara kamu, aku disalahkan karena menghancurkan mood mereka buat senang-senang!” amuk Elly yang tampaknya tidak puas jika aku hanya terkena marah papa.
“Aku nyesel ngajak kamu! Aku sudah berbaik hati, tapi kamu malah menghancurkan semuanya.” Tidak henti-hentinya Elly menyalahkan sehingga aku semakin buruk di mata papa.
“Aku juga sudah menolak ikut, kamu yang memaksaku ikut.” Tidak tahan disalahkan, kini aku mencoba menyalahkan Elly.
“Cukup!” Tampaknya pembelaanku semakin membuat Papa murka, aku terdiam saat papa membentakku begitu keras. Kutatap bola mata papa yang terlihat memancarkan api penuh kemarahan.
“Mulai saat ini, kamu ga usah main-main lagi! Kalau Papa tahu kamu main keluar dengan teman-temanmu, maka Papa akan menghukummu!” ancam papa sambil menunjuk wajahku.
Aku hanya diam, menahan air mata yang menggenang di pelupuk mata. Tidak sekali ini papa membentak dan mengancam, tapi kenapa aku tetap selalu merasa sedih dengan perlakuan itu.
Aku melihat Elly tersenyum miring, seolah puas karena aku terus dimaki papa dan dia terus dibela. Tidak ingin berdebat dengan papa atau Elly, aku pun memilih masuk ke kamarku.
Aku berjalan masuk dengan rasa sedih teramat dalam, jika tahu begini lebih baik aku menolak dari awal untuk ikut. Bukankah sama-sama dimarahi, tapi setidaknya tidak mendengar hinaan teman-teman Elly yang merasa jika mereka paling benar dan hebat.
**
Di kamar, aku duduk diam di meja belajarku, tanganku memegang pulpen dan ujungnya terus kugoreskan di kertas hingga menciptakan tulisan tidak jelas.
Sesekali aku mendesau, memikirkan ucapan papa yang tidak memperbolehkanku bermain dengan teman-temanku.
“Tidak masalah kalau Papa melarang, aku juga tidak suka main,” gumamku untuk sedikit menghibur diri.
Aku menjatuhkan kepala ke meja, tubuh dan pikiranku lelah memikirkan sikap Elly dan papa. Setiap amukan mereka, terasa membekas di hatiku, hingga aku merasa semakin rendah diri dan tidak memiliki harga diri di sana. Aku bukanlah siapa-siapa untuk mereka, sehingga apa pun yang aku lakukan, bagi mereka hanyalah sebuah kesalahan.
"Papa ini kenapa, sih? Kenapa dia jadi protektif begitu padaku?" pikirku.
Kuhempaskan tubuh eloku ini ke ranjang. Menatap langit-langit kamarku yang kurang cantik malah semakin membuat mood ku hancur saja. Masih teringat dengan kejadian di sekolah yang membuatku semakin kesal.
"Lalu, aku harus apa di rumah tanpa teman-temanku?" gumamku, "papa ada-ada saja deh!" Aku masih saja menyalahkan Papa saat itu.
Larangan itu membuatku sedikit kecewa, tapi tidak akan menjadi masalah besar bagiku. Meski dilarang, aku juga masih bisa bermain di sekolah bersama dengan Ian dan juga gengku.
"Huft …." Aku hanya bisa menghela nafas saja mengingat semuanya.
"Bagaimana caraku menjelaskan larangan Papa ini kepada Ian? Ummm, dia bisa terima 'nggak, ya?" Aku terus bergeming di atas ranjang dengan pandanganku menatap langit-langit kamar.
Papa dan Mama selalu saja berpihak kepada kakak, tidak pernah melihat dari sudut pandanganku yang memang di mana aku tidak mungkin mengikuti gaya kakak dan teman-temannya itu.
"Jika tidak bisa bermain dengan mereka, lalu aku mau main dengan siapa ketika di rumah?" gumamku lagi dengan menatap wajah sendiri melalui cermin kecil hadiah dari saudara jauhku.
Biasanya malam hari kamarku ada cahaya redup di mana aku memang suka tidur di ruangan yang remang-remang. Tapi aku matikan total semua cahaya dan masih teringat dengan pembahasan teman-teman kakakku siang tadi.
"Emangnya jadi perempuan harus selalu ngikutin trendy, gitu? Terus, jadi perempuan harus terlalu terlihat slay dan cantik seperti kakak dan teman-temannya? Daripada pamer seperti itu, kan mending tidur," lirihku, masih saja tidak terima dengan sindiran-sindiran yang dilontarkan teman-teman kakakku.
Sebagai seorang gadis yang selalu bermain dengan teman-teman lelaki, membuatku sulit untuk menjadi seperti kakakku yang memang seperti cewek tulen. Bagiku, aku ya aku dalam versi ternyaman bagiku.
***
Ketika pagi hari di ruang makan, kembali Papa membahas tentang perilaku yang kurang baik dihadapan teman-teman kakakku. Aku sempat berpikir jika kedua orang tuaku memang tidak menyayangiku karena selalu membandingkan aku dengan kakak.
"Elly, ayo sarapan yang banyak," ucap mama sambil memberikan segelas s**u pada kakakku.
"Iya, ini nambah lagi rotinya. Papa juga sudah membuatkan roti isi dengan selai kesukaanmu," imbuh papa dengan memberikan roti yang baru saja ia buat.
Aku berpikir jika roti itu papa buat untukku, ternyata lagi-lagi anak kesayangannya yang dibuatkan. Aku sudah tidak tahan dengan drama rumah tangga yang seperti ini sebenarnya. Tapi aku sendiri juga sadar diri, aku masih belum bisa mandiri di luaran sana, masih membutuhkan sosok orang tua dan rumah ini untuk tempat tinggal.
Ketika berangkat sekolah, seperti biasa aku berangkat bersama dengan Ian. Entah kenapa Ian semakin lama seperti jauh sekali denganku. Dia juga mulai sibuk dengan urusannya sendiri. Aku mulai merasa diabaikan karena lelaki yang ada di sampingku ini hanya fokus memandang ponselnya.
"Dari berangkat sekolah sampai di sekolah, kamu diamkan aku terus. Sekarang malah asik dengan ponselmu. Ada apa di ponselmu itu?" tanyaku basa-basi.
Kulihat Ian menghentikan jarinya yang saat itu sedang memijat keyboard di layar ponselnya, kemudian menatapku. "Aku sedang sibuk, hanya sebentar saja, kok. Memangnya kenapa?"
Pertanyaannya itu malah tidak memberikanku jawaban. "Huh, aku bertanya saja. Kenapa kamu sibuk terus dengan ponselmu. Ada apa di ponselmu itu? Aku merasa diabaikan deh!" aku berusaha bicara dengan baik, supaya Ian tidak salah paham kepadaku.
Sayangnya, Ian tidak langsung menjawab pertanyaanku dan kembali menatap ponselnya. Kupikir dengan diamnya sejenak ingin memberiku jawaban, nyatanya dia malah tersenyum ketika melihat layar ponselnya dan kemudian kembali memijat keyboard yang ada.
"Kenapa sekarang kita jauh begini, ya?" gumamku dalam hati.
"Ian bahkan tidak tahu kalau aku juga menjadi korban bully di sekolah." Pikiranku terlalu kacau untuk saat ini.
Aku terus menunduk sedih, tapi masih kupastikan jika Ian tidak melihatku dalam kesedihan ini. Helaan napas kasarku rupanya juga tidak didengar olehnya. Aku semakin yakin jika ada sesuatu di ponselnya itu yang membuat Ian mulai mengabaikan aku.
Pelajaran telah dimulai, biasanya Ian sering bertanya kepadaku ketika ada yang dia tidak paham. Akan tetapi, pelajaran pertama sepertinya mulus-mulus saja baginya.
Keingintahuan diriku membuatku yakin untuk bertanya kepada Ian tentang dirinya yang tidak bicara denganku ketika pelajaran. Tapi, dia hanya menjawab, "Kebetulan aku paham dengan pengertian yang guru terangkan. Maaf Alea, kamu kenapa sih, dari tadi bertanya tentang ponselku terus?"
Jawaban itu membuatku kikuk saja. Mau tidak mau aku hanya menjawab jika diriku ini sangat penasaran sekali dengan isi ponsel Ian yang membuatnya mengalihkan pandangan darinya.
Saat Ian sudah mulai bercerita seperti biasa tentang masalah pribadinya, aku berusaha untuk mengatakan kepada dia soal diriku yang dibully di sekolah.
"Ian, aku pengen cerita deh, tapi janji kamu jangan marah, ya …," ucapku penuh semangat.
"Mau cerita apa? Cerita saja, aku akan mendengarkanmu, kok." Sahutan Ian membuatku sedikit lebih tenang karena dia bersedia mau mendengarkan ceritaku.
Saat aku hendak memulai ceritaku, tiba-tiba ponselnya bergetar. Entah siapa yang menelponnya, tapi membuat suasana menjadi kacau dan aku tidak bisa cerita dengannya, karena dia harus menjawab telepon tersebut.
"Tunggu, ya. Aku akan menjawab telepon penting ini dulu, oke? Nanti aku akan dengarkan ceritamu itu sampai akhir setelah aku menjawab telepon ini, tata …." Ucapannya membuatku sedikit kecewa.
Sangat penasaran dengan siapa penelpon Ian, sampai lelaki itu mengabaikan aku yang hendak bercerita. Tidak ada yang tahu jika aku dibully di sekolah, tapi satu-satunya siswa yang tahu adalah Dimas. Hanya Dimas yang saat itu mengetahui bahwa diriku di bully, tapi dia tidak berkata apapun padaku.
Beberapa hari telah berlalu. Sampai saat itu, aku belum juga melanjutkan niatku untuk bercerita kepada Ian tentang pembullyan yang menimpaku. Mood Ku sudah rusak saja ketika Ian memilih untuk pergi menjawab telepon dari entah siapa itu dibandingkan dengan mendengarkan ceritaku yang belum aku mulai.
"Ian, pulang nanti kamu bisa anterin aku nggak? Aku harus sampai rumah cepet, nih!" seruku, meminta Ian untuk mengantarku pulang.
Hari itu, kakakku mengirim pesan kepadaku untuk segera pulang jika sekolah sudah selesai. Tanpa penjelasan lain, aku juga tidak tahu maksud kakakku memintaku pulang cepat.
"Tumben, kenapa? Ada acara kah, di rumahmu?" tanya Ian dengan tatapan yang berbeda. Aku merasakan jika tatapannya sudah berbeda kepadaku.
Aku mengangkat bahu. "Entah, kak Elly yang memintaku pulang cepat," jawabku.
"Bagaimana? Bisakah kau mengantarku pulang?" tanyaku lagi.
Baru kali ini Ian tidak langsung menjawab pertanyaan dariku. Aku yakin jika ada yang disembunyikan oleh Ian. Akhirnya aku bertanya kembali. "Bagaimana?"
"Sorry, deh. Kayaknya aku nggak bisa antar kamu pulang. Bagaimana kalau kamu minta anak-anak lain aja yang ngantar pulang?" Ian menolak permintaan bantuan dan malah mengusulkan aku dengan yang lain.
Aku tidak menjawab, hanya menggelengkan kepala dan perlahan pergi. Biasanya jika aku merajuk, Ian akan membujukku. Namun saat itu, Ian sama sekali tidak membujukku. Jangankan membujuk, mengejarku saja tidak.
Ketika pulang sekolah tiba, aku menunggu semua murid keluar karena aku malas saja jika nanti ditanya dengan anak-anak dari geng tentang diriku yang pulang sendirian. Jadi aku memilih untuk pulang lebih akhir.
"Malas sekali buru-buru sampai rumah. Punya rumah tapi seperti bukan rumah. Harusnya kalau rumah itu kan, membuat nyaman, bukan? Ini malah tidak!" batinku.
Aku terus bergeming, masih kesal dengan kedua orang tuaku yang selalu memperlakukan aku dengan kakakku secara berbeda. Kakakku yang selalu menerima kasih sayang lebih, sedangkan aku yang menjadi anak malang.
"Huh, nasib anak kedua ...." Lagi, aku menghela napas panjang.
"Jangan-jangan semua anak kedua memang seperti ini nasibnya? Oh, tidak ... miris sekali nasibku." Sendirian di kelas membuatku sedikit takut saja.
Ketika aku terus bergumam, serasa ada yang memperhatikan diriku dari setiap sudut. Bahkan terasa ada yang bernafas di sebelah kiriku.
Jantungku mulai berdebar hebat, aku menoleh terus ke kanan dan ke kiri. Berharap memang ada orang yang menemaniku di kelas. Sayangnya, aku benar-benar sendirian!
"Astaga, kenapa malah aku merinding seperti ini? Sudahlah, aku pulang saja. Mungkin anak-anak yang lain juga sudah pada pulang."
Segera kupakai tasku dan meninggalkan kelas dengan cepat. Ketika dapat setengah jalan dari kelasku, tiba-tiba ada sepasang tangan yang menarik tanganku dan menyeretku.
"Hei, siapa kamu!" teriakku, "lepaskan aku!" pintaku penuh permohonan.
Aku terus berusaha meronta supaya sepasang tangan itu melepaskan aku. Tidak ada suara apapun dari tangan itu, bahkan aku juga berusaha melihat siapa gerangan yang menarikku ini.
"Lepaskan aku, sakit woy!"
"Woy lah, luntur nanti kutekmu ini, tak sayang kutekmu kah?"
Teriakanku semakin ku perkuat, berharap ada guru atau seseorang yang mendengar suaraku. Tapi sayangnya, semakin ke belakang sekolah, tidak ada yang mendengar karena sama sekali tidak ada orang yang datang. Tapi aku memang orang yang pendiam, jadi tidak tahu apakah teriakanku ini bersuara keras atau tidaknya.
"Lepaskan aku!" aku menepis dengan kuat, sayangnya cengkraman tangan itu sudah dilepas, akhirnya aku terjungkal.
"Ash, sial!" keluhku.
Rok seragamku bagian lutut dan kedua telapak tanganku kotor karena menahan tubuhku supaya tidak jatuh tiarap seperti tentara sedang latihan. Kacau jika wajahku yang manis alami ini tergores sedikit saja oleh lumpur di sana.
"Hei, maksud kamu a—" ucapanku terhenti ketika melihat geng cewek-cewek manja sedang berkacak pinggang di depanku.
Tak kusangka, mereka masih saja menggangguku. Padahal sudah sangat jelas, aku tidak tahu apa yang mereka mau, dan aku tidak tahu apa salahku pada mereka.
"Kenapa kalian masih menggangguku? Apa salahku kali ini?" tanyaku memberanikan diri.
Sebenarnya aku bukannya takut, hanya lebih ke malas saja berurusan dengan mereka.
"Masih bertanya?" Salah satu dari mereka maju. Aku mulai mundur karena masih ingat dengan apa yang mereka lakukan padaku.
"Iya, kamu nanya? Kami bertanya-tanya kita kenapa? Huh!"
Jawaban nyerempet ke pertanyaan 'kamu nanya' itu membuatku kesal saja. Aku sama sekali tidak menjawab, bahkan tidak bertanya lagi. Salah satu dari mereka mendatangiku.
"Heh, cupu!" panggilnya dengan kasar.
"Sudah berapa kali aku katakan padamu, hindari Dimas, jangan ganggu dia dan jangan sok caper dengannya. Kalau kamu sudah cupu, setidaknya kamu jangan bodoh!"
"Cantik nggak, tapi sok-sokan cantik. Sok seleb banget, sih." Masih saja dipermasalahkan yang muter-muter di sana.
Dimas, Dimas dan selalu Dimas. Sudah ku jelaskan dan ku tegaskan bahwa diriku ini tidak pernah berhubungan dengan Dimas seperti yang mereka tuduhkan. Tapi tidak tahu mengapa, mereka selalu saja menuduhku tentang hal yang tidak pernah aku lakukan.
"Aku sungguh tidak pernah berinteraksi secara intim dengan Dimas. Tapi kalianlah yang selalu menggangguku dan menurutku yang bukan bukan, kenapa kalian selalu seperti ini?" tentu saja aku mencari pembelaan.
"Halah, omong kosong!" Tangan mereka mulai maju lagi ke tubuhku.
Bahkan salah satu dari mereka ada yang menampar pipiku yang mulus seperti umumnya bayi, ada juga yang mencoret wajahku menggunakan spidol dengan berkata, "Sini, supaya kamu bisa lebih cantik lagi, akan lebih afdol jika kamu berhias. Aku akan membantumu merias wajah, supaya seimbang dengan sifatmu yang murahan itu!"
Kata-kata itu sebenarnya menusuk hatiku. Tapi aku kewalahan dalam melawan mereka karena lagi-lagi mereka menyerang bersamaan dan aku hanya sendirian.
"Hentikan, aku mohon hentikan!" Aku berhasil menepis tangan yang sedari tadi mencoret wajah-ku menggunakan spidol.
"Oh, melawan ya ...." Suara itu membuatku yakin jika mereka akan kembali menyerangku.
Kali ini, mereka bermain fisik lebih kasar lagi. Aku di dorong bergilir sampai aku terjatuh berkali-kali. Kakiku sangat perih sekali, aku menduga pasti ada luka yang membuat rasa perihnya semakin sakit. Rasaku ingin melawan, tapi aku masih harus memikirkan diriku di mata orang tuaku nantinya. Masih ada sikap yang harus aku jaga di depan Ian.
Ketika aku sudah tak lagi mampu berdiri, kudengar ada yang berteriak sehingga geng cewek-cewek manja nan slay ini menghentikan aksinya.
"Hei! Apa yang kalian lakukan!" teriak orang itu, sangat tak asing lagi bagiku mendengar suara dari orang yang berteriak itu.
"Sial, siapa itu?"
"Ha, itu Dimas. Ayo, kita harus segera pergi!"
Mendengar nama Dimas, aku langsung, "Hah, Dimas? Kenapa harus dia lagi? Bagaimana aku menyelesaikan perkaraku dengan geng cewek-cewek menyebalkan itu?" batinku.
Saat itu aku sedang terluka. Bagian siku dan lutut memiliki luka yang sedikit serius. Ada lumpur juga yang membuat luka itu semakin perih. Dimas membantuku berdiri dan membawaku segera ke UKS. Sejujurnya, waktu itu aku merasa sangat lega dan bersyukur karena mendapat perhatian dari Dimas.
"Lukamu sampai separah ini. Terpaksa harus dibersihkan menggunakan alkohol, karena jika hanya menggunakan air kerikil dan lumpurnya tidak akan luntur atau hilang," ucap Dimas.
Aku hanya diam saja dan patuh padanya.
"Laki-laki kamu yang mereka bully. Sebenarnya apa yang terjadi? Permasalahan apa antara dirimu dengan mereka sehingga mereka harus berbuat kasar itu?" Dimas bertanya.
Mau tidak mau aku pun akhirnya menceritakan pada Dimas tentang alasan dari geng cewek-cewek manja itu membullyku. Saat itu juga Dimas meminta maaf karena merasa dirinyalah penyebab aku di bully habis-habisan.
Tentu saja mendengar alasan itu, Dimas menjadi marah. "Aku marah karena aku, kamu jadi bully. Tapi di mana Ian, biasanya kamu bersamanya, bukan?"
Aku menjelaskan kepada Dimas sekali lagi jika hari itu yang tidak bisa mengantarku pulang, karena ada suatu hal yang penting katanya. Aku juga terbawa suasana sampai mengatakan bahwa ada masalah berubah dan selalu sibuk sendiri. Sampai akhirnya Dimas juga keceplosan mengatakan bahwa Ian sedang mendekati cewek lain di luaran sana.
Terkejut dan tidak menyangka saja dengan apa yang dikatakan Dimas. Aku jadi tahu, hal yang membuat yang berubah saat ini. Aku merasa sedih mendengar itu, ditambah lagi, Ian tidak pernah cerita padaku jika dia sedang berusaha dekat dengan gadis lain.