Jika hati bisa memilih pastilah tidak ada hati yang terluka, tidak ada pendam duka lara, tidak ada nelangsa karena kecewa, dan tidak ada rindu mendua karena sejatinya hati akan selalu bermuara pada takdir-Nya.
________________&&&________________
Jakarta, 07.05 tiga hari lalu.
Sampailah Al di ibu kota Jakarta tanah kelahirannya yang tak pernah absen dari kata macet, seperti sekarang ini lalu lintas mengekor panjang di pusat kota saat ia menuju tempat kerjanya. Ia pandangi sesaat langit biru cerah lewat celah-celah helm sportnya, tak ada rasa kantuk atau letih meskipun ia baru sampai tadi subuh tapi ia memilih tetap masuk bekerja. Sambil menata serpihan-serpihan rasa yang berserakan di hatinya, Al bertekad akan menyelesaikan kuliah dan lebih menfokuskan mengejar karirnya, tujuannya sekarang hanya satu, membahagiakan kedua orang tua yang telah membesarkannya dan membuat mereka bangga atas prestasi yang diraihnya
Baginya kebahagiaan Adiva adalah kebahagiannya dan Al yakin Azzam akan menyempurnakan hidup Adiva, Al bersyukur karena pernah menjadi bagian dalam hidup Adiva dan pernah mengukir cerita cinta indah bersama. Kini dirinya pun akan berbahagia dengan caranya sendiri. Membiarkan waktu melakukan perannya untuk menyembuhkan luka hatinya dan mungkin saja cinta baru akan menghampirinya, Al berharap jika saat itu terjadi hatinya telah terbuka untuk cinta yang lain.
*****
Kesempatan liburan semester kali ini Azzam ingin menghabiskan waktu hanya bersama Adiva, ia berharap dengan menghabiskan lebih banyak waktu bersama, Azzam bisa mengikat hati Adiva seutuhnya dan memudarkan seluruh rasa yang mungkin masih tersisa di sudut hati Adiva untuk Al. Sakit memang saat mengetahui bahwa istri yang ia cintai ternyata masih memikirkan pria lain, bukankah kapal setelah mengarungi laut lepas selalu berlabuh dibeberapa dermaga dahulu sebelum sampai di tempat tujuannya, begitupun Adiva dan dirinya.
Azzam memiliki waktu 7 hari yang benar-benar bebas sebelum disibukkan dengan persiapan memasuki semester baru, Azzam mengajak Adiva berkunjung ke rumah orang tuanya di Sidoarjo, ia berniat melepas rindu pada kedua orang tuanya sekalian berniat mengajak Adiva berkeliling ke tempat-tempat menarik di sekitar Sidoarjo.
Dengan antusias Adiva menyambut rencana Azzam tersebut, rasanya sudah sangat lama ia tidak pergi jalan-jalan apalagi kali ini ia ditemani pacar halalnya. Imam dalam hidup yang nantinya akan mengajak melangkah ke jannah-Nya.
"Dik?" Bisik Azzam sambil melingkarkan kedua tangannya ke perut Adiva dengan posesif, ia sandarkan dagu berbulu tipisnya di bahu Adiva.
"Mmmm," gumam Adiva dengan masih mencuci piring dan gelas bekas makan mereka berdua.
"Usia Mas kan udah 35 tahun, teman-teman Mas juga sudah pada punya anak, bahkan tak sedikit yang sudah memiliki 3 anak," terang Azzam sambil mengelus perut rata Adiva dengan ragu.
Adiva bergeming mendengar perkataan Azzam, ia paham ke mana arah pembicaraan suaminya, kalau boleh jujur Adiva pasti akan menjawab ia belum siap bahkan ia belum terpikir untuk memiliki seorang anak untuk saat ini. Rasanya aneh saja diusianya yang masih 20 tahun ia harus menikah dengan gurunya sendiri yang terpaut usia 15 tahun lalu sekarang ia harus hamil dengan tubuh mungilnya, pasti sangat merepotkan, seketika terlintas di benaknya gambaran dirinya yang sedang memegang perut besarnya lalu bagaimana susahnya menjalani 9 bulan masa kehamilan hingga melahirkan kemudian rempongnya mengurus balita ditambah lagi kuliahnya yang belum lulus, sama rumitnya dengan rumus fisika yang pernah ia pelajari dulu saat masih duduk di bangku SMA, jauh dari ekspektasinya, apa yang ia rencanakan selama ini kini hanya tinggal kenangan.
Menikah di usia 25 tahun dengan karir cemerlang plus calon suami tampan yang sudah mengikat janji bersamanya saat kelulusan sekolah. Manis sekali... tapi apalah daya garis tangannya tak menuntunnya ke sana.
"Ya kita jalani aja dulu Mas, kan baru 2 bulan juga kita menikah aku ingin kita menikmati masa pacaran dulu," jawab Adiva sehalus mungkin agar tidak menyinggung perasaan suaminya.
"Emang kalau kamu hamil kita nggak bisa pacaran?" Tanya Azzam mencoba mencerna ucapan Adiva yang menurutnya tersirat.
"Setahu aku Mas orang hamil itu seperti orang sakit tapi sehat," ucap Adiva sekenanya.
"Maksudnya Dik?" Azzam semakin bingung dengan ucapan Adiva dengan kening berkerut.
"Orang hamil itu kan ada acara morning sickness, sering pusing kepala, dan ngidam, Mas bakalan repot deh," terang Adiva sambil melepas pelukan Azzam lalu mengeringkan kedua tangannya dengan kain lap.
"Repot?" Ucap Azzam sembari tak lepas menatap sosok Adiva.
"Mas siap repot 24 jam untuk istri dan anakku tercinta," jawab Azzam sambil mengangkat tubuh Adiva lalu mendudukkannya di atas meja makan. Ia tatap kedua netra Adiva lekat, Azzam tahu Adiva pasti belum siap memiliki momongan diusianya yang masih belia.
"Ok, terserah Mas kalau gitu, aku nurut aja asalkan Mas janji akan selalu nemenin aku," balas Adiva pasrah dengan menghembuskan nafas keras. Adiva sadar dengan posisinya sekarang, ia sekarang bukan gadis kecil nan manja lagi tetapi seorang istri, ia tidak boleh egois hanya untuk memenangkan keinginannya karena kini ada hati yang harus ia jaga perasaannya.
Azzam tersenyum penuh kemenangan dengan menatap wajah Adiva lekat. Ia selipkan anak rambut yang menutupi sebagian wajah Adiva ke belakang telinga. Seringai tak terbaca menghias wajah tampan Azzam saat menatap bibir pink Adiva, bibir manis itu selalu ingin ia cecap tanpa ada bosannya. Tubuh Adiva seketika menghangat dengan tatapan teduh Azzam. Kini kedua pasang mata mereka saling mengunci sesaat sebelum Azzam menyatukan bibir mereka dengan lembut, pagutan demi pagutan membawa keduanya dalam kenikmatan panjang, tanpa sadar kedua tangan Adiva mengalung ke belakang kepala Azzam dan kedua kakinya melingkar di perut pria itu.
Azzam melepas ciumannya saat nafas keduanya mulai tersengal, ia tersenyum saat melihat Adiva membuka matanya perlahan, terlihat kilat gairah yang mulai terbakar di sana, tanpa menunggu lama Azzam menyatukan bibir mereka kembali dengan tangannya menekan belakang kepala Adiva untuk semakin memperdalam ciumannya. Azzam bisa merasakan deru jantung mereka menyatu saat Azzam menggendong Adiva menuju kamar tanpa melepas ciumannya dengan posisi kaki Adiva melingkari perut Azzam.
Setelah meletakkan tubuh Adiva di atas ranjang Azzam berdiri memejamkan mata sejenak untuk membaca doa agar mereka diberikan keturunan yang sholeh dan sholehah oleh Allah, keturunan yang kelak sebagai penolong kedua orang tuanya di akhirat.
Rinai hujan pagi itu adalah saksi di mana dua sedjoli itu memadu kasih, saling menyalurkan kehangatan untuk menghalau rasa dingin.
"Dik, kita harus sering-sering bertempur biar cepat jadi," goda Azzam sambil mengelus perut Adiva yang masih berada dalam pelukannya.
"Ih Mas Azzam m***m deh," balas Adiva dengan semburat merah menghiasi wajah ayunya.
"m***m sama istri sendiri itu nggak papa Dik malah dapat pahala gede loh, apalagi bila istri dengan suka rela menawarkan dirinya, Allah akan menjamin dirinya masuk surga, pahalanya juga sebesar pahala haji dan umroh, ditambahkan lagi 200 kebaikan dan terangkat derajatnya di surga," terang Azzam semakin menggoda Adiva dengan antusias. Kini semburat merah itu tidak hanya menghiasi wajah Adiva tetapi menjalar hingga ke leher putih dan mulus Adiva yang semakin menggemaskan bagi Azzam.
"Ah modus," jawab Adiva dengan malu-malu. Sebenarnya ia tahu tentang itu semua tapi baginya meminta duluan pastilah sangat memalukan. Ia akan lebih memilih cara lain untuk mendapatkan pahala dari suaminya, salah satunya ia akan belajar memasak dan merias diri tentunya, hal paling mudah yang terlintas di benaknya saat ini.
"Kok modus, menjadi seorang istri itu enak Dik, apapun yang ia lakukan dan ia kerjakan untuk suaminya akan menjadi ladang pahala baginya asalkan semuanya ia lakukan dengan rasa ikhlas," lanjut Azzam seraya membelai pipi Adiva dengan lembut.
Adiva terkejut saat tiba-tiba Azzam mengangkat tubuh polosnya menuju kamar mandi, "Kita cari pahala lagi yang lebih asyik dan romantis Dik," bisik Azzam sambil mengerlingkan sebelah matanya dengan seringai m***m lalu menurunkan tubuh Adiva tepat di bawah shower. Adiva terperanjat saat shower menyala dan membasahi tubuh mereka berdua. Ada rasa asing berdesir di sudut hatinya saat melihat air menetes di tubuh Azzam, apalagi saat melihat rambut ikal Azzam yang basah menutupi sebagian mata Azzam, seketika jantung Adiva seperti menabuh genderang perang.
"OMG, apa ini yang dinamakan seksi?" Jerit hati Adiva sambil mengagumi seluruh tubuh Azzam, dan Adiva baru menyadari bahwa pria di hadapannya begitu tampan dan terlihat jauh lebih muda dari usianya.
"Pantesan mahasiswi di kampus banyak yang mengidolakannya, ternyata suamiku ganteng dan seksi," tak henti Adiva mengagumi paras tampan suaminya sembari menyelesaikan kegiatan mereka.
Sorenya mereka berkunjung ke kediaman orang tua Adiva untuk meminta izin berkunjung ke Sidoarjo dan menghabiskan waktu beberapa hari di kediaman orang tua Azzam. Dan tentu saja kedua orang tua Adiva memberikan izin sambil menitip salam dan oleh-oleh untuk besan mereka.
Malam itu Adiva dan Azzam menginap di kediaman orang tua Adiva karena besok pagi mereka akan berangkat langsung dari sana dengan mengendarai Innova hitam milik ayah Adiva, karena sungkan Azzam sempat menolak tawaran ayah mertuanya. Namun kedua orang tua Adiva memaksa akhirnya Azzam tidak bisa beralasan lagi.
Karena Adiva sedang membantu ibunya mengemas oleh-oleh yang akan ia bawa besok, Azzam pamit masuk ke dalam kamar terlebih dahulu. Netra Azzam tiba-tiba menangkap sebuah paper bag kecil berwarna biru tua yang masih tertutup rapat tergeletak di atas meja belajar Adiva. Ia beranjak dari atas ranjang lalu beralih duduk di kursi meja belajar Adiva, perlahan ia buka pengait paper bag itu. Deg.. Perasaaan Azzam seketika tidak menentu saat membaca tulisan To : My Love, Adiva di atas kotak berbahan beludru berwarna hitam tersebut. Ia buka berlahan kotak tersebut, sekilas kilat cahaya menabrak retinanya saat perhiasan dengan case berwarna silver berbahan stainless steel itu terkena sinar lampu kamar.
Azzam kenal dengan merk perhiasan ternama itu dan tentu saja harganya lumayan mahal, merk yang sama dengan merk jam tangan perempuan yang pernah mengisi hatinya selama 8 tahun, Aqila Nafeeza Zahra.