"Darius!"
Darius tetap melangkah, menuju tempat audi hitamnya diparkir di halaman kediaman Daniel Farick. Mengabaikan suara langkah kaki Gina yang terburu-buru menyusul langkah kakinya.
"Darius!" Sekali lagi Gina memanggil ketika sudah bisa menyamai langkah Darius dan menarik lengan pria itu. Membuat Darius menoleh ke arahnya dengan gusar.
Darius menatap dingin ke arah tangan Gina yang menggenggam lengannya, memberikan isyarat pada wanita itu untuk segera melepaskan tangan wanita itu dari lengannya.
Gina menangkap isyarat itu dengan tatapan terluka meskipun menarik tangannya. Setidaknya Darius sudah berhenti untuk mendengarkan. "Kita butuh bicara, Darius."
"Tidak ada hal penting apa pun yang harus kita bicarakan. Urusan kita sudah selesai tiga tahun yang lalu," jawab Darius datar.
"Kau yang menyelesaikannya, Darius." Suara Gina bergetar karena tidak suka dengan sikap datar dan dingin Darius. Namun, Gina berusaha menahan. Tahu bahwa Darius masih marah dan ia pantas mendapatkan perlakuan dingin tersebut.
"Benarkah?" Salah satu sudut bibir Darius tertarik ke atas. "Apakah harus ada bedanya?"
"Aku perlu menjelaskan semuanya padamu."
Sekali lagi Darius mendengkus, "Pergilah, aku tidak mau menyia-nyiakan waktuku."
"Kalau begitu aku memaksa," tandas Gina keras kepala.
Darius berdecak. "Setelah bertahun-tahun kau masih juga keras kepala," sindirnya sambil mengalihkan pandangannya dari Gina.
"Terima kasih atas pujiannya." Gina menarik kedua sudut bibirnya tersenyum. Sama sekali tidak bisa menahan keceriaan di wajahnya. Ia senang Darius masih mengingat dengan sangat baik.
"Jangan salah sangka, Gina." Darius kembali menatap Gina dan tersenyum mencela saat merasakan keceriaan wanita itu. "Beberapa detik yang lalu aku senang kau mengacaukan makan malam keluargaku. Kau tahu kenapa?"
Masih dengan senyum yang begitu lebar, Gina menunggu kalimat selanjutnya yang akan diucapkan Darius. Tahu Darius tidak pernah tahan berlama-lama marah padanya. Sebesar apa pun kesalahannya.
Seketika wajah Darius menajam, siap melemparkan bom ke muka Gina. Setidaknya, ia sedikit puas dengan penolakan yang akan diberikan pada wanita itu. "Karena aku bisa lebih cepat untuk bertemu dengan wanitaku. Dan sekarang ... aku tidak akan membiarkanmu membuatku menyia-nyiakan waktuku untuk terlambat menemui wanitaku. Apa kau mengerti sekarang?"
Kalimat Darius kali ini benar-benar mengena di hati Gina. Wajahnya membeku, tapi Gina segera berusaha terlihat senormal mungkin. Walaupun suaranya tetap bergetar ketika berkata, "Wanita mana yang kau bicarakan yang seakan-akan kau sangat menyukainya itu, Darius?"
"Jaga bicaramu, Gina!" gertak Darius mulai marah ketika Gina berkata dengan ekspresi menghina. Ia tidak suka perasaan cintanya pada Rea hanya dianggap kepura-puraan oleh Gina. Bahkan oleh siapa pun.
"Apa wanita yang rela menjualmu dengan harga lima ratus juta itu yang kau bilang sebagai wanitamu?" Gina tidak mau berhenti memojokkan Darius ketika ia tahu Darius mulai terpengaruh dengan kalimatnya. "Kalau tebakanku benar, pasti wanita itu sudah menghilang dengan membawa uang yang diberikan oleh mamamu."
"Jangan mengatakan apa pun yang tidak kau tahu!"
"Mamamu sudah menceritakan semuanya dan Darius yang kukenal tidak mungkin menyia-nyiakan waktu hanya untuk wanita materialistis macam itu, bukan?"
"Kalau begitu, apa mama tiriku itu juga memberitahumu kalau wanita yang kau bilang materialistis itu adalah pemilik hatiku? Sepenuhnya hingga tidak ada tempat lagi di sana untuk siapa pun."
Gina tertegun, sempat kehabisan kata-katanya. "Kau tidak sebodoh itu, Darius. Kau tidak mungkin sebodoh itu," ucap Gina menyakinkan Darius, terutama meyakinkan dirinya sendiri. Bahwa Darius yang dia kenal masih sama seperti terakhir kali mereka bertemu dan Darius yang masih hanya mencintainya.
"Tenang saja. Aku tidak sebodoh itu," Darius memasang senyum cerahnya yang dingin dan datar, "walaupun aku sama sekali tidak keberatan menjadi sebodoh itu jika itu menyangkut Rea," tambahnya.
Awalnya Gina mengira perkataan Darius hanyalah sekedar sengaja ingin membuatnya terluka, sekedar menghukumnya. Namun, tatapan mata Darius yang terlihat penuh keyakinan, membuktikan pada Gina bahwa wanita yang mereka bicarakan, sepertinya benar-benar sudah menggantikan posisinya di hati Darius.
"Tidak," sangkal Gina dan tanpa sadar menggeleng-gelengkan kepala membantah.
"Jangan memperlihatkan ekspresi pura-pura terlukamu padaku, Gina. Tidak setelah yang kau lakukan padaku tiga tahun yang lalu." Darius menekan suaranya. Memberikan peringatan yang tak terbantahkan.
Gina merasakan kalimat Darius benar-benar tepat menusuk di jantung. Membuat dadanya sesak ketika Darius menganggap keterlukaannya hanyalah kepura-puraan belaka. Namun, Gina mengabaikan perasaan terluka itu. Ia harus melakukan apa pun untuk menyadarkan Darius dari kegilaannya. "Aku tahu kau masih sangat mencintaiku, Darius. Hanya aku yang kau cintai."
Darius menarik napas dan mengembuskannya dengan gusar. Ya, Gina memang benar. Ia sangat mencintai seorang Gina Pratama. Hanya seorang Gina Pratamalah yang ia cintai. Akan tetapi, sekarang itu hanyalah perasaan yang pernah -pernah, bukan masih- Darius miliki sebelum wanita itu pergi dan mencampakkannya, karena saat ini, wanita yang membuatnya merasakan perasaan menggebu-nggebu itu bukanlah wanita yang kini berdiri di hadapannya, melainkan seorang Andrea Wilaga. Wanita yang hampir nyaris membuat Darius gila. Bahkan perasaan yang Darius rasakan saat ini jauh melebihi perasaannya pada Gina dulu.
Sangat jauh.
"Aku tidak tahu hal apa yang membuatmu bisa berubah seperti ini. Tapi aku sangat yakin kau masih sangat mencintaiku, Darius." Kali ini suara Gina terdengar seperti memohon.
"Berpikirlah sesukamu!!" bentak Darius mulai tidak bisa menahan diri dengan pemaksaan Gina. Tatapannya semakin menajam, menunjukkan sekaligus meyakinkan pada wanita itu, bahwa apa pun yang keluar dari mulutnya sama sekali tidak ada yang salah. "Kita sama-sama tahu. Apa yang sudah berubah diantara kita." Darius mengucapkannya dengan sangat pelan dan tegas. Hanya agar Gina mengingat dengan sangat baik kalimat yang diperdengarkannya pada wanita itu.
Mulut Gina terkatup rapat, tubuhnya membeku. Gina benar-benar tidak bisa memercayai indera pendengarannya. Pasti ia salah dengar. Namun, kenyataan matanya yang melihat punggung Darius menjauh, mengabaikan dirinya yang menangis tanpa suara, dan berjalan menuju mobil tanpa sedikit pun keraguan untuk meninggalkannya, semakin mempertegas kalimat Darius bahwa perasaan pria itu padanya sudah berubah. Dirinya sudah terganti.
***
Rea memasuki kamar tidur dengan langkah lunglai. Rasa sakit yang ia berikan pada Raka benar-benar memberikan rasa sakit yang jauh lebih besar untuknya. Hatinya benar-benar berdarah mengingat ekspresi terluka yang tampak dengan sangat jelas di wajah Raka beberapa saat yang lalu. Kenyataan yang benar-benar membuat sakit hatinya tak tertahankan adalah bahwa dirinyalah yang membuat Raka terluka. Ia benar-benar tidak bisa memaafkan dirinya.
Ia menunduk, menenggelamkan wajah di kedua telapak tangan. Menangis? Tidak. Ia tidak akan menangisi tragedi cintanya ini. Sudah cukup airmata sia-sianya selama ini. Apa pun usahanya untuk bersama Raka tidak akan pernah berhasil.
Dering ponsel terdengar, menandakan ada panggilan masuk. Menegakkan punggung, Rea menengok ke arah tas kecil yang ia letakkan di atas nakas. Tangannya terulur menggapai tas tersebut dan merogoh ponselnya yang berkelap kelip.
Pak Raka calling ...
Dengan sedikit kerutan di kening dan keraguan di hatinya, ia menjawab panggilan tersebut. Sambil bertanya dalam hati kenapa Raka menghubunginya. Setelah pembicaraan mereka yang tak berakhir baik beberapa saat lalu.
"Hallo," jawabnya lirih.
"Rea, aku akan menanyakan satu pertanyaan padamu dan aku ingin kau menjawab seperti apa yang kau rasakan di hatimu. Jujurlah padaku." Raka langsung menyerbunya dengan kalimat-kalimat tersebut begitu panggilan tersambung.
"Raka, aku ..."
"Dengarkan aku." Suara Raka terdengar tegas. "Kali ini aku hanya butuh kau mendengarkanku dan menjawab pertanyaanku. Dengan jujur."
"Baiklah," lirih Rea mengalah.
"Apa kau masih mencintaiku?"
"Raka ... " Rea diam sejenak, memejamkan mata mengusir perasaan yang berkecamuk di dalam kepala, "aku tidak bisa..."
"Hanya jawab pertanyaanku, Rea. Jangan pikirkan apa pun!" tegas Raka sekali lagi. "Apa kau masih mencintaiku?"
"Ya, Raka. Aku masih mencintaimu," jawab Rea pelan, hampir terdengar seperti bisikan. Dengan mata terpejam, dan dengan perasaan miris menyadari bahwa sepertinya dirinya benar-benar munafik. Mengaku mencintai Raka tapi tubuh dan kehidupannya masih dikuasai oleh Darius.
"Baiklah. Itu sudah cukup bagiku." Suara Raka terdengar lega. "Rea, dengarkan aku baik-baik. Aku ingin kau melakukan sesuatu untukku. Aku ingin kau tidak menyerah untukku. Untuk cinta yang kita miliki."
"Apa maksudmu, Raka?" tanya Rea tidak mengerti.
"Kau hanya perlu melakukan sesuatu. Seperti Darius menggunakan cara licik untuk mengikatmu, kita juga akan melakukan cara licik untuk melepaskanmu darinya. Apa kau mengerti?"
"Apa?"
"Gugurkan anak itu."
Seketika Rea membeku, perutnya melilit antara perasaan senang dan ketakutan yang menggerogoti hati. Entah karena benar-benar tidak menyangka dengan reaksi Raka yang tidak disangka-sangka atau apa. Rea tidak tahu. Ia senang Raka mempunyai pemikiran yang sama dengannya untuk melenyapkan anak Darius. Akan tetapi ...
Seperti ada batu besar yang mengganjal dan mengganggu yang tidak ia ketahui tempatnya di mana di dalam tubuhnya.
Di tenggorokannyakah?
Di perutnyakah?
Ataukah di kedua-duanya?
Rea tidak tahu. Yang jelas perasaan itu sangat mengganggu hati dan pikirannya. Membuatnya merasakan pening dan mual secara bersamaan.
Ceklek ....
Rea tersentak dan tersadar dari lamunannya dengan sangat tidak siap saat mendengar suara pintu kamar yang terbuka. Membuat tangannya lemas karena tahu ada ketakutan lain yang menyergap begitu pintu itu terbuka. Seketika ponsel di tangannya meluncur ke lantai dan menjadi tiga bagian. Membuat wajah Rea pucat pasi ketika matanya bertatapan dengan mata dingin Darius.
Lama mereka hanya diam dan saling menatap. Satu dengan tatapan penuh antisipasi berlumur ketakutan yang tertahankan. Satunya dengan tatapan heran bercampur kecurigaan yang dibuat-buat.
"Kenapa Reaku begitu terkejut?" Darius bertanya dengan nada penuh sindiran dan senyum kecilnya. Melangkah mendekati Rea sambil melempar jas yang dipegang sembarangan sebelum melepaskan simpul dasi.
"Kau mengejutkanku, Darius!" maki Rea, berjuang menutupi ketakutannya jika saja Darius mendengar pembicaraannya dengan Raka baru saja. Matanya melirik ponsel di lantai, sedikit lega ponselnya hancur dan Darius tidak akan tahu siapa yang baru saja menghubungi. Ketika Rea kembali menatap Darius, Darius juga menatapnya dengan seringai di bibir. Ia tahu, Darius juga melirik ponselnya yang terjatuh.
"Masih menghubunginya di belakangku, Rea?" tanya Darius semakin mendekat ke arah Rea.
Melihat tatapan dan pertanyaan Darius, Rea mengartikan bahwa pria ini tidak tahu apa pun mengenai rencananya dengan Raka.
Rencananya dengan Raka? kening Rea berkerut, apakah ini artinya ia sudah menyetujui permintaan Raka baru saja? Tapi ... kalau Darius belum tahu, mungkin jalan satu-satunya lepas dari Darius adalah dengan meminta bantuan Raka.
Baiklah, Rea sudah memutuskan, ia tidak akan menyerah. Semoga saja berhasil.
Darius membungkuk, mengecup bibir Rea sekejap sebelum menegakkan punggung dengan tangan yang sudah menggenggam tas kecil Rea.
Rea terperangah menyadari apa yang ada di genggaman pria itu. Segera ia beranjak dan merebut tasnya dari Darius. Akan tetapi, seperti biasa. Darius selalu lebih gesit dan lebih kuat darinya. Pria itu menggeledah tasnya. Tidak tahu apa yang sedang dicari oleh pria itu.
"Aku akan mengembalikannya pada mama tiriku." Darius mengembalikan tas Rea. Wanita ini memang selalu mudah ditebak, seperti buku yang terpampang untuknya batin Darius geli. Memperlihatkan amplop coklat yang disimpan Rea di dalam tas.
Rea meringis dalam hati. Merutuki kebodohannya. Sepertinya, wanita paruh baya itu sudah memberitahu Darius. Kenapa dia tidak menyimpannya saja di tempat yang tidak bisa dijangkau oleh Darius? Tapi, memangnya adakah tempat yang bisa dijangkau yang tidak bisa dijangkau oleh Darius Farick. Sejak ia mengenal Darius, hidupnya selalu berputar di lingkaran setan pria itu.
"Mamamu yang memberikannya padaku dengan sukarela, Darius. Dan sebagai bayarannya aku juga harus dengan sukarela menghilang dari hidupmu. Bukankah aku harus membalas kebaikannya?"
"Aa ..." Darius mengangguk-anggukkan kepalanya pelan, "Apa yang kuberikan di dalam dompetmu, nilainya jauh lebih besar daripada apa yang diberikan mama tiriku padamu. Sepertinya kau juga harus membalas kebaikanku padamu, bukan? Jauh yang akan kauberikan pada mama tiriku."
Skakmat ...
Rea membungkam. Termakan omongannya sendiri. Walaupun ia hampir tidak pernah menggunakan kartu yang diberikan Darius di dalam dompetnya saat ini. Ia tahu, dua kartu berwarna hitam itu bernilai sepuluh kali lipat dari apa yang diberikan mama tiri Darius. Bahkan mungkin lebih, jika melihat dari warna kartu tersebut. Ia memang tak pernah tahu seberapa kaya pria itu, dan tak mau tahu.
Darius meletakkan amplop coklat itu di nakas. Kemudian menarik pinggang Rea dan mengecup sekali lagi bibir wanitanya. "Sudah lama sekali aku tidak menyentuhmu," bisik Darius sambil mengusap lembut pipi Rea dengan punggung telunjuk.
Rea sama sekali tidak menolak kecupan Darius di bibirnya. Pelukan Darius di pinggang yang lembut dan kuat mengisyaratkan padanya tidak ada penolakan. Ia sangat tahu, sekali saja ia menolak kecupan Darius. Pria itu akan memastikan dirinya menerima cumbuan kasar. Meskipun Darius belum pernah sekalipun menyentuhnya dengan kasar. Ancaman yang diucapkan Darius saja, sudah cukup membuat bulu kuduk Rea merinding. Reputasi Darius sebagai orang yang kejam sama sekali bukan hanya isu belaka. Pria itu tidak akan segan-segan berbuat kejam pada seorang wanita. "Darius ...."
"Tidak ada penolakan, Rea. Aku sudah cukup bertoleransi padamu beberapa hari terakhir ini," ucap Darius lembut dan tegas.
Otak Rea berpikir, bagaimana caranya ia menolak Darius kali ini. Akan tetapi, dengan kalimat dan melihat mata Darius yang berkabut. Ia tahu, ia tidak mungkin bisa berbuat apa pun untuk menolak Darius malam ini.