Part 11

1721 Words
"Apa kau mencari ponselmu?" Suara Darius membuat Rea mendongak di tepi ranjang yang sudah berantakan. Lebih berantakan sejak terakhir kali ia meninggalkannya untuk mandi. Sepertinya wanita itu mengobrak-abrik seluruh ruangan untuk mencari ponsel sialan itu. Rea menegakkan badan, melihat Darius yang sudah terlihat segar dan rambut yang disisir rapi. Meninggalkan setelan formal, pria itu mengenakan celana khaki dan kemeja linen putih yang digulung di bagian lengan. Membuat Darius terlihat santai dan ... tampan. Mau tidak mau Rea mengakui kenyataan pahit yang terpampang jelas di matanya itu. "Apa kau mengambilnya?" tanya Rea kesal, baru menyadari semua ini ulah Darius. Seharusnya dari awal ia sudah tahu bahwa ponselnya disembunyikan oleh Darius. "Ponselmu sudah rusak, Rea. Jadi aku membuangnya," jawab Darius santai sambil mengedikkan dagu ke arah tempat sampah di sudut. Rea mengikuti arah pandang Darius dengan tak percaya. Memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam guna menenangkan gemuruh di d**a yang hendak meluap. "Itu ponselku, Darius. Jadi aku yang berhak memutuskan itu sampah atau tidak," geram Rea sambil menunjuk tempat sampah itu dengan wajah memerah karena marah. Darius mengabaikan kemarahan Rea, ia berjalan menuju pintu dengan langkah santainya yang mengejek Rea. Begitu ia keluar dari ruang pribadinya, ia menemukan ketiga sosok yang sudah menunggunya di set sofa kulit hitam yang ada ujung ruangan. "Kau sudah datang, Keydo?" tanya Darius pada sosok baru yang duduk di antara Sherlyn dan Alan sambil melangkah menyebrangi ruangan ke tempat ketiga orang kepercayaannya duduk. Keydo memalingkan wajahnya dari ponsel yang ada di tangan dan menyambut kedatangan Darius dengan seringaian menyindir. "Kau masih tidak profesional jika menyangkut Rea, Darius?" "Apa kau membawa pesananku?" Darius mengabaikan sindiran Keydo. "Tidak ada apa-apa di tempat sampah itu, Darius?" Rea muncul dari ruangan pribadi Darius dengan wajah yang semakin memerah. Ketika sudut matanya menangkap ketiga sosok yang ada di ujung ruangan, ia terdiam dan berhenti. Namun, saat menyadari bahwa ketiga sosok itu hanyalah Sherlyn, Keydo dan Alan, ia kembali melanjutkan langkahnya menyusul Darius penuh kemarahan meluap -luap yang tak perlu ia tutupi. "Benarkah?" Suara Darius datar, ia meletakkan p****t di sofa tunggal dan menyilangkan kedua kaki. "Mungkin Lia sudah membuangnya. Sepertinya tadi aku menyuruhnya membersihkan." Kedua tangan Rea terkepal di kedua sisi tubuhnya dan berdesis, "Aku tahu kau menyimpannya." Darius menatap Keydo, memberikan isyarat untuk menunjukkan barangnya. Keydo merogoh saku jaket kulit hitamnya dan mengeluarkan sebuah kotak hitam beludru, meletakkan di meja kaca yang memisahkan dirinya dan Darius, kemudian mendorong kotak tersebut ke hadapan sahabatnya. "Sesuai keinginanmu. Kuharap memuaskanmu." Darius mengulurkan tangan mengambil kotak tersebut sebelum menengok ke arah Rea yang berdiri beberapa langkah darinya masih dengan penuh ketegangan dan amarah. "Kemarilah, Reaku." "Kembalikan ponselku, Darius. Aku membutuhkannya." Rea tidak bergerak sedikit pun dari tempatnya sebagai isyarat penolakan akan perintah Darius. "Kalau kau membutuhkannya untuk menghubungi seseorang, kau bisa memakai ponselku sampai nanti Lia membawakan ponsel barumu." "Aku masih bisa menggunakan ponselku sendiri. Dan aku tidak membutuhkan ponsel baru." Rea menekan suaranya. Darius diam sejenak, membuka kotak yang diberikan Keydo dan mengamati isinya dengan seksama. "Baiklah, karena kau merengek-rengek seperti anak kecil, aku akan mengembalikan ponselmu," jawab Darius akhirnya. "Dan tentu saja tanpa simcardnya," imbuhnya lagi. Kalimat pertama Darius sedikit membuat Rea lega, sebelum kemudian tambahan kalimat di belakang kembali menghentakkannya. Sampai akhirnya, ia benar-benar harus sepenuhnya sadar diri. Bahwa dirinya tidak akan pernah menang mendebat Darius sampai kapan pun. "Apa sekarang kau bisa menuruti ucapanku dan jadi kekasih yang manis?" Tatapan mata Darius tegas dan penuh perintah tak terbantahkan bagi Rea untuk segera beranjak dari tempatnya. "Aku harus kembali bekerja." "Semakin cepat kau kemari semakin cepat pula kau kembali ke pekerjaan sialanmu itu atau kau akan kehilangan pekerjaan itu dan tahu di mana kau akan berakhir." Di ranjang pria itu, Rea menjawab dalam hati sambil meneguk ludahnya. Arti maupun nada dalam kalimat itu memaksa Rea mengangkat kaki dan melangkah ke tempat Darius dengan langkah berat. Ia mengambil tempat kosong di sebelah Sherlyn yang duduk di sofa panjang. "Tanganmu," kata Darius sambil menarik tangan Rea dan langsung menyelipkan benda berwarna putih mengkilap di jari manis. Rea terkesiap ketika melihat benda mewah dan mahal itu menghiasi tangan kirinya. Benda itu membuatnya terpesona pada pandangan pertama. Apalagi berlian merah yang menghiasi cincin itu. Sangat indah. Namun, Rea segera menyadarkan otaknya dari pesona licik cincin itu. Ia tidak boleh terlena. "Apa ini, Darius?" Rea mendongak ke arah Darius yang masih memerhatikan cincin itu bertengger di jari manisnya. "Seperti yang kuinginkan," gumam Darius puas. Kemudian meletakkan kembali jemari Rea dan menatap Keydo. "Thank's, Keydo." Keydo mengangkat bahu tak masalah sambil berkata, "You're welcome." "Apa ini, Darius?" Rea mengulang pertanyaannya karena Darius mengabaikan pertanyaan pertama. "Cincin pertunangan kita," jawab Darius ringan. Kemudian mengambil satu cincin lagi yang masih ada di dalam kotak dan memasangkan di jari manisnya sendiri. "Aku tidak ingin menikah denganmu," desis Rea. "Aku tahu. Tapi bukan berarti kau tidak akan menikah denganku." "Tidak bisakah kalian bersikap seperti pasangan normal pada umumnya?" sindir Keydo yang mulai gusar dari tadi mendengar perdebatan sahabatnya dengan sang kekasih. "Kalian baru saja terlibat permainan panas di dalam sana ...." "Diamlah, Keydo! Ini bukan urusanmu," maki Rea memotong kalimat Keydo dan memelototkan matanya pada pria itu lebar-lebar. "Oo-key." Keydo mengangkat kedua tangannya tak membantah, kemudian kembali menyandarkan punggung di sandaran sofa. "Keydo benar, Rea. Tidak baik bertengkar di depan anak kalian." Kini Alan mengeluarkan suaranya dengan gumaman lirih. Wajah pria itu menunduk karena mata dan tangannya sibuk pada ponsel yang dipegang. Pemandangan perdebatan pasangan ini bukanlah hal asing bagi Keydo, Alan dan Sherlyn. Selalu Rea yang berapi-api dan Darius yang melawan dengan sikap santai dan tak terbantahkan. Atau Rea yang menantang dan Darius yang bergemuruh karena kemarahan. Mengancam Rea dengan segala cara yang bisa dilakukan pria itu. Namun, semua selalu berakhir sama. Yaitu Rea yang ketakutan dan terpojok di bawah kuasa Darius, dan selalu Rea yang tak bisa berkutik sebagai hasil akhir. Rea terdiam. Oke ... kini Alan mulai menyangkut pautkan dengan kesayangan Darius yang lainnya. Pembicaraan ini paling sensitif untuk Darius. Jadi, terpaksa ia menelan kalimatnya untuk menolak mentah-mentah kenyataan pahit yang ada di perutnya saat ini. "Aku akan keluar!" Sosok yang duduk di sebelah Rea bangkit dari duduknya dan meninggalkan mereka menuju pintu keluar. Sherlyn sudah cukup gerah dengan masalah cincin itu. Lalu, kini mereka mulai membahas hal yang membuat perutnya mual. Anak di dalam perut Rea benar-benar melenyapkan harapannya. Darius tidak akan melepaskan wanita itu. Rea mengamati baik-baik perubahan wajah Sherlyn saat melewati dirinya, dan baru menyadari, pembicaraan tentang anak ini juga sangat sensitif bagi Sherlyn. Tetapi ia tidak peduli. Masalahnya sudah cukup menggunung tanpa harus ditambah mengurusi masalah orang kepercayaan Darius yang satu itu. "Jangan mencoba melepas cincin itu, Rea," geram Darius ketika melihat Rea yang berniat melepaskan cincinnya. "Aku tidak suka memaksamu dengan cara kasar. Dan aku yakin kau pun tidak." Rea menghentikan niatnya. "Menurutmu apa yang akan dikatakan teman-temanku melihat cincin semewah ini dipakai oleh staff sepertiku?" 'Terutama oleh atasanku dan ... Ellen,' tambah Rea dalam hati. "Kau boleh mengatakannya dariku dan mulut mereka akan diam dalam sekejap," jawab Darius santai. "Jangan membuat wanita hamil terlalu tertekan, Darius," gumam Alan sambil lalu. "Keponakanku bisa ikut stres nanti." Rea melotot ke arah Alan, tapi pria itu masih menunduk sibuk dengan ponselnya. Mengacuhkan sikap Rea. Baiklah ... Tidak ada yang bisa ia lakukan di sini. Ia menarik napas dalam-dalam, menghembuskannya pelan-pelan mencoba mengatur perasaan setenang mungkin. Lalu, beranjak dari duduk dan melangkah melewati sofa yang diduduki Darius. Langkahnya terhenti ketika matanya melirik guci mewah yang dipajang di meja kecil sebelah Alan. Prraaannggg .... Guci mewah bercorak coklat tua itu hancur berkeping-keping di sebelah kaki Alan. Membuat Alan terlonjak kaget dan menyumpah-nyumpah tak karuan. "Sialan kau, Rea!" maki Alan sambil melemparkan tatapan membunuh pada Rea yang sudah berbalik dan melangkah ke arah pintu tak peduli. "Apa kau serius mau menikahi wanita seperti itu?" tanya Alan pada sahabatnya yang juga tak peduli dengan kekesalan Alan. Darius hanya menganggap kekacauan baru saja hanyalah sebagai angin lalu. Rea memang butuh meluapkan amarah wanita itu dan guci mahal itu bisa ia beli dengan mudah. Ia pun memungut macbook dari atas meja dan mulai membuka. "Kau membuat posisi Sherlyn semakin sulit," kata Keydo. Matanya menatap Darius sambil menyilangkan kaki dengan santai. Darius menghentikan aktifitasnya, melirik Keydo dengan dahi berkerut dan bertanya dengan dingin "Apa kau ingin aku merasa bersalah karenanya?" "Tidak. Aku juga tidak akan kasihan dengannya. Dia berada di posisimu karena keinginannya sendiri. Dan dari awal kau juga sudah memperingatkannya tentang perasaannya padamu," jawab Keydo. "Sepertinya dia tidak menerima keputusanmu dengan baik," sahut Alan yang sudah mulai tenang dan ikut dalam pembicaraan serius kedua sahabatnya tersebut. Berpindah duduk di tempat Rea sebelumnya. "Apa aku juga harus bertanggung jawab untuk itu?" ucap Darius dingin dan kini berganti menatap tajam pada Alan. "Tidak," jawab Alan langsung. "Itu pilihannya sendiri untuk tetap bertahan di sampingmu. Hanya saja ... kau tidak bisa sepenuhnya mengabaikan perasaannya padamu." Alan mencoba mengemukakan pendapatnya. "Aku tidak bisa mengontrol perasaan orang lain padaku, Alan. Jadi jangan melemparkan beban itu padaku." Darius membela diri, karena mulai terusik. "Nadimu memang di aliri es, Darius," gumam Alan. Darius melarangnya melemparkan beban itu padanya, tapi dirinya sendiri melemparkan beban kebahagiannya pada Rea. Darius diam tak membantah. "Aku memang egois." "Rea memengaruhimu begitu banyak, Sobat." Kali ini Keydo yang angkat suara. "Obsesimu padanya terlalu berlebihan. Kami hanya takut kau akan .... " Keydo menghentikan kalimatnya. Mengerutkan kening mencari kata-kata yang tidak bisa ia ungkapkan. "Akan apa?" Darius menekan pertanyaannya. Menatap tajam pada Keydo. Seperti biasa, pria itu sama sekali tidak merasa gentar dengan tatapan Darius. Karena kekejaman keduanya tak perlu dipertanyakan lagi. "Entahlah," jawab Keydo sambil mengangkat bahu. "Kau berubah sejak mengenalnya, Darius. Kau bahkan mengikatnya dengan cara licik seperti itu. Itu sama sekali bukan dirimu." "Dan aku memang licik," tambah Darius. Keydo menyeringai, walaupun berbeda cara untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Kamus hidupnya memang sama dengan Darius. Cinta itu harus memiliki. Tidak peduli apa pun yang harus mereka hadapi. Egois, kejam dan licik. "Aku tidak membantah." "Kau seperti menggenggam mawar yang berduri, Darius. Dan kau sama sekali tidak peduli kalaupun tanganmu berdarah-darah karena duri itu," kata Alan. Darius bergeming mendengar kata-kata itu. Kali ini, kalimat Alan benar-benar mengena di hatinya. Ya, ia bahkan tidak peduli kalaupun dirinya berdarah jika itu untuk Rea. Ia juga tidak peduli perasaan itu namanya cinta atau hanya obsesi belaka. Yang Darius tahu, Rea adalah cara yang paling tepat dan langsung untuk mengacaukan pikirannya dan kedua sahabatnya tahu itu. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD