Arman setengah paksa menyeret tangan Vania dengan kasar hingga masuk ke ruang tamu, di sana sudah ada Desi yang menatap putrinya penuh kecemasan. Sejak satu jam lalu, Desi berusaha menghubungi Vania agar segera pulang lantaran ayahnya terus menanyakan keberadaan putri semata wayang mereka. Namun entah mengapa ponsel Vania tidak aktif, dan itu membuat Desi serta Arman panik. Mereka tidak tahu nomor ponsel Daniel, yang mereka tahu bahwa pria itu minta ijin membawa putri mereka jalan-jalan dan Arman sudah mengingatkan agar tidak pulang terlalu malam. Nyatanya, pesan Arman tidak diindahkan, dua anak muda itu justru pulang selarut ini.
“Pa, maafin Vania. Tolong lepasin, tangan Vania sakit.” Keluh Vania yang sebenarnya tidak merasa sakit namun ketakutan melihat peringai ayahnya.
Desi kelabakan melihat suaminya yang emosi, terlebih wajah Vania yang memucat dan jelas ketakutan. Ia pun bergegas menghampiri dan memohon pada suaminya. “Pa, kasian Vania kesakitan. Yang penting dia sudah pulang kan.” Ujar Desi, ia nyaris menangis karena tak tega melihat putrinya seperti itu.
Arman mulai bisa mengontrol amarahnya, ia melepaskan cengkeraman tangannya dari tangan Vania. “Lihat putrimu, baru lulus sekolah beberapa hari sudah merasa jadi orang bebas. Bukan hanya pulang malam, tapi pacarnya sudah berani melamarnya. Kalian pikir pernikahan itu buat main-main?” Hardik Arman di hadapan Desi.
Desi tersentak mendengar pernyataan Arman yang mengejutkan, ia langsung menyoroti Vania dengan tatapan tak percaya. Vania merasa tersudutkan, ia memilih menundukkan kepala ketimbang harus menghadapi penghakiman orangtuanya.
“Apa benar Vania? Apa benar yang dikatakan ayahmu? Kamu mau dilamar? Mau menikah?” Desi mendekati Vania lalu meraih dua tangannya, saking gemasnya hingga ia tanpa sadar mengguncangkan tangan Vania yang dalam genggamannya.
Vania tak berani membalas tatapan ibunya, namun ia memberi jawaban lewat anggukan pelan. Sontak Desi yang melihat isyarat jawaban itu langsung menggelengkan kepalanya, tidak percaya.
“Lelucon apa ini Vania? Apa kau paham keputusan yang kau ambil itu?” Desi masih bisa mengontrol suaranya, meskipun hatinya masih terasa tak percaya dengan anggukan putrinya.
Vania mendongakkan wajah, menatap lembut pada ibunya. “Ma, dia punya niat baik padaku, pacaran lama-lama juga tidak baik kan?” Ucap Vania mencoba meraih simpati ibunya.
Desi tetap menolak dengan gelengan kepala, “Tapi tidak secepat itu juga Vania. Kamu belum lama mengenal dia, meskipun dia terlihat baik tapi itu bukan jaminan kalau dia pria yang tepat untukmu.”
“Ma… Vania yakin Daniel itu pria yang tepat, dia bisa membahagiakanku.” Vania tetap berusaha meyakinkan orangtuanya, ia tahu betul Daniel pasti berjuang untuk mendapatkan restu, dan Vania harus membantunya.
“Omong kosong! Kamu bicara seakan kamu makan lebih banyak garam daripada ayah! Kuliah dulu, cari pekerjaan baru kamu boleh bicarakan pernikahan. Jika dia tidak bisa menunggumu menyelesaikan itu, sebaiknya suruh dia cari wanita yang sepadan dengannya. Wanita yang lebih siap berumah tangga, kamu belum pantas.” Timpal Arman mulai naik pitam, bagaimanapun ia bersikeras menentang demi masa depan Vania.
Vania tersentak mendengar suara lantang ayahnya, baru pertama kali ia mendapatkan omelan sekeras ini. Selama ia dibesarkan kedua orangtuanya, ia selalu dimanja dan diperlakukan dengan lembut. Kendati marah, ayahnya tetap menjaga kharisma dan amarahnya, tapi lihat dia sekarang justru lepas kontrol dan menakutkan.
“Pa, Vania mencintainya… Vania nggak rela Daniel nikah sama orang lain.” Vania mulai terisak, membayangkan kehilangan cinta Daniel saja rasanya seperti mimpi buruk, apalagi jika sampai menjadi kenyataan.
Arman berang, ia menatap nanar pada putrinya hingga Desi pun menyadari emosi suaminya yang makin menjadi-jadi itu. Desi segera mendekati Vania kemudian merangkul pundaknya agar lebih rileks.
“Pa, sudahlah… Kau membuat Vania takut.” Bujuk Desi, melihat Vania sedang menangis saja sudah membuat hatinya hancur. Naluri keibuannya spontan muncul untuk melindungi putrinya, sekalipun dari amukan suaminya.
“Lihat ini… Lihat! Kau bahkan ikut-ikutan membelanya. Ini memang salah kita terlalu memanjakannya.” Teriak Arman menunjukkan ketidak-senangannya terhadap sikap Desi yang tak kompak dengannya.
Desi menggeleng, suaminya jelas salah paham padanya. “ Bukan begitu, pa. Kita bisa bicarakan baik-baik, tidak perlu pakai emosi. Vania sudah dewasa, ia pasti bisa mengerti kekhawatiran kita.” Lirih Desi, ia terpengaruh suasana dan ikutan menangis bersama putrinya.
“Dewasa? Dia belum genap delapan belas tahun, kamu bilang dia dewasa? Ma, perasaan menggebu-gebu dia sekarang justru bisa menghancurkan di ajika hanya menuruti kata hatinya. Yang dia minta itu pernikahan, bukan lagi sekedar gadget keluaran terbaru, bukan pakaian bermerek, dia mau suami! Barang yang salah beli bisa ditukar, rusak bisa diganti baru, tapi kalau suami? Kalau pernikahannya berantakan? Masa depannya tak bisa dipertaruhkan dengan itu semua.” Arman mulai kehabisan kata-kata, ia sudah mengeluarkan uneg-unegnya tetapi dua wanita itu masih terpaku diam. Sungguh menguji kesabarannya, hingga ia berteriak sendiri dan menjambaki rambutnya.
Vania merasa sangat bersalah, ia membuat kedua orangtuanya meributkan masalah ini di malam yang sudah larut. Tetapi sudah terlanjur terjadi, ia hanya bisa terus berpegang pada prinsipnya untuk menggugah hati ayah dan ibunya. Ia harus bisa memenangkan hati kedua orangtuanya agar memberinya restu.
“Pa, maafin Vania. Vania bikin papa dan mama bertengkar, Vania tahu keputusan ini mengejutkan papa dan mama. Tapi Vania sudah mantap menikah dengan Daniel, mohon papa dan mama berikan restu untuk kami.” Vania berlutut di hadapan ayahnya, menunjukkan keseriusannya memohon.
“Vania, bangun nak.” Desi tak tega melihat putrinya mengiba hingga berlutut, gadis itu belum pernah menginginkan sesuatu hingga senekad ini. Desi berusaha membangunkan Vania tetapi gadis itu tetap bersikukuh bertahan.
Arman mengepalkan tangannya, tingkah Vania mulai berani menentangnya atau mungkin ada alasan kuat yang membuat gadis itu bersikap keras kepala. “Kau... Sangat ingin menikah, apa karena sudah tidak ada pilihan lain?” Tanya Arman, suaranya sedikit bergetar lantaran ia bicara sambil menggertakkan gigi.
Desi dan Vania menatap serius ke arah Arman, mereka tak mengerti apa yang maksudnya. Desi melihat Vania mulai memucat, naluri keibuannya tergerak untuk merangkul pundak anak gadisnya.
“Aku tidak mengerti maksud ayah.” Lirih Vania, ia merasa gentar melihat raut serius ayahnya.
Arman menatap tajam pada putrinya, setajam ucapan yan terlontar tanpa berpikir panjang lagi. “Apa dia sudah menodaimu sampai kamu merasa harus segera dinikahinya?”
“Papa... Jangan bicara seperti itu pada putri kita.” Pekik Desi, ia tak habis pikir dengan pikiran kotor suaminya. Bagaimana mungkin seorang ayah seperti Arman yang melihat dan ikut berperan langsung membesarkan Vania bisa menuduh sekejam itu? Tudingan buruk itu sangat melukai harga diri Desi sebagai ibu yang dekat dan selalu mengawasi pergaulan Vania.
Begitu pula dengan Vania yang terguncang, ia shock mendengar pertanyaan yang ditudingkan ayahnya. Apa sehina itukah Vania di mata ayahnya? Apa niat suci untuk menghalalkan hubungan di usia muda selalu rentan dengan tudingan miring seperti itu? Miris, Vania hanya bisa menyimpan umpatannya dalam hati. Ia mendongakkan wajah, menatap serius pada Arman. Seserius pria itu memperlakukannya, lidahnya terasa kelu untuk angkat bicara tapi ia tidak bisa terus-terusan bungkam, ada harga diri yang harus diselamatkan, harga diri yang diinjak oleh ayahnya sendiri.
Tatapan Vania tajam tertuju pada Arman, hampir saja ia berkata kasar dan memberontak pada ayahnya. Tangannya mengepal keras, Vania tidak yakin sanggup menahan emosi setelah dituding negatif oleh ayahnya sendiri.
***